Malam Jum’at yang syahdu. Mendengar suara indah bacaan Al-Qur’an Yasmin nan merdu. Alunannya menusuk kalbuku yang merambah malam. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban (Maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?) Berulang-ulang ayat ini menyelinap masuk ke dinding telinga, menyelusuri saraf hingga ke dasar jiwa. Yasmin benar-benar membaca dengan penghayatan yang dahsyat. Dia seolah sedang berdialog, mengadu kehadirat Ilahi, dengan kalam-Nya.
Siapa pun yang kalbunya hidup akan tersentuh bila membaca dan mendengar ayat ini. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Ada tarikan ruhani yang meluluh-lantahkan perasaan sedih dan galau. Yasmin membacanya dengan tartil (perlahan), namun dengan irama Melayu yang bersahaja, cengkok khas Pulau Penang. Meskipun dia tak pernah belajar tentang nagham qur’an, tak mengenal sama sekali 8 nagham lagu bacaan Qur’an ala para qari terkenal, tapi bagiku bacaannya lebih menggetarkan jiwaku saat ini, disini, di rumah yang sedang diliputi duka dan kesedihan.
Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Kurasakan ini lebih alami, lebih masuk ke jiwa, sebab iramanya mengikuti tradisi turun-temurun yang pernah diajarkan orangtua dan guru ngaji di surau khas Pulau Penang. Lebih menyentuh kesadaran jiwa sebagai orang Melayu.
Ternyata memang benar, Al-Qur’an bukan hanya milik para penutur bahasa Arab, meskipun ia berbahasa Arab dan diturunkan di Arab. Karena, Al-Qur’an adalah bahasa jiwa, bahasa ruh para pemilik kalbu yang beriman. Siapa pun yang beriman kepada Al-Qur’an akan mendapatkan pacaran cahaya penerang jiwa dari-Nya. Pelita dari Sang Pemilik kalam, Sang Penggenggam jiwa hamba-hamba-Nya.
Beberapa kali lantunan suara “Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban” terdengar diiringi dengan getar tangis Yasmin, terbata-bata, dan sesenggukan menahan tangis. Aku juga seperti sedang menyaksikan rekaman komunikasi batiniah Yasmin melalui bacaan Qur’an itu.
Aku pun merasakan getarannya saat mendengar bacaan Al-Qur’an Yasmin. Merasakan seolah ayat-ayat itu ditujukkan buatku, diturunkan khusus untukku. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Aku adalah Muhammad yang sedang berdialog dengan-Nya. Dan, aku tak mampu menjawab pertanyan-Nya sama sekali. Tak berdaya di hadapan-Nya, mengakui segala salah dan dosa di depan-Nya, menyadari keangkuhan dan kelalaian atas karunia yang telah diberikan-Nya kepadaku. 30 kali ayat ini diulang-ulang, seakan-akan menarik kesadaran untuk merenung berkali-kali. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Berkali-kali Allah mempertanyakan, “Nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?”
Aku sangat bersyukur mendapat karunia istri yang shalihah seperti Yasmin, permata jiwa yang membahagiakan. Tuhan telah menghadiahkanku malaikat cantik ini khusus buatku. Tak terasa air mata ini menetes hingga akhir Yasmin menyelesaikan bacaannya. Ayat-ayat penerang jiwa yang memberi keindahan malamku bersamanya.
Puji syukur kepada Allah, karena aku pernah berkesempatan belajar di pondok selama 4 tahun sehingga mampu memahami makna bacaan Al-Qur’an. Aku beruntung ajaran Kyai Makmun terasa bermanfaat mengiringi kehidupanku. Jujur kuakui, meskipun aku memahami bahasa Arab, tapi kadang ketersentuhan hati saat membaca atau mendengar alunan Al-Qur’an tak setiap saat bisa dirasakan. Rasaning rasa tak bisa dibuat-buat atau direncanakan oleh manusia. Rasa itu hadir sebagai anugerah-Nya yang gaib. Sebab tarikan ruhani seperti ini muncul sesuai kehendak-Nya. Dan, malam ini, Yasmin seperti mengajakku bertamasya secara ruhani melalui alunan bacaan Surah Ar-Rahman nan indah. Yasmin berhasil menggantikan posisi Hanum di hatiku dengan cara yang begitu memesona.
Aku mendekati Yasmin dengan perasaan bahagia. Aku memeluknya erat. Kami menangis dalam peluk kasih yang sukar dijelaskan. Kami bahagia, lega dan merasa damai. Rasa syukur telah meluruhkan semua rasa sedih di hati kami. Syukur menjadi terapi jiwa kami malam ini.
“Terima kasih, sayang. Terima kasih melatiku, puspaku,” bisikku di telinganya.
“Sama-sama sayang,” jawabnya sambil melepas pelukannya. Lalu tiba-tiba aku melihat senyumnya yang agak aneh. Aku pun membalas senyumnya. Yasmin berdiri dan mundur beberapa langkah menghindariku.
“Mengapa Abang tersenyum macam itu? Tadi Abang menangis, sekarang senyum pula,” godanya.
Aku berdiri mendekatinya. “Tak ada apa-apa, sayang,” kataku pelan.
“Kenapa, Bang?”
“Tak ada apa-apa,” jawabku sambil mendekat.
“Ada apa, Bang?”
“Tak ada apa-apa. Abang hanya mau bagi tahu, ini malam Jum’at, sayang,” jawabku. Lalu, kuangkat tubuhnya ke bilik peraduan kami. Dan, aku tak perlu lagi menceritakan apa yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOR-BAUJAN
SpiritualHi Guys! Ini kisah cinta seorang santri dalam mengarungi bahtera hidup. Di bawah pohon trembesi (Sor-Baujan), Erik menemukan hakikat cinta sejatinya yang menakjubkan. Novel bernuansa Islam ini menggugah jiwa siapa pun yang membacanya. Cinta Erik (Th...