Selamat malam Kuala Lumpur. Aku menarik nafas dalam-dalam. Selamat tinggal Sean, anakku. Selamat tinggal dua koper pakaian dan setumpuk mainan. Selamat tinggal masa lalu, selamat jalan pengalaman indah orangtua dan anak. Anggaplah ini sebagai akhir bagi status hukum, tapi bukan perpisahan batin kami atas hak orangtua ruhani bagi dirimu, Sean, anakku. Maafkan atas kesalahan kami, Nak. Maafkan ketidakberdayaan kami sebagai orangtuamu selama beberapa tahun ini. Malam ini aku dan Yasmin menyerahkanmu pada asuhan orangtua lain. Orangtua yang lebih berhak secara nasab ataupun hukum.
Aku serahkan dirimu kepada Datuk Rustam bukan untuk membuangmu. Bukan untuk memutus tali kasih kami: aku, kamu dan Yasmin. Ini hanyalah episode cerita tentang masa depanmu yang sedang diputar dari awal kau menginjak 5 tahun. Demi hak-hakmu kelak. Demi darah yang mengalir dalam tubuhmu, aku serahkan dirimu kepada orang yang lebih berhak. Anggaplah kehadiranku dan Bunda Yasmin sebagai mimpi-mimpi indahmu. Lupakan saja wajahku. Berusaha dan berusahalah membuang wajah Bunda Yasmin di malam-malammu.
Yasmin menggendong Sean keluar dari sisi pintu mobil. Sedangkan aku mengangkat dan menarik koper besar, mengikuti Yasmin dari belakang. Langkah-langkah ini hanya sekitar 30 meter dari halaman parkir ke rumah banglo Datuk Rustam, tapi kenangannya tak akan mudah dihapus dalam 30 tahun mendatang. Yasmin telah mengumpulkan keberanian hebat yang pernah kuajarkan. Antara Bangsar dan Kelana Jaya yang mengharukan jiwa.
Tak terasa, sejak dua minggu ini, kami sudah mengajarkan kepada Sean tentang makna peralihan pengasuhan dengan cara yang mudah dan biasa-biasa saja mengikuti alur memori anak-anak yang bisa kami mengerti. Kami telah menanamkan di benak Sean selama dua minggu bahwa kami bukan siapa-siapa, hanya pangasuh sementara. Lalu, kumasukkan memori Datuk Rustam, ayah Razi dan Mama Zahra dengan cara sebisa kami. Ini adalah perjuangan menghilangkan ingatan, mencuci memori Sean tentang “kehadiran” kami di otaknya.
Di dua minggu ini, aku dan Yasmin menjaga jarak dari Sean dengan memasang figur baru pengasuh di rumah kami: Safitri. Seorang pembantu rumah asal Tasikmalaya yang sudah 5 tahun bekerja untuk keluarga Datuk Rustam. Safitri sengaja dikirim oleh Datuk Rustam untuk memomong Sean di rumah kami, menggantikan Makcik Izzah. Safitri berhasil menjalani misi pendekatan khusus dengan Sean. Hari ini adalah waktu yang tepat untuk menyerahkan Sean kepada mereka.
“Hello…Ketemu lagi?” ucap Safitri kepada Sean, menyambut kedatangan kami.
Lalu mengajak Sean bermain petak umpet di sudut kamar. Sementara, aku dan Yasmin duduk tanpa kata di ruang tamu. Aku dan Yasmin hanya berbasa-basi sebentar dengan penyambutan Datuk Rustam. Demi sopan santun kami menyampaikan serah terima Sean kepada keluarga Datuk Rustam. Kami tak ingin berlama-lama di rumah ini. Biarkan Sean beradaptasi dengan rumah ini. Untuk ketiga kalinya dia berkunjung ke rumah ini. Selasa, Kamis dan hari ini, Minggu perpisahan kami. Sebelumnya, Safitri sudah dua kali mengajak ke rumah ini tanpa kami.
Aku dan Yasmin ingin membuktikan bahwa penyerahan Sean kepada keluarga Datuk Rustam bukan karena tekanan hukum. Bukan pula karena takut menghadapi begundal dan preman bayarannya, yang telah berani menghajar Bang Faizal hingga babak-belur. Bukan, bukan itu! Bukan pula karena aku seorang “Indon” lemah di hadapan kesombongan orang Malaysia. Tidak! Sama sekali tidak! Penyerahan Sean bukan pula karena Indon pasti kalah berhadapan dengan Melayu Malaysia, karena sama sekali hal itu tak ada kena-mengenanya dengan kesukuan dan kebangsaan. Bukan pula karena kami minder dan tak percaya diri untuk memberi penghidupan yang layak bagi Sean. Sama sekali tidak! Bisnisku lebih besar daripada bisnis yang dimiliki Razi ayah kandung Sean, meskipun hartaku tak sebanding Datuk Rustam. Mobilku lebih mewah daripada mobil Razi yang pernah dibeli dari koceknya, meski tak sebanding dengan mobil milik Datuk Rustam. Bahkan, pendidikan aku dan Yasmin lebih dari cukup untuk membekali Sean hingga dewasa. Gelar pendidikanku lebih tinggi daripada Razi dan bahkan Datuk Rustam sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOR-BAUJAN
EspiritualHi Guys! Ini kisah cinta seorang santri dalam mengarungi bahtera hidup. Di bawah pohon trembesi (Sor-Baujan), Erik menemukan hakikat cinta sejatinya yang menakjubkan. Novel bernuansa Islam ini menggugah jiwa siapa pun yang membacanya. Cinta Erik (Th...