Pagi hari yang cerah disusul suara burung warna-warni berkicau di penjuru rumah Devon mewarnai suasana hatinya yang sedang sangat baik saat ini.
Ia sudah siap dengan seragam putih abu-abunya lengkap dengan almamater kebanggaan SMA Mahakam. Pagi-pagi buta entah kenapa ia sudah terbangun dengan semangat yang tiba-tiba muncul dalam diri untuk cepat ke sekolah.Saat ia ingin menuruni tangga ke lantai dasar, ia mendengar suara pecahan piring dan entah apa yang terdengar sangat nyaring di telinga Devon. Sudah terbiasa dengan suasana rumahnya yang memang sudah berubah sejak 10 tahun lalu membuatnya semakin malas berada di rumah.
Tanpa pamit kepada bunda dan ayahnya ia langsung saja berjalan menuju garasi yang berada di samping rumah. Menurutnya lebih baik ia tidak melihat keadaan kedua orang tuanya yang saat ini sedang bertengkar, lebih tepatnya setiap hari. Entah apa yang diperdebatkan oleh mereka, Devon tidak mengetahuinya, lebih tepatnya tidak mau tahu.
Daripada semakin membuat mood hari Senin yang jarang sekali terlihat baik menurun, ia pun segera menancap gas setelah mengucapkan salam pada satpam penjaga rumahnya. Bahkan ia lebih memilih berpamitan dengan satpam rumahnya daripada kedua orang tuanya sendiri.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit karena jalanan sedikit lengang ia pun menuju kelas sambil bersenandung kecil.
Ia berjalan menuju kelasnya yang berada tepat di sebelah kelas Aluna, kelas seseorang yang membuat ia mau tak mau harus menjaga Aluna sebisa mungkin karena janjinya di masa lalu. Sebisa mungkin ia tak mengungkapkan beban berat yang dipikulnya selama ini, ditambah dengan masalah orang tuanya. Devon selalu terlihat bahagia demi menutupi luka-lukanya.
Melihat Aluna yang sedang terburu-buru menuju ke kamar mandi yang berada di sebelah kelas Devon, X IPA 2 membuat Devon menatap Aluna dari jauh, membiarkan otaknya berfikir keras tentang apa yang membuat orang itu menyuruhnya menjaga Aluna dan mengapa ia yang diberi tanggung jawab seperti itu. Mungkin suatu saat ia akan mengerti.
Ia sedikit terlonjak saat ada yang menepuk bahunya.
"Woi! Ngelamun aja pagi-pagi gini. Lo abis lewat taman belakang sekolah ya Von?" tanya seorang lelaki berkulit putih bersih, ia Fahri, sahabat sekaligus teman sebangku selama 3 tahun dengan Devon semasa SMP.
Devon sedikit merinding mendengar kata taman belakang sekolah, karena isu-isu yang sering tersebar bahwa taman belakang SMA Mahakam itu berhantu.
"Apaan sih, ri." ucap Devon santai.
"Alah palingan lo juga takut Von, orang sama badut aja takut gimana sama setan, hahaha," sembur Fahri sambil tertawa melihat wajah Devon yang merah padam.
"Udah deh lo gausa ledekin gue, dah sana pergi ke kelas lo!" usir Devon secara tidak langsung karena sebal diejek seperti itu.