Part 10: Bukit Bintang

381 9 2
                                    

"Aku tunggu di Bukit Bintang Café.”
“Ok.”
Aku segera keluar dari Central Market menuju Bukit Bintang. Sengaja aku memperlambat pertemuanku dengan Maryam agar bisa menguatkan hatiku. Berjalan menyelusuri kota, menembus kerumunan para pejalan kaki.

“Ahh. Aku masih punya waktu 45 menit untuk bertemu dia,” bisikku. Aku tak mau tampak terlalu bersemangat di depan Maryam. Aku harus terlambat dan membiarkan dia menunggu. Lagi pula ini bukan kencan. Ini hanya pertemuan bisa antara sesama sahabat. “Bukan Maryam yang membuat hatiku berdebar-debar. Tapi, orang yang pernah dekat dengannya membuat ciut nyaliku. Bagaimana jika saat aku bertemu dengan Maryam, tiba-tiba bayangan Hanum kembali menghantui? Hmmm,” bisikku lagi.

Aku berhenti sebentar di Jalan Pudu. Menarik nafas dalam-dalam. “Apakah aku harus lanjutkan?” tanyaku dalam batin. Aku merasa ragu untuk melajutkan. Terdetik dalam batin untuk membatalkan pertemuan ini.

“Abang, jadi nak jumpa Maryam?” tanya Yasmin di pesan whatsapp tiba-tiba.

“Hmmm. Jawab nggak ya?” bisikku ragu. Ternyata Yasmin masih mengingat jadual pertemuanku dengan Maryam hari ini, padahal aku memberitahunya 3 hari lalu saat dia sedang mencuci piring. “Ingatannya cukup kuat,“ bisikku lagi.

“Jadi, sayang.”

“Bila nak jumpa? Jam berapa? Kat mana?”

“Jam 4. Di Bukit Bintang.”

“OK.”

Aku kembali berhenti di depan Hospital Tung Shin. Rehat sejenak untuk mempertimbangkan. “Apakah waktuku sudah tepat? Apa aku sudah kuat?” bisikku lagi. Kalau ngobrol via telpon atau pesan whatsapp aku bisa menyembunyikan ekspresiku yang sebenarnya. Tapi, kalau bertemu langsung, apa aku sanggup menghindari bayangan Hanum yang bisa saja muncul di sisi Maryam? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu semakin berseliweran.

Sungguh ini membuatku tersiksa. Sukar melupakan masa lalu yang menyimpan banyak kenangan. Saat aku kuliah di Jakarta, setiap melihat mobil dengan kode polisi “R” saja, jantungku berdebar-debar. Padahal plat mobil “R” boleh jadi orang Banyumas, Purwokerto, Banjarnegara, tak berarti Cilacap kotanya Hanum. Tapi, anehnya setiap kali melihat plat mobil itu anganku melayang mengingat Hanum. Langsung membayangkan kehadiran Hanum keluar dari mobil itu.

Hal yang membuatku malu justru saat aku bertemu Hendra, klienku di Bintaro, tiba-tiba sekretaris kawanku datang menyodorkan berkas ekspedisi yang aku butuhkan. Tapi, kulihat wanita muda itu memakai baju yang mirip dengan pakaian Hanum dulu. Cara wanita itu tersenyum ramah dan menawarkan minum membuatku hanyut. Aku malah dianggap naksir wanita itu. Hendra bahkan membuatku semakin salah tingkah. “Dinda, bisa temani kami disini?” tanya Hendra kepada wanita itu. Aku berusaha menghindar dengan alasan macam-macam. Tapi, justru membuat Hendra semakin menganggap aku tertarik dengan stafnya. Untung saja, toilet di kantornya cukup nyaman, aku pura-pura sakit perut untuk menghindar dari wanita itu.

Beberapa kali Maryam menelpon, tapi tidak kuangkat.

“Matin, saya sudah sampai di Bukit Bintang,” kata Maryam melalui whatsapp.

“Kamu sudah jalan?”

“Tolong kabari ya?”

Aku belum mau menjawab. Kini aku berjalan mondar-mandir di depan Swiss Garden Hotel. “Ya Allah, beri aku kekuatan,” bisikku dalam hati. “Mengapa waktu 12 tahun tak cukup untuk membuatku kuat? Mengapa aku hanya mampu menghindar, tapi tak mampu menghadapi?”

“Bismillahirrahmanirrahim.” Akhirnya, setelah mengumpulkan kekuatan, aku pun bergegas menuju Bukit Bintang. Mempercepat jalanku agar tidak terlalu lama Maryam menunggu. Aku bershalawat sepanjang trotoar di Jalan Pudu, terus menelusuri Jalan Alor. Aku tak peduli lagi apa yang terjadi nanti saat bertemu dengan Maryam. Namun, ketika aku melintas dekat Kuala Lumpur Baptist Church, tiba-tiba aku mendapat telpon dari orang tak dikenal.

SOR-BAUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang