PART 20: HURUF GHAIB

365 15 0
                                    

Aku tak pernah memilih-milih tamu. Siapa pun yang berniat baik bertamu pasti kuterima. Tak terkecuali. Semua kuhormati, jika aku punya waktu senggang dan sesuai. Waktu menunjukkan pukul 00.30, tentu bukan saat yang tepat untuk bertamu. Namun, Cikgu Abdurrahman seperti memohon dengan sangat. Dia ingin mengenalkan aku pada seorang kawan malam itu juga.

"Aku tahu awak biasa tidur malam. Ini sangat penting, Bang Thariq. Kami harus bertemu. Ini masalah hidup dan mati."

"Silakan Cikgu. Saya ada di rumah."

"Terima kasih. Terima kasih, Thariq. Terima kasih," ucapannya di telepon.

"Hmmm. Masalah hidup dan mati?!" bisikku penasaran. "Ada masalah apa lagi? Apakah ini masalah Datuk Rustam? Zahra? Atau Razi?" aku jadi semakin penasaran. Sudah hampir satu jam, tamu tak kunjung datang. Kulihat Yasmin sudah tertidur pulas di kamar. Sementara, aku duduk di ruang tamu sambil membaca buku dan mendengarkan radio Johor Bahru kesukaanku: RTM (Radio Televisyen Malaysia). Setiap hari, di jam ini stasiun RTM Johor biasa memutar lagu-lagu keroncong Melayu dan Jawa. Sebelum pemutaran biasanya diawali dengan sambutan khusus dari Raja Johor Bahru, lalu musik keroncong diputar non-stop semalam suntuk.

Sebagai orang berketurunan Jawa yang sedang merantau di Semenanjung Malaya, tentu saja mendengarkan musik keroncong Jawa adalah sesuatu yang mengasyikkan. Kehadiran musik semacam ini bisa mengobati rasa rindu kepada kampung halaman. Penyanyi keroncong seperti Waljinah, Sundari Soekotjo, Mus Mulyadi hingga Hetty Kusendang memiliki banyak penggemar di negeri ini. Bukan hanya digemari orang keturunan Indonesia, tapi generasi tua di Malaysia yang menyukai musik tempo dulu pasti mengenal nama mereka. Apalagi keluarga diraja Johor Bahru dan warga masyarakatnya yang masih memiliki ikatan darah dengan Jawa, tentu menjadikan keroncong sebagai persembahan yang mengagumkan. Aku juga menyukai penyanyi keroncong Kartina Dahari, penyanyi asal Malaysia yang terkenal di era 1960-an dengan album keroncong rindu yang memesona.

Bagiku, musik dan nilai-nilai luhur dalam sastra itu bisa dinikmati secara universal. Keduanya bisa menyadarkan orang dari nasionalisme sempit dan picik. Karena itu, saat polemik masalah kesenian tradisional, wayang, musik, dan batik antara Malaysia dan Indonesia, aku tak menanggapinya terlalu serius. Apalagi jika polemik itu dibawa-bawa kepada ranah politik luar negeri antar kedua negara. Klaim atas kebudayaan hanya membuat kita memecah persaudaraan. Selama berabad-abad, orang Melayu semenanjung Malaysia sudah mempunyai corak batik khas Melayu, bukankah di masa itu belum ditemukan kata "Indonesia" atau "Malaysia." Begitu juga dengan kesenian Reog Malaysia. Orang-orang Jawa berketurunan Ponorogo dan Madiun di Johor Bahru sudah berabad-abad pula melestarikan reog. Dan, Jawa adalah bagian dari suku di Malaysia yang berandil besar bagi kebudayaan Melayu. Persentuhan kebudayaan ini sudah berlangsung berabad-abad.

Kalau kita mau jujur, kerajaan Malaysia memang lebih peduli terhadap kesenian khas daerah mereka. Meskipun kesenian wayang dan reog tak menjadi nafas keseharian masyarakat, namun mereka berusaha mempertahankannya dengan baik. Pemerintahnya benar-benar berusaha melestarikan dengan dukungan dana yang besar. Tak seperti pemerintah di Indonesia yang acap kali lalai dan tak mengabaikan potensi tradisi leluhur. Sejak dulu, Waljinah, Sundari Soekotjo dan Broery Marantika telah menjadi penyanyi di istana-istana kerajaan Malaysia. Mereka memberi apresiasi luar biasa terhadap musik dan kesenian kita. Sejak dulu pula, wayang Melayu, menjadikan tembang-tembang karawitan sebagai rujukan. Mereka mengadaptasi dan menggubahnya menjadi tembang rasa khas wayang Melayu. Ini biasa terjadi sebagai transfer kebudayaan. Lalu, saat kesenian modern menghajatkannya sebagai potensi pariwisata, Malaysia lebih maju selangkah dalam hal promosi.

Ketegangan kedua negara selalu dipicu oleh masalah politik sesaat, tapi tak akan pernah mengubah kordinat kebudayaan kita yang sama. Jika masalahnya adalah klaim atas kesenian dan kebudayaan, mengapa kita tak pernah memprotes Singapura yang sering kali menjadikan wayang, batik, dan kesenian khas Indonesia sebagai icon pariwisata dan promosi bagi negera itu. Di Eropa dan Amerika, Singapura selalu "menjual" kesenian kita untuk menarik turis berkunjung ke negeri singa itu. Semua itu adalah masalah kegagalan kita dalam mempromosikan kesenian dan kebudayaan kepada dunia. Kita sering kali kebakaran jenggot, manakala negara tetangga maju lebih dulu. Tapi, tak pernah menggali dan melestarikan secara konsekwen dan kontinyu.

SOR-BAUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang