17.

12.9K 1.3K 120
                                    


“Saya tidak mau kita terus-terusan seperti ini, Bal. Saya merasa aneh kalau kita saling bermusuhan.”

Iqbal memandang serius sosok laki-laki yang baru saja memasuki ruang kerjanya. Ia mengerutkan dahi, sedikit merasa aneh karena Aldi ternyata sudi untuk mendatangi ia lebih dulu hanya demi memperbaiki hubungan mereka yang sempat kacau.

“Saya minta maaf atas kejadian yang lalu. Tidak seharusnya saya menghina istri kamu.”

Aldi mengulurkan tangan. Iqbal menghela napas panjang lalu bangkit dari duduknya dan menjabat tangan Sang kawan.

“Al, saya juga minta maaf karena sudah memukul kamu saat itu.”

“Gak masalah, Bal. Saya memang patut diberi pelajaran. Terima kasih sudah mau memaafkan saya,” ujar Aldi sambil tersenyum.

Iqbal mengangguk.

“Omong-omong, lusa kamu ikut acara kantor gak?”

Iqbal mengerutkan dahi. Tampak mengingat-ingat sesuatu.

“Pergantian Direktur utama, Bal.”

“Oh itu... sepertinya saya gak bisa hadir. Saya harus pergi ke Bandung. Salah satu cabang perusahaan Ayah saya sedang ada sedikit masalah.”

Aldi menghampiri sofa. Ia duduk di sana dengan posisi menghadap ke meja kerja Iqbal.

“Okay. Omong-omong saya masih saja heran sama kamu, Bal. Padahal kamu sudah memegang jabatan bagus di perusahaan Ayah kamu. Tapi kenapa kamu masih saja mau bekerja untuk orang lain? Apalagi, di sini jabatan kamu ‘kan hanya manager personalia.”

Iqbal menarik bibir.

“Begitu juga kamu. Kenapa memilih untuk jadi manager pemasaran di sini dari pada memenuhi keinginan Ibumu untuk meneruskan usahanya?”

“Saya berbeda sama kamu. Kan kamu tahu sendiri, hubungan saya dengannya tidak sebaik hubungan kamu dengan Ayahmu.”

Iqbal melipat kedua tangannya di dada.

“Itu bukan alasan yang logis. Saya tidak percaya kamu mampu menolak jabatan sebagai ahli warisnya begitu saja hanya karena kalian terlibat perang dingin. Lagi pula hubungan saya dengan Ayah tidak sebaik yang kamu kira. Tapi karena saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas.”

“Alasan saya yang sebenarnya bukan karena perang dingin. Ibu saya pengekang, dia terlalu menjadikan saya bonekanya. Dan saya tidak suka itu. Saya hanya ingin hidup bebas tanpa diatur oleh siapa pun. Saya tidak mau umur saya habis hanya untuk menuruti setiap hal gila apa saja yang diinginkannya dari saya.”

“Sebaiknya kamu segera menikah, Al. Agar Beliau tidak lagi seperti itu. Jika kamu punya istri, setidaknya beliau akan mengerti bahwa kamu tidak lagi bisa dijadikan bonekanya mengingat kamu sudah memiliki tanggungjawab sendiri. Lagi pula saya kasih tahu satu hal, Al. Rasanya ada yang benar-benar menyenangkan saat kamu sudah punya istri dan mencintainya. Yakni keinginan terbesar kamu saat kerja pasti adalah pulang dan pulang. Kamu tidak sabar untuk melihat dia menyambut kedatanganmu di rumah. Memang terdengar sederhana, tapi pengaruhnya cukup besar untuk hati kita sebagai suami. Saya bilang kayak begitu sebab sekarang ini saya lagi merasakannya, Al.”

Love You Till Jannah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang