telu las

107 15 2
                                    

Fahri kembali ke kelas lebih awal daripada keempat perempuan yang masih menduduki kursi kantin itu. Tak lama tiba di kelas, ia didatangi Devon membuatnya melengos sok marah pada Devon yang sudah mengejeknya pagi-pagi tadi.

"Eh bocah, marah ya lo?" tanya Devon cengengesan sambil melangkah memasuki kelas X IPA 1, a.k.a kelasnya Fahri.

"Ngapain lo disini? Sana pergi ke kelas lo," ucap Fahri.

"Jangan marah dong, ri. Ntar gue gapunya temen yang bisa ngabisin makanan di cafe gue. Apalagi ntar ada acara ulang tahun gitu di cafe dan gue dapet banyak makanan, kalo lo gamau yaudah, gue gak maksa," ucap Devon, tak lama setelah Devon menyelesaikan ucapannya, Fahri langsung membulatkan matanya dan berbinar kesenangan mendapatkan makanan gratis. Devon yang melihat itu langsung terkekeh, tidak salah lagi, makanan selalu menjadi penolong saat ia membujuk Fahri untuk tidak marah padanya lagi.

"Beneran?" tanya Fahri masih dengan tampang kelaparannya.

"Iya, tadi gue ditelpon Mbak Riri. Katanya makanannya banyak banget, udah ditaroh di ruangan gue," jelas Devon yang semakin membuat Fahri tidak sabar memakan makanan gratis itu.

"Wah, enak bener. Ntar pokonya gue ke cafe punya lo, tenang aja gue bisa abisin semuanya," ucap Fahri sambil menepuk dadanya beberapa kali bermaksud percaya diri untuk menghabiskan semua makanan yang ada.

Devon menatap sahabatnya sambil geleng-geleng kepala heran. Ia tak berubah sejak dulu, selalu ceria tanpa beban yang membuat Devon seringkali iri pada Fahri. Memiliki keluarga yang harmonis, orangtua yang tidak pernah bertengkar dan selalu menyayangi anaknya, mempunyai saudara untuk berbagi cerita. Semuanya yang tak dimiliki Devon berada dalam diri Fahri. Hanya satu, Fahri bukan seorang yang bisa mendapatkan semua hal yang ia mau, berbeda dengan Devon yang bisa mendapatkan apa saja. Bahkan mungkin jika ia mau dibelikan mobil maka mobil itu akan datang keesokan hari atau beberapa jam kedepan.

Fahri harus berusaha mendapatkan hal yang ia mau dengan kerja kerasnya sendiri. Misalkan dengan menjadi pekerja paruh waktu, meskipun hasilnya sedikit tapi ia rela melakukan itu agar tidak menyusahkan kedua orang tuanya yang bekerja keras demi dirinya.

Namun sayangnya semua itu tidak cukup bagi Devon, jika hanya harta yang melimpah tanpa ada kasih sayang orang tua disekitarnya.

Devon sesekali terkekeh ketika Fahri melontarkan candaannya atau mengenang kembali masa-masa saat mereka memakai seragam biru putih.

Beberapa menit berlalu hingga akhirnya bel masuk pelajaran selanjutnya berbunyi membuat Devon mau tak mau meninggalkan kelas sahabatnya itu. Menuju kelas sebelah.

Devon segera menuju pintu kelas Fahri dan tidak sengaja menemukan Aluna dan tiga perempuan yang sedang bercanda di kursi panjang depan kelas. Lebih tepatnya Melly, Abel, dan Vera yang sedang bercanda. Sedangkan Aluna hanya sesekali tertawa kecil saat mendengar lelucon yang dilontarkan sahabat karibnya. Hal itu membuat Devon langsung melangkahkan kakinya ke arah Aluna.

"Hai Lun!" sapa Devon dengan senyum manisnya.

Aluna yang merasa dipanggil langsung mengalihkan perhatiannya dari Vera yang sedang menceritakan kucing tetangganya yang baru saja melahirkan.

Aluna hanya menaikkan sebelah alisnya dan seperti berkata ada apa?

"Lo mau gak ntar pulang sekolahnya sama gue?" tanya Devon. Aluna langsung mendengus dalam hati, Aluna mencari-cari alibi yang tepat untuk menolak ajakan Devon. Ia kembali lagi pada sifat dingin dengan orang yang baru dikenal.

"Hm ntar gue mau bareng sama Melly tuh, ya kan Mel?" Aluna menuntut Melly menjawab iya dengan pelototan. Melly pun hanya mengangguk-angguk tidak mengerti.

"Oh yaudah kalo gitu kapan-kapan aja deh, bye semua!" ucap Devon ramah dan tetap mempertahankan senyuman meskipun ia tau Aluna sengaja melakukannya, senyum yang membuat siapapun ikut tersenyum juga saking manisnya. Kecuali Aluna.

Setelah Devon pergi dari hadapan mereka, Vera langsung bertanya pada Aluna mengapa ia menolak ajakan Devon.

"Kenapa lo gamau nerima ajakan tuh anak, Lun? Terus kenapa pake boong mau bareng Melly?" tanya Vera dua pertanyaan sekaligus.

"Ga kenal gue, males aja" dan benar saja jawaban Aluna tidak memuaskan Vera.

"Masa gakenal? Padahal sebenernya kalo diliat-liat kalian cocok, siapa sih dia?" tanya Melly dengan cengiran yang bertengger di bibirnya.

"Ya kenal sih, tapi gak banget. Itu dia namanya Devon," ucap Aluna.

"Oh! Gue inget, dia yang add akun lo di line sama follow lo di instagram kan?" tebak Abel tepat sasaran. Aluna hanya menjawab dengan anggukan kepala malas dengan pembahasan ketiga temannya.

"Padahal bener kata Melly, sebenernya kalian cocok juga tuh, lo nya kan dingin dingin gitu. Nah Devon kan ramah, baik, manis. Kalo gue ibaratin tuh kalian kaya es kepal milo. Lo nya jadi es batunya yang dikepal. Keras, dingin. Devon jadi milo yang manis sama lumer di mulut. Kalian perpaduan yang pas!" ujar Vera girang.

Mendengar hal itu sontak Melly dan Abel tertawa akan hasil riset Vera yang tidak masuk akal. Aluna hanya memutar bola matanya malas menanggapi obrolan tidak penting Vera.

Aluna lebih memilih diam dan berkutat dengan ponselnya. Lalu mendengar Melly yang tiba-tiba meminta untuk diantar ke kelasnya, Aluna langsung semangat dan dengan senang hati mengantarkan Melly karena itu adalah kelas Satya.

"Bentar Mel, gue ambil sesuatu dulu di tas." ucap Aluna lalu berjalan menuju mejanya dan menemukan kotak berisi coklat dan surat untuk Satya. Ia tersenyum kala membayangkan Satya mengingat Aluna adalah sahabat semasa kecilnya.

"Yuk Mel," ucap Aluna santai dan membawa kotak berwarna biru laut itu di tangannya.

"Apaan tuh, Lun?" tanya Melly sambil berjalan berdampingan dengan Aluna menuju kelasnya.

"Kepo," jawab Aluna santai, membuat Melly merutuki dirinya sendiri karena pasti Aluna tidak suka diusik tentang masalah pribadi.

"Ini udah sampe Lun, sana kembali ke kelas lo. Makasih ya udah nganterin tuan putri sampe kelas," ujar Melly.

"Tuan putri apaan, nih nitip ya kasih ke Satya, hehe" ucap Aluna senyum-senyum. Karena ia tau Satya sangat suka coklat putih.

"Hah?" ujar Melly masih tak mengerti untuk apa Aluna memberi Satya kotak itu. Setelah beberapa menit berfikir membuat Melly ingat kalau Satya adalah teman Aluna semasa kecil.

"Udah jangan banyak tanya, dadah Mel!" ucap Aluna sedikit teriak karena koridor masih sangat ramai meskipun bel sudah berbunyi beberapa menit lalu. Melly langsung masuk ke kelas dan menghampiri meja deretan paling belakang untuk memberikan titipan Aluna kepada Satya.

"Sat, nih dari Aluna," ucap Melly yang membuat Satya mengangkat kepalanya yang semula ia letakkan diatas meja.

"Hm," ucap Satya cuek dengan suara khas bangun tidur. Ia memasukkan kotak biru laut itu ke dalam lokernya yang juga sudah penuh dengan hadiah-hadiah dari banyak siswi. Paling juga nanti ia memberikan seluruh kado itu pada tetangga sekaligus sahabatnya dari jaman masih bayi. Siapa lagi kalau bukan Fahri Aditya.

*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*

2 Juni 2018

IF I CANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang