Aku terkapar. Meringkuk di sudut ruangan. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghantam tubuhku. Aku diinjak-injak bagai binatang jalang. Berkali-kali kata-kata maut dan sumpah serapah menggema di dinding ruangan, memantulkan resonansi kebinatangan mereka sendiri. Darah mulai bercucuran dari kepala, tangan dan kakiku. Kuteriakkan “Allahu..Allah” dengan teriakan yang tak pernah mereka dengar sama sekali. Dengan bisikan hati yang paling halus dan tak akan mampu terdengar oleh makhluk manapun. Aku membiarkan tubuhku jadi bulan-bulanan. “Tubuhku bukan milikku lagi. Ini hanya cangkang yang menyelubungi jiwaku. Tak ada lagi ‘aku’-ku, yang ‘ada’ hanya Dia: Allah. Mereka tak pernah melukaiku sedikit pun,” bisikku di sudut terdalam, di lapis paling halus dan tersembunyi dari kalbuku.
“Hentikan!” Teriak Datuk Rustam menerobos ruangan penyiksaan. “Keluar kalian!” perintahnya kepada pengeroyok-pengeroyok itu. “Panggil ambulan! Cepat panggil ambulan,” teriaknya lagi.
“Angkat! Angkat tubuhnya! Bawa ke ruanganku! Cepat, cepat!” perintah Datuk kepada seseorang berwajah India yang kujumpai di dekat lift. Lalu, menyusul seorang preman Melayu—orang yang memukulku di dekat lift—datang membantu mengangkat tubuhku di atas sofa. Aku tak melihat lagi para tukang pukul itu, mereka sudah keluar dari kantor Datuk Rustam.Aku seolah berada di dalam goa yang gelap dan melihat objek di luar. Seperti melihat film yang menayangkan adegan tentang diriku sendiri. Aku melihat peranku sendiri. Aku merasakan antara diriku sendiri dan tubuh ini adalah sesuatu berbeda dan terpisah. Aku bisa melihat dengan begitu jelas. Semua detail episode itu terjadi di hadapanku. Aku tak merasa sakit sedikit pun. Diriku utuh, bukan diri ini yang mereka siksa, tapi hanya tubuh itu. Aku hanya melihat tubuhku dipikul, ditendang dan diinjak-injak. Tapi, bukan diri yang ini. Aneh.
Hingga tubuhku diangkat ke ambulan aku masih menyaksikan tubuhku menjadi pusat perhatian banyak orang. Datuk Rustam dan resepsionis yang tak kutahu namanya itu berada persis di sisiku, di dalam mobil ambulan yang kudengar sangat bising. Beberapa kali kulihat Datuk Rustam berdoa khusyuk. Sesekali mengusap luka di kepalaku. Dia menangis bercucur airmata. Seperti anak kecil. Kulihat resepsionis itu pun menyembunyikan tangisnya. Lalu, menelpon seseorang untuk menjumpainya di rumah sakit yang sedang dituju.
Kulihat Datuk Rustam berusaha berbicara kepadaku dengan memelas.
“Bertahanlah, Nak. Bertahanlah!” ucapnya sambil menggenggam tangan kananku. Dia menciumi jari-jari tanganku. “Maafkan aku Thariq. Maafkan aku, karena tak segera menjawab panggilanmu. Aku terlalu mengikuti hawa nafsuku sendiri. Aku terlalu ego. Sebenarnya, aku sengaja shalat jumat di belakangmu. Aku sangat penasaran. Meskipun sebanarnya aku telah melihatmu sejak di lobi melalui CCTV. Maafkan aku, Nak,” ucapnya.“Aku memaafkanmu Datuk. Aku juga meminta maaf atas semua yang terjadi,” jawabku. Namun, sama sekali Datuk itu tak mendengar jawabanku. Kucoba keraskan suaraku, “Datuk Rustam…Datuk,” kataku agak keras, namun dia sama sekali tak mendengar. Aku merasakaan keanehan, mengapa dia tak dapat mendengar ucapku? Aku seperti ikan dalam akuarium yang melihat orang berbicara kepadaku dari balik kaca.
“Aku membaca pesanmu malam itu. Aku membacanya. Aku juga membaca pesanmu di secarik kertas itu,” katanya lagi.
“Tuk…Datuk..Datuk Rustam,” kataku. Aneh sekali. dia tak mendengarku. Meskipun aku bisa mendengar ucapannya dengan jelas.
“Aku ingin menimang cucuku. Maafkan anakku Razi yang jahat. Aku gagal menjadi ayah yang baik, aku tak mampu menjadi datuk yang baik bagi cucuku. Aku menyesalkan kelakuan Razi pada Yasmin. Tapi, aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku terlalu memanjakan Razi, sekarang aku menanggung akibatnya. Ini semua ulah Razi dan kawan-kawannya. Aku tak pernah mengizinkan Razi mencelakan kamu. Jika nyawamu tak terselamatkan bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan ini?” katanya lagi.
Aku hanya mendengarkan semua keluh-kesahnya. Menjawab pun percuma, dia tak bisa mendengar ucapanku. Aku cuma merasa heran mengapa secepat itu dia tiba-tiba menjadi pelindungku. Bagiku, alasan yang dia ungkapkan tadi belum semuanya dapat menjawab keingintahuanku. Mengapa tiba-tiba lelaki bergelar datuk ini begitu perhatian? Dimana wibawa dan kebesaran namanya, mengapa begitu lembut jiwanya hingga mudah mengakui semua kelemahannya di hadapanku? Pasti ada sebab lain yang lebih besar hingga membuat dirinya menunjukkan kehinaannya di depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOR-BAUJAN
SpiritualHi Guys! Ini kisah cinta seorang santri dalam mengarungi bahtera hidup. Di bawah pohon trembesi (Sor-Baujan), Erik menemukan hakikat cinta sejatinya yang menakjubkan. Novel bernuansa Islam ini menggugah jiwa siapa pun yang membacanya. Cinta Erik (Th...