“Assalamualaikum. Apa kabarmu, Bro?”
“Lama tak jumpa.”
“Sekarang tinggal dimana?”
Demikian isi pesan dari akun Merah Jambu di Facebook-ku. Aku tak begitu mengenal nama pengirimnya. Nama samaran Merah Jambu asing bagiku. Foto profilnya pun bergambar kucing. Terlalu banyak orang iseng di dunia maya. Aku tak memedulikannya. “Aku nggak kenal. Lebih baik menunggu dia mengenalkan diri,” bisikku dalam hati.Aku cukup lelah menunggu Yasmin di sudut Starbuck Coffee, Mid Velley Megamall, Kuala Lumpur. Lebih dari satu jam dia terjebak macet di Jalan Tun Abdul Razak. Aku tak ada pilihan lain selain menunggu. Sebenarnya, ini salahku, mengapa tak kujemput saja dia tadi. Tapi, Yasmin terlalu memaksa, dia mau mengatur semua proses pemindahan apartemen sendiri. Dia bilang aku telalu lamban. Apalagi aku bukan orang sini, tentu lebih susah mengatur semua itu. Apa pun itu, Yasmin memang terlalu sayang kepadaku. Dia tak mau perpindahan ini mengganggu rencana perjalananku bolak-balik Jakarta-KL di dua bulan terakhir ini.
“Sekarang kamu sombong ya!”
Pengirim pesan ini sudah mulai sok kenal, sok dekat. Terpaksa kucari tahu siapa gerangan dia dengan menyelusuri profile Facebook-nya. “Kulihat tak ada foto pribadi. Hanya foto kucing dan beberapa bunga mawar. Jaringan perkawanannya pun sedikit. Tak ada yang berkawan denganku. Namanya Merah Jambu, tapi tak ada gambar buah jambunya,” gerutuku.“Jangan-jangan akun bodong. Seperti gaya hacker kalau mau membajak akun FB,” bisikku lagi.
Yasmin pun datang dengan menutupi wajah lelahnya. Satu hal yang membuatku jatuh cinta dengan wanita asal Penang ini; dia selalu ceria. Walau dalam keadaan lelah, capek, terkena macet, Yasmin akan selalu memasang wajah bahagia, senang dan bergairah. Sejak perkawinan kami 3 tahun lalu di Patani, kami menjalani hidup dalam kebahagian yang tiada henti.
“Apa hadiah hari jadi perkahwinan kita sayang?” tanya Yasmin.
“Stttt. Rahasia. Jom kita makan,” kataku, lalu kugandeng tangannya erat.
Aku membawanya untuk makan malam di sudut kafe di Midvelley. Terbanyang masa-masa indah kebersamaan kami. Sungguh membahagiakan dan luar biasa. Kami menikah di usia yang telah matang sehingga tak pernah ada konflik besar antara kami. Setiap saat kami meramunya dengan keindahan. Kami menjadi koki hebat bagi rumah tangga kami sendiri.Jauh sebelum masyarakat Indonesia mengenal Upin-Ipin yang jenaka, aku sudah lebih dulu mengenal idiom dan gaya jenaka tradisi masyarakat Melayu. Bahkan, aku penikmat keindahan sastra Melayu dan budayanya jauh sebelum melanjutkan kuliah di University of Malaya (UM). Aku juga pengagum film-film P Ramlee dan lagu-lagu Dato SM Salim. Tak ketinggalan, penyanyi favorit kami berdua, Sheila Majid. Lagu “Antara Anyer dan Jakarta” adalah lagu cinta kami.
Malam itu, hidangan tomyum seafood menjadi menu ulang tahun pernikahan kami. Tanpa sepengetahuanku, Yasmin pun memesan lagu kenangan “Antara Anyer dan Jakarta” hingga menambah romantisme jalinan hubungan kami. Aku menghadiahkan selendang tenun nan indah dari Baduy untuk Yasmin. Oleh-oleh petualanganku selama dua minggu di Kampung Cikatertawarna, Baduy Dalam.
“Thank you, sweetheart,” ucapnya.
Peluk dan ciuman mesra Yasmin.
“Amboi cantiknya kain nih. Mereka buat sendiri kah?” tanyanya penasaran.
“Iya. Mereka gunakan alat tenun tradisional. Ini dibuat selama 15 hari oleh wanita-wanita suku Baduy.”
“Cantik. Pandai mereka buat.”
“Mereka punya lebih dari 30 motif kain selendang dan sarung,” jawabku bersemangat.Yasmin sangat antusias dengan ceritaku tentang Baduy. Pokoknya, apa pun cerita tentang Indonesia, dia sangat menyukainya. Bukan karena suaminya berasal dari Indonesia, tapi karena dia memang menyukai pelajaran sejarah Melayu. Bahkan, pertemuan kami pertama kali pun karena sesuatu yang berkaitan dengan negeri tempat aku dilahirkan. Kami berebut buku karya-karya Pramudya Ananta Toer di Perpustakaan UM. Yasmin mengagumi Pram, Hamka, HB Jasin dan WS Rendra.
“Kanda…” ujar Yasmin tiba-tiba. Di sudut ruang kafe yang dihiasi cahaya lampu yang redup temaram.
“Ada apa, Dinda?” tanyaku. Dengan gaya romantis. Sambil menatap wajahnya yang sangat cantik.
“Walau rupamu tidak kukenali, tetapi lubang hidungmu tetap menjadi pujaan hatiku,” katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOR-BAUJAN
SpirituálníHi Guys! Ini kisah cinta seorang santri dalam mengarungi bahtera hidup. Di bawah pohon trembesi (Sor-Baujan), Erik menemukan hakikat cinta sejatinya yang menakjubkan. Novel bernuansa Islam ini menggugah jiwa siapa pun yang membacanya. Cinta Erik (Th...