10.

15.4K 1.3K 68
                                    



Pukul sepuluh pagi, empat jam setelah kepergian Sang suami, Ummi, Paman, dan Siska akhirnya datang ke rumah. Mendapati hanya tiga orang saja yang hadir, Nayla mengerutkan dahi. Seolah mengerti apa yang sedang Nayla pikirkan, Siska lebih dulu memberitahu,

"Ayah workaholic sama seperti Kak Iqbal. Hari ini dia gak bisa ikut. Aku sebagai putrinya mewakili kata maaf, Nay."

"Ah, gak apa-apa kok, Sis. Lagi pula kehadiran kalian sudah lebih dari cukup bagiku," respons Nayla tidak enak hati karena dia yang meminta maaf padahal jelas itu bukan suatu hal serius untuk dipermasalahkan.

"Oh iya Nak, mungkin Ummi dan Pamanmu tidak bisa berlama-lama. Jadi, bisa kami membantu kamu sekarang saja?"

Nayla mengerutkan dahi.

"Loh, memangnya kenapa Ummi?"

"Ummi harus mengasuh, sayang. Pamanmu juga punya kewajiban pulang untuk mengurus istri dan anak-anaknya kalau kamu lupa."

"Ummi gak minta izin dua atau tiga hari? Aku pikir Ummi akan tinggal dulu dan baru kembali besok. Atau bahkan, aku bisa meminta Mas Iqbaal untuk membawa Ummi tinggal di sini bersama kami. Mas Iqbaal pasti tidak keberatan. Lagi pula aku'kan satu-satunya anak Ummi. Sudah sepatutnya aku mengurus Um--"

"Bisa kita bicara berdua, Nak?"

"Saya setuju dengan Nayla, Ummi. Saya yakin Kak Iqbaal tidak akan keberatan kalau Ummi tinggal di sini bersama kami. Jadi Ummi jangan merasa tidak enak hati. Kita semua'kan keluarga," ujar Siska seakan memiliki firasat yang sama dengan Nayla bahwasanya Ummi ingin menolak keinginan untuk tinggal bersama.

"Maaf, nak Siska. Ummi pinjam Nayla sebentar dulu, ya?"

"Ah iya Ummi, silahkan saja."
Ummi beranjak dari duduknya dan memberi Nayla kode untuk mengikuti. Mereka meninggalkan ruang utama di mana Siska dan Paman terlibat perbincangan ringan. Mereka berjalan beriringan menuju taman belakang dan berhenti di dekat sebuah kolam ikan. Ummi menatap Nayla beberapa saat sebelum akhirnya memulai pembicaraan.

"Nay, ketahuilah. Sekali pun Ummi tidak pernah berharap balas budi kamu atas segala hal yang pernah Ummi berikan ke kamu semenjak kamu dilahirkan. Ummi tahu niat kamu tadi itu sangatlah mulia. Tapi bagi Ummi, cara kamu itu salah, sayang."

Nayla diam menyimaknya.

"Nak, jangan sekali-kali kamu mencoba untuk memberatkan suami kamu. Ummi tidak ingin merusak keharmonisan keluarga kalian dengan tinggal bersama di rumah ini. Setiap pasangan pasti ingin memiliki privasinya masing-masing. Meski Ummi yakin Iqbal juga tidak akan keberatan dengan usul kamu, tapi Ummi sadar diri untuk tidak mengganggu kalian. Nak, masih ingat Hadist Riwayat Muslim yang mengatakan bahwa dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita sholihah?"

Nayla mengangguk.

"Masih, Ummi."

Ummi mengusap lembut kepala Nayla.

"Jadilah seperti wanita yang dimaksudkan itu, Nak. Sekarang, surga kamu bukan hanya terpaut di Ummi saja. Melainkan suami kamu. Sebab itulah wanita yang telah menikah dituntut untuk selalu mengutamakan suaminya dari pada kedua orangtuanya. Kamu tahu kenapa ridho suami memiliki tingkat kedudukan lebih tinggi dari seorang Ibu yang telah melahirkan istrinya?"

Nayla menggeleng.

"Pertama, seorang suami dibesarkan oleh Ibu yang mencintainya seumur hidup, nak. Tapi ketika dia sudah beranjak dewasa, cintanya hanya akan terfokus pada Sang istri yang belum tentu bisa mencintainya seumur hidup. Bahkan sering pula rasa cintanya kepada Sang istri akan melebihi rasa cintanya kepada Sang Ibu. Kedua, suami dibesarkan sebagai pria yang ditanggung nafkahnya oleh kedua orangtuanya sampai dia beranjak dewasa. Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad untuk menanggung nafkah istrinya. Ketiga, dia bekerja keras hanya demi mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya. Padahal di sisi Allah, seorang istri dihormati tiga kali lebih besar oleh anak-anaknya dibandingkan dia. Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri karena dia mencintaimu tulus. Keempat, bila Sang istri melakukan dosa, maka dia akan ikut terseret ke neraka karena dia bertanggung jawab akan maksiat yang telah dilakukan istrinya. Namun bila dia berbuat dosa, Sang istri tidak akan pernah dituntut ke neraka. Kelima, seorang suami bertanggung jawab atas empat orang wanita di dalam hidupnya. Yaitu Ibunya, Kakak atau Adik perempuannya, istrinya dan anak perempuannya. Jadi, kamu sudah mengerti seberapa besar beban yang harus dipikul seorang suami, kan?"
Nayla tertegun. Nayla baru tahu bahwa seorang suami rupanya memiliki banyak sekali tanggungan. Nayla mengangguk pelan dengan tubuh bergetar menahan tangis karena mengingat Iqbal yang akan menanggung itu semua.

"Nah, itulah alasan kenapa Ummi melarang kamu untuk bersikap sebagai istri yang suka meminta lebih pada suaminya. Ummi akan tinggal dengan senang hati di sini jika itu adalah keinginan nak Iqbal. Tapi kalau itu karena permintaan kamu, Ummi tidak bisa."

"Ummi," Nayla mengigit bibir.

"Apa benar surga itu ada pada setiap suami?"

"Maksud kamu?"

"Bagaimana jika suami tersebut memiliki pribadi layaknya fir'aun?"

"Surga tidak ada pada suami yang menyuruh istrinya durhaka pada orangtua apalagi Allah. Seorang istri dilarang taat pada suami yang menyuruhnya berbuat kedurhakaan. Surga tidak akan pernah ada pada laki-laki yang membuatmu mengabaikan orangtua apalagi Allah. Surga hanya ada pada laki-laki yang ta'at kepada Allah dan peduli pada kedua orangtuamu."

"Lalu, jika kita memiliki suami seperti fir'aun, apa kita boleh membangkangnya, Ummi?"

"Membangkang yang dibolehkan adalah jika dia tidak mengizinkanmu untuk beribadah pada Allah. Tapi kita tetap harus bersikap baik padanya. Jangan membangkang dengan ucapan kasar. Ingat, Asiyah binti Muzahim telah mengajarkan kita untuk bersabar dan harus tetap tegar meski hidup di tengah-tengah pusat kemaksiatan."



***



Semuanya sudah rapih. Berkat Paman, Ummi dan Siska, benda-benda yang masih berantakan di dalam kamar akhirnya berhasil dibereskan. Dan sesuai ucapan Ummi, dua anggota keluarga Nayla itu pun pulang tak lama setelah mereka menjalani tugasnya dalam membantu ia beres-beres. Sedangkan Siska memilih mengistirahatkan diri.
Sampai malam tiba, Siska tidak kunjung keluar. Nayla pun memutuskan untuk mengantarkan makan malam ke kamarnya selepas magrib. Dan Nayla hanya bisa geleng kepala saat melihat Siska yang masih tertidur pulas.

Ah, mungkin acara kemarin benar-benar membuat adik iparnya yang cantik itu kelelahan. Tak ingin mengusik kenyamanan Siska, Nayla segera berlalu keluar dan kembali ke kamarnya.

Tadinya, Nayla pikir Iqbal akan pulang maximal di jam sepuluh malam. Namun rupanya ia salah. Iqbal sungguh tak berdusta atas ucapannya dulu bahwa minggu-minggu ini dia punya urusan di kantornya hingga berakibat pada dia yang akan lembur.

Nayla yang mulai terserang kantuk, akhirnya memilih untuk menunggu sambil mengistirahatkan dirinya di ranjang. Tadinya Nayla berniat hanya memejamkan mata sekedar untuk merilekskan tubuh. Namun sayang sekali, Nayla justru kebablasan.
Nayla baru terbangun ketika telinganya menangkap bunyi derit pintu. Nayla lantas mengubah posisinya menjadi terduduk saat ia mendapati sosok Iqbal tengah memasuki kamar dengan langkah sempoyongan.

Nayla berjengit kaget ketika tubuhnya hampir terjatuh ke lantai. Untung saja ia lebih dulu sigap menahan bobot tubuh suaminya yang terasa berat dengan mendekap lelaki itu dan menuntunnya untuk duduk di sofa.
Saat Nayla mencoba membukakan jas hitam yang dipakai lelaki itu, Iqbal berbicara tak jelas hingga Nayla sampai menahan napas sebab mencium bau tak enak dari mulut suaminya. Bau alkohol. Bagaimana bisa?

Nayla melepas dasi juga sepatu yang Iqbal kenakan. Ketika Nayla hendak melakukan hal serupa pada kemeja putihnya, Iqbal menahan pergelangan tangan Sang istri.

"Maaf.”

“Ma-maaf untuk?”

"Saya---" Iqbal tak melanjutkan ucapannya.

Nayla mengerutkan dahi tidak paham kala Iqbal tiba-tiba saja beranjak lalu melenggang pergi menuju kamar mandi. Nayla kembali ke ranjang untuk melanjutkan tidur. Tapi entah kenapa keraguan merasuk dalam benaknya.

Nayla merasa ada yang tidak beres sehingga ia terpaksa menahan kantuk untuk menunggu Iqbal kembali. Namun, saat setengah jam sudah berlalu begitu saja, Iqbal tidak kunjung muncul di hadapannya.
Nayla mendadak merasa khawatir. Tadi Iqbal tidak sepenuhnya dalam kondisi sadar. Dia sedang mabuk dan Nayla takut sesuatu yang buruk sedang terjadi di dalam sana. Sebab itulah Nayla pun bangkit berdiri guna mendatangi suaminya. Nayla mengetuk pintu kamar mandi berkali-kali. Tapi tidak ada jawaban dari dalam. Meski begitu, Nayla dapat mendengar suara gemericik air.

"Mas?"

Tak ada jawaban.

Nayla menekan engsel dan merasa bersyukur karena ternyata Iqbal tidak menguncinya. Dengan dada yang berdebar tak karuan akibat terlalu mengkhawatirkan kondisi Sang suami, Nayla melangkah memasuki kamar mandi.

Lalu dadanya pun terasa nyeri tatkala kedua netranya yang cantik itu mendapati sosok Sang suami tengah terduduk di bawah shower dengan tubuh sudah basah kuyup. Mata Nayla kian membulat ketika ia melihat Iqbal sedang menikmati sesuatu yang padat berwarna putih, berbentuk tidak jauh berbeda dengan sebutir beras ke dalam mulutnya.

Nayla jelas tahu apa itu!

"Mas!"

Nayla bersimpuh di dekat Iqbal, lantas merebut barang laknat itu darinya. Nayla segera membuang narkotika berjenis sabu-sabu tersebut ke dalam toilet dan kembali menghadap Iqbal yang tampak frustasi sebab narkoba miliknya yang Nayla ambil.

"Saya gak tahu apa yang lagi kamu pikirkan, Mas. Kalau kamu punya masalah, ceritalah pada saya untuk membagi beban kamu! Jangan malah seperti ini! Menjadikan alkohol dan narkoba sebagai pelarian!"

Iqbal tertawa keras sampai matanya memerah. Responsnya jelas bukan hal yang lazim. Iqbal sedang euforia karena barang laknat itu. Nayla tahu karena salah satu pelajaran di sekolahnya pernah membahas ini.

"Membantu?"

"Mungkin saya gak bisa bantu banyak. Tapi setidaknya saya berniat menanggung sebagian beban kamu, Mas! Dengan kamu bercerita, siapa tahu saya punya solusi untuk--"
Ucapan Nayla tertahan saat Iqbal tiba-tiba saja mendorongnya ke dinding. Air dari shower pun turut membasahinya. Nayla menatap takut pada Iqbal ketika mengukungnya dengan kedua tangan. Nyali Nayla menciut kala laki-laki itu menyejajarkan wajah mereka. Nayla mengigil karena merasakan aura suaminya yang sedang tak bersahabat.

"Menanggung sebagian beban saya?" tanya Iqbal lalu tertawa sinis.

"Y-ya!"

"Kamu tidak akan bisa.”

"Saya---"

“Karena kamulah sumber masalahnya!”

Selanjutnya Iqbal jatuh tak sadarkan diri di dekapan Nayla yang tampak terheran-heran.

Love You Till Jannah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang