"Yasminku...Melatiku..." bisiku di telinganya.
"Kamu memang cantik. Bahkan, kamu sudah cantik sebelum kata cantik ditemukan."
Aku membelainya mesra. Mengajaknya merenung tentang makna kebahagiaan agar dapat membuang rasa sedih dan derita. Dengan rasa syukur kita dapat merasakan indahnya jalan kebahagiaan, yang kadang harus ditempuh dengan berliku-liku. Karena, kebahagiaan akan terasa singkat jika dilalui tanpa perjuangan meraihnya. Maka, tak perlu menganggap perjuangan sebagai derita, kalau kita memahami perjuangan sebagai wadah bagi kebahagiaan itu sendiri. Dengan memahami semua itu jiwa kita akan selalu merasa bahagia. Sebagaimana kebahagiaan menjadi unsur yang dijanjikan keabadiannya oleh Sang Maha Abadi.Yasmin seperti juga Hanum adalah dua sisi sayap kupu-kupu bagi perjalanan hidupku. Keduanya mewakili keindahan dan keserasian semestaku. Kecantikan Hanum mewarnai getar-getar jiwaku hingga kini. Begitu juga Yasmin, meskipun tak ada kata "cantik" yang melekat pada namanya, namun semerbab harum wanginya adalah bukti kecantikan itu sendiri. Bagiku, Yasmin adalah simbol kecantikan dan keharuman perjalanan hidupku. Ia sudah pun cantik, jauh sebelum kata "cantik" ditemukan Bangsa Melayu. Sungguh, aku sangat bersyukur atas anugerah ini. Yasmin dan Hanum adalah ruh keabadianku.
Aku katakan ini, sebab tak ada kematian bagi ruh. Usia ruhku, ruh Hanum, dan ruh Yasmin sebenarnya sama. Kita diciptakan di waktu yang bersamaan. Lalu terlahir sebagai manusia di waktu berbeda dan kembali kepada-Nya di waktu berbeda pula. Tuhan menciptakan barzakh sebagai batas ruang antara dimensi alam hidupku sekarang dan dimensi tempat Hanum bersemayam. Dan, di waktu bersamaan, aku masih bisa berhubungan dengannya dengan getar-getar jiwa yang merindu kepadanya. Ruhku, ruh Yasmin dan ruh Hanum bisa bersatu dalam satu waktu.
"Hidup kita ini hanya sekejap saja, sayang...Kita ini bagaikan hari-hari yang kita lalui. Tatkala satu hari hilang, maka hilang pula sebagian dari diri kita," bisikku lagi. Aku menceritakan nasehat-nasehat indah Kyai Bahruddin di Jatijajar, saat aku merasakan keputus-asaan ditinggal mati Hanum. Kala itu, aku diajak Kyai Bahruddin menaiki lereng bukit di sekitar Goa Jatijajar. "Cobalah kau bertasbih membaca 'Subhanallah' sampai ke pohon itu," perintah Kyai Bahruddin sambil menunjuk pohon beringin yang berdiri kokoh 50 meter dari tempatku berdiri. Lalu, aku pun berjalana sambil berdzikir seperti perintahnya, mengucap "Subhanallah" hingga sampai di pohon beringin. Setelah sampai, Kyai Bahruddin pun berkata lagi, "Sekarang, bertakbirlah hingga ke pohon mahoni itu!" Aku pun mengikuti perintahnya. Dan, sampai di pohon mahoni, beliau pun memerintahku lagi, "Sekarang, coba kamu beristigfar sambil berjalan mendaki hingga ke pohon trembesi itu!" Aku pun melakukannya, membaca "Astaghfirullah" dengan lisan dan hati sampai ke pohon trembesi. Sesampai di sana, kami duduk dan bercerita banyak hal sambil menikmati pemandangan perbukitan yang indah.
Sungguh kenangan yang sangat hebat dan membekas di hati. Aku baru menyadari ternyata cara Kyai Bahruddin ini pernah dilakukan Rasul dan para sahabat secara turun temurun. Beginilah cara mengajarkan bagaimana memahami waktu hidup di dunia yang hanya sekejap. "Beringin, Mahoni dan Trembesi adalah tempat-tempat persinggahan kita. Hidup kita di dunia seperti persinggahanmu tadi di bawah pohon mahoni. Hanya sekejap saja," ungkap Kyai Bahruddin.
"Isilah ruang kosong dalam kalbumu dengan kesadaranmu mengenal-Nya, memuji kesucian-Nya, mengagungkan kebesaran-Nya, mendekati-Nya agar perjalananmu menjadi bermakna. Itu adalah hakikat waktumu sebagai hamba. Tanpa itu kau tak akan pernah memahami makna kehambaanmu kepada-Nya. Kadang kakimu terbentur batu atau tertusuk duri. Tanganmu lecet tergesek ranting-ranting tajam. Kulitmu gatal karena dedaunan. Itulah warna kehidupan yang sedang kau lalui. Tapi, sekali lagi kukatakan, hidupmu itu hanya sekejap saja," tutur Kyai Bahruddin kala itu. "Jika kau kembali ke pondok, kau pasti masih mengingat tempat-tempat singgahmu tadi. Kau masih bisa membayangkan dan mengingat beringin, mahoni, dan trembesi ini," tuturnya lagi.
"Anggaplah ini seperti tusukan duri di kakimu, sayang. Kau tinggal mencabut, lalu nikmati saja kerindangan dan keteduhan pohonnya di persinggahan kita kali ini. Nikmati saja, ambil indahnya," bisikku sambil membelai rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOR-BAUJAN
SpiritualHi Guys! Ini kisah cinta seorang santri dalam mengarungi bahtera hidup. Di bawah pohon trembesi (Sor-Baujan), Erik menemukan hakikat cinta sejatinya yang menakjubkan. Novel bernuansa Islam ini menggugah jiwa siapa pun yang membacanya. Cinta Erik (Th...