"Nah, sekarang kita lagi ada di koridor kelas sembilan. Di sini ada ruang musik sama ruang komputer. Terus di bawah ada ruang olahraga. Di sana kita bisa main voli, bulu tangkis, apa pun olahraga yang lo suka. Kadang kita juga olahraga di sana," jelas Rey seperti pemandu tur sungguhan.
Ran mengangguk, ia mendengarkan apa yang sedari tadi Rey katakan. Namun, pandangannya tidak beralih dari wajah tampan milik cowok itu.
"Di sini ada ruang kesenian juga?"
Rey mengangguk mantap. "Fasilitas di sini lengkap. Jadi lo nggak usah takut kalau kebutuhan lo ada yang kurang."
Ran membulatkan mulutnya. "Rey, di sini ada ekskul apa aja?"
"Banyak. Mulai dari seni, olahraga, sampai musik semua lengkap di sini. Buat lo, gue saranin ikut cheerleader. Karena lo punya kriteria yang pas buat gabung," saran Rey.
Ran menggeleng. "Aku mau ikut ekskul musik aja. Nggak berani ikut itu, takut jatuh."
"Oke, terserah lo aja," balas Rey seraya terkekeh kecil.
"Oh, iya. Mana orang yang mau kamu kenalin?" celetuk Ran tiba-tiba.
Rey menepuk jidatnya. "Hampir gue lupa! Kelasnya nggak jauh dari kelas kita."
Rey dan Ran turun satu lantai. Mereka berniat menghampiri kelas orang itu. Sesampainya di sana, mata Rey menjelah kesegala arah sampai akhirnya cowok itu menemukannya.
"Nah, itu dia!"
Ran mengikuti arah pandang Rey. Dari arah berlawanan serorang gadis bertubuh setara dengannya berjalan menuju ke arah Rey.
"Hai!" sapa gadis itu ramah.
"Ran, ini orang yang mau gue kenalin," kata Rey sambil melirik gadis itu.
"Gue Tara, anak kelas tujuh tiga." Gadis yang diketahui bernama Tara itu mengulurkan tangannya.
Ran menatap uluran tangan itu, lalu menjabatnya. "Kirana, panggil aja Ran."
Tara tersenyum. "Gue pacarnya Rey."
Ran melepas uluran tangan itu secara spontan. Entah mengapa tiba-tiba ia menjadi lemas, dingin juga mulai menjalar di telapak tangannya.
"O-ohh, gitu. Kalian cocok." Ran memaksakan senyumnya.
"Makasih." Tara kembali tersenyum, tapi kali ini lebih lebar.
"Kita makan, yuk, di kantin," ajak Rey.
Ran menggeleng. "Kalian aja, aku nggak laper," ujarnya, lalu mundur beberapa langkah dan berbalik meninggalkan mereka berdua.
Tara dan Rey mengernyit heran atas sikap Ran. Gadis itu bertingkah aneh di depan mereka berdua.
"Rey, dia kenapa?" tanya Tara heran.
Rey mengangkat bahu. "Nggak tahu."
☁☁☁
Sudah beberapa hari setelah Rey mengenalkan Tara kepada Ran. Gadis itu jadi murung belakangan ini. Entah mengapa semangatnya hilang begitu saja.
Sekarang, Ran sedang berada di podium ruang olahraga. Ia duduk di situ sendirian, melihat teman-teman sekelasnya yang sedang bermain futsal. Ada Rey di sana yang terlihat kelelahan.
Ran termenung, sampai suara seseorang menyadarkannya.
"Ran, lo ngapain di sini?" tanya cowok itu.
"Lihat mereka yang lagi futsal."
"Ini, kan, udah sore. Kenapa nggak pulang?"
"Aku lagi males, Lan," jawab Ran sekenanya.
Alan terdiam setelahnya. Entah topik pembicaraan apa yang ingin ia bahas. Kemudian, cowok itu mengikuti arah pandang Ran yang tertuju pada seseorang.
"Serius banget lihatinnya," celetuk Alan.
Ran terkesiap, pandangannya langsung beralih pada Alan.
"E-enggak."
"Nggak usah bohong kali. Dari tatapan lo udah ketahuan kalau lo naksir sama dia," kata Alan, cowok itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Gadis itu terdiam, ia bingung ingin mengatakan apa. Apakah yang dikatakan Alan benar?
"Banyak, sih, yang suka sama dia. Secara, dia itu ganteng, humoris, pengurus OSIS pula. Tapi sayang, dia udah punya pacar," lanjut cowok itu yang tepat sasaran.
Kalimat terakhir yang Alan ucapkan sangat mengenai hatinya. Ran memang sadar dengan realita itu.
Hening, hanya suara pemain futsal yang mereka dengar.
"Lan," sebut Ran.
Alan menoleh ke arah gadis cantik itu.
"Kalau aku emang suka sama Rey, aku harus apa?" Entah mengapa mulut Ran berbicara seperti itu.
Alan terlihat berpikir. "Itu tergantung
diri lo sendiri. Kalau lo mau ungkapin ya ungkapin aja. Tapi kalau lo mau pendem sendiri nggak apa," saran Alan seperti pakar cinta. Padahal cowok itu belum pernah berpacaran.Ran binggung, gadis itu tidak tahu mana yang harus ia lakukan. "Menurut kamu, lebih baik yang mana?"
"Menurut gue, lo jadi pengagum rahasianya dulu aja. Jangan langsung terang-terangan bilang suka sama Rey. Sampai ada waktu yang tepat baru lo ungkapin perasaan lo," saran Alan.
Ran kembali terdiam, mungkin yang dikatakan Alan memang benar. Ia harus menyukai Rey secara diam-diam. Namun, apakah Ran bisa melakukan itu?
"Tapi kalau ada orang yang suka sama lo gimana?" tanya Alan tiba-tiba.
"Aku nggak tahu," jawab Ran lesu. Ia hanya takut jika menyakiti seseorang yang menyukai dirinya. "Yang pasti aku bakal seneng banget, Lan."
Alan tersenyum tipis, dengusan halus terdengar dari hidungnya.
Gue suka sama lo diwaktu yang nggak tepat, ya, batin Alan berkata.
☁☁☁
HEYYY, APA KABARR??
Gimana chapter kali ini? Kalau aku lagi ngetik bagian ini keinget Alan terus, respect aja gitu sama dia :((
Ingin sekali aku satuin Alan sama Ran. Tapi enggak deng :p
1 chapter menuju epilog!!! Siapin hati yaa buat baca 😂😂
Oke, sampai jumpa dichapter Flashback #4
Babay, vomment jangan lupa 😘
With love,
tiascahya_
KAMU SEDANG MEMBACA
Love for You
Teen Fiction"Karena gue juga ngerasain hal yang sama kayak lo." Ini cerita tentang Kirana Oliveria, panggil saja Ran. Gadis yang merasakan sakitnya jatuh cinta. Memperjuangkan rasanya selama bertahun-tahun. Namun, seseorang yang dia perjuangkan selama ini tidak...