"Saat kamu bahagia bersamanya, tidak ada yang benar-benar terluka selain aku."
_____
"Kenapa lo? Nyariin gue, ya?"
"Emm. Tolong obatin luka gue dong."
Suara Rey masih terngiang jelas di pikiran Ran. Setelah pulang sekolah cewek itu langsung berlari ke balkon kamarnya. Senyumnya terus mengembang, bahkan ia sampai lupa mengganti seragam sekolah.
Tetapi kemudian, Ran teringat perkataan Grace. Seketika itu juga senyumnya memudar.
"Waktu lo bersama dia itu udah enggak banyak. Lo harus manfaatin waktu itu sebaik mungkin, sebelum lo nggak bisa lagi ketemu dia."
Memang ada benarnya perkataan Grace. Dirinya sudah kelas 12, Rey juga sudah kelas 12. Beruntung, Ran adalah bagian dari pengurus OSIS. Jadi ia lebih leluasa bertemu dengan Rey.
"I know this will hurt," ucap Ran dengan nada lirih.
☁☁☁
Pagi ini Rey baru saja sampai di sekolah, ia berjalan menelusuri koridor utama. Detik kemudian, cowok itu meremas tali tasnya kuat-kuat.
Tidak jauh dari tempat Rey berada, ia melihat Tara sedang menangis dan ada Hansel di sebelahnya yang sedang menenangkan cewek itu.
Rey menunggu beberapa saat. Tara sudah kembali masuk ke kelasnya dan tinggal tersisa Hansel di sana. Rey menghampiri Hansel dengan perasaan bergejolak, lalu menarik kerah bajunya.
"Woi, tadi Tara nangis gara-gara lo, kan?!" cerca Rey, ia menatap Hansel tidak suka.
"Maksud lo apa, sih?" jawab Hansel kesal dan mencoba melepaskan tangan Rey dari kerah bajunya.
"Udah salah masih nanya lagi!" Satu kepalan tangan mendarat mulus di pipi kanan Hansel.
"Cowok macam apa lo?" ucap Rey setengah berteriak.
"Gue nggak—"
Rey tidak membiarkan Hansel berbicara. Ia langsung memberikan kepalan tangannya kembali di pipi cowok itu.
Hansel mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah segar. "Lo tuh kenapa, sih? Mana mungkin gue nangisin dia!"
Hansel mengatur deru napasnya yang memburu. Ia menatap Rey dengan tajam. "Asal lo tahu, Tara nangis bukan gara-gara gue, tapi Joni. Jangan main baku hantam aja, dong!"
"Gue pacarnya Tara. Makanya lo move on!" lanjut Hansel penuh penekanan, lalu ia mendorong bahu Rey dan berlalu pergi.
Ucapan Hansel begitu menohok Rey, membuat rahangnya mengeras. Kemudian, cowok itu meninju tembok yang tidak bersalah di sebelahnya.
Rey mengusap frustrasi wajahnya. Untung sekolah masih sepi karena jam masih menunjukkan pukul 06:25. Kalau tidak, Rey sudah menjadi pusat perhatian saat ini.
☁☁☁
Ran berjalan menuju rooftop. Ruby dan Grace sempat mengajaknya ke kantin, namun ia menolaknya. Ran ingin menjernihkan pikiran sehabis pelajaran Fisika tadi.
Setibanya di sana, Ran terkejut. Iris abu-abunya menangkap Rey yang sedang duduk di pinggiran rooftop.
Ran tersenyum kecil, kemudian menghampiri cowok itu. "Kok, lo ada di sini?"
Rey tidak menggubris perkataan Ran, ia hanya menoleh sekilas ke arah cewek itu lalu kembali menatap lurus ke depan.
Detik kemudian, Ran duduk tepat di sebelah Rey. "Tumben lo di sini."
"Bukan urusan lo," jawab Rey dingin.
Setelahnya hening, tidak ada yang berbicara lagi.
"Cinta itu sakit, ya, Ran," ucap Rey yang akhirnya membuka pembicaraan.
Ran menoleh. "Kadang gue juga mikir kayak gitu. Tapi, kalau sakit kenapa harus diperjuangin lagi?"
Rey mengangkat bahunya sekilas. "Sekuat apapun gue coba, tetep aja susah. Kadang gue pikir gue itu bodoh, Ran!"
Ran merasakan sakit itu lagi, lebih sakit dari sebuah sayatan. Kenapa Rey tidak pernah sadar? Bahwa masih ada dirinya di sini. Masih ada dirinya, yang mengharapkan hati Rey.
"Gue juga bodoh, memperjuangkan orang yang nggak mengharapkan gue. Yang jelas-jelas nggak pernah sadar keberadaan gue. Dan sama kayak lo, gue nggak pernah bisa ngelupain dia. Gue, sih, nunggu garis takdir yang Tuhan kasih aja."
Setelah Ran berucap, suasana kembali hening. Detik berikutnya, tangan hangat Rey menyentuh tangan Ran.
Ran terbelalak kaget, lalu menoleh menatap Rey. "Eh?"
"Gue emang nggak tahu siapa orang yang lo maksud. Tapi, makasih, ya. Lo emang yang paling ngerti perasaan gue," ucap Rey seraya tersenyum tipis.
Karena gue juga ngerasain hal yang sama kayak lo, ucap Ran dalam hati. Kemudian, cewek itu ikut tersenyum.
☁☁☁
"Rub, Grace. Ran kemana? Kok, nggak ada?" tanya Alan di sela kegiatannya mengunyah bakso.
Sebenarnya, Leon-lah yang mengajak Ran, Grace, Ruby, Alan, dan Rey makan bersama di kantin. Namun sayangnya, Rey dan Ran menolak untuk ikut karena alasan yang sama.
"Dia males katanya," jawab Ruby.
"Paling juga ke rooftop," timpal Grace. Alan pun membulatkan mulutnya sambil mangut-mangut
"Lah, sama kayak si alis Sinchan dong. Dia juga males. Jangan-jangan, jodoh lagi!" sahut Leon, membuat semua mengerutkan dahinya.
"Alis Sinchan siapa, Yon?" tanya Alan seraya mengangkat tinggi sebelah alisnya.
"Kudet lo." Leon meneguk es teh manisnya sebelum berbicara kembali, "siapa lagi kalau bukan Rey!" lanjut Leon, membuat semuanya terbahak.
Lo bisa. Lo harus hancurin perasaan yang udah lama ada ini.
☁☁☁
HALLO!!!
Nah, kan. Rey gak peka lagi 😥😥
Gimana chap kali ini??
Kapan-kapan aku mau bikin "REYSTAGRAM"
Iseng-iseng gitu 😆😆Btw, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Semoga di bulan puasa ini kita di jauhkan dari godaan setan, makan, dan
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mantan.#Plak
Ok, see you. Vomment jangan lupa!
With love,
Tias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love for You
Teen Fiction"Karena gue juga ngerasain hal yang sama kayak lo." Ini cerita tentang Kirana Oliveria, panggil saja Ran. Gadis yang merasakan sakitnya jatuh cinta. Memperjuangkan rasanya selama bertahun-tahun. Namun, seseorang yang dia perjuangkan selama ini tidak...