12.

14.3K 1.3K 43
                                    


"Mas, saya ke dapur dulu ya? Mau bikin sarapan untuk kamu," Nayla berkata sembari beranjak dari duduknya.

"Loh? Baru juga jam setengah empat."

"Kalau sarapannya sudah siap, saya jadi tenang Mas. Oh iya, Mas mau sekalian dibuatkan teh atau kopi gak?"

"Tidak."

"Oh, oke."

"Saya maunya kamu saja Nay."

Nayla meremas jari-jemarinya. Ia menatap canggung Sang suami yang saat ini ikut bangkit dari duduknya. Meski tidak tahu apakah Iqbal baru saja menggombal atau serius, Nayla merasa benar-benar gugup.

"Dari sekian banyaknya orang beragama yang pernah saya temui, hanya kamu lah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya mengenai Tuhan dengan logis. Saya merasa puas. Karena itulah, ada satu yang ingin saya tanyakan lagi ke kamu. Nay, jika kamu dilahirkan sebagai anak dari keluarga yang tidak beres, apa tanggapan kamu?"

"Gak beres dalam artian apa?"

"Segalanya. Baik itu pendidikan atau pun cara mereka memberikan kasih sayang namun dengan cara yang salah. Kalau kamu berada di posisi itu, apa kamu akan berpikir bahwa seandainya saja saya tidak dilahirkan oleh beliau, maka hidup saya tidak akan jadi seperti ini?"

Nayla menarik napas.

"Gak akan. Saya tetap bersyukur, Mas. Meski mereka memperlakukan kita dengan cara yang salah, sebenarnya itu gak terlalu berdampak pada masa depan kita sebagai anak asalkan kitanya pandai untuk memilah mana yang baik dan tidak. Mana yang sepatutnya dibuang dan yang mana yang seharusnya diamalkan. Mas, seorang anak memang dilahirkan dari rahim Ibu, tetapi dia punya kehendaknya sendiri. Seperti pembahasan saya mengenai takdir, semua pilihan ada di tangan kita. Kitalah yang menentukan masa depan kita sendiri. Orangtua hanya lah perantara yang mendukung saja. Mas, kesuksesan seorang anak tidak sepenuhnya karena orangtua. Melainkan tekad kuat ia untuk merancang masa depannya agar lebih baik."

Iqbal terdiam. Sedangkan Nayla melanjutkan,

"Pada dasarnya kita memang tidak bisa 'memilih' untuk dilahirkan dari rahim siapa dan keluarga seperti apa. Tetapi kita mampu 'memilih' untuk menjadi sosok yang lebih baik dari hari kemarin atau justru sebaliknya. Dan ketika kita memilih untuk menjadi lebih baik, Allah akan memberikan ujian untuk mengetes seberapa jauh iman kita. Semakin kuat iman kita, maka akan semakin besar pula ujiannya. Tetapi jangan cemas. Karena disetiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Disetiap masalah pasti ada penyelesaian. Satu hal yang perlu diingat adalah, Allah tidak akan memberi hamba-Nya suatu cobaan diluar batas kemampuannya."

Entah kenapa setiap mendengar kalimat yang terlontar dari mulut istrinya, perasaan Iqbal berubah tak karuan.

"Jadi kalau orangtua kita memperlakukan kita dengan buruk, kita tetap tidak boleh membangkangnya?"

"Seharusnya sih begitu. Akan lebih baik kalau kita sabar menghadapi mereka. Tetapi jika mereka mengajak kita untuk durhaka kepada Allah, maka kita wajib menentangnya."

"Kenapa bisa kamu bicara begitu, Nay?"

"Durhaka pada orangtua itu memang dosa besar. Terkecuali kalau durhakanya karena mempertahankan hak kita, iman, dan agama Allah."

"Lalu?"

"Baiklah, Mas. Saya akan menceritakan sebuah kisah yang pernah terjadi di zaman ke-Khalifahan Umar radhiallahu'anhu. Yakni mengenai durhaka orangtua terhadap anaknya."

"Orangtua durhaka kepada anak?"

"Iya. Dulu ada seseorang yang pernah mendatangi Umar ibn Khaththab radhiallahu 'anhu dan mengadukan persoalan anaknya. Beliau berkata pada Umar; Anakku ini benar-benar telah durhaka kepadaku. Kemudian Umar pun berucap pada Sang anak; Apakah engkau tidak takut kepada Allah dengan durhaka kepada ayahmu, Nak? Karena itu adalah hak orang tua. Sang anak pun membela diri; Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak juga punya hak atas orang tuanya?" Umar mengiyakan; Benar, haknya adalah memilihkan Ibu yang baik, memberi nama yang bagus dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Quran).

“Selanjutnya Sang anak berkata lagi; Demi Allah, Ayahku tidak memilihkan Ibu yang baik. Ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga 400 dirham. Ia tidak memberi nama yang baik untukku. Ia menamaiku Ju'al. Dan dia juga tidak mengajarkan Al-Quran kepadaku kecuali satu ayat saja. Ju'al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yang berkulit hitam dan berparas jelek atau orang yang emosional.”

Nayla tersenyum tipis.

“Lalu Umar menoleh ke Sang Ayah dan berkata; Engkau mengatakan anakmu telah durhaka kepadamu tetapi engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Enyahlah dari hadapanku! Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa seorang anak yang durhaka kepada orangtua yang durhaka kepadanya, maka berhak untuk membangkang. Seperti kata pepatah, di mana ada asap pasti ada api. Artinya, segala sesuatu pasti memiliki sebab."

Iqbal mengangguk paham.

"Nay, saya heran sama kamu. Kamu seperti banyak mengetahui tentang hadits, tetapi kenapa kamu tidak mencoba untuk menjadi penghafal Al-Qur'an?"

"Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan setiap dibalik dua insan yang berjodoh pasti ada sesuatunya. Allah tidak mungkin menakdirkan wanita dan pria untuk bersama melainkan agar mereka saling melengkapi satu sama lain."

"Maksud kamu, saya lah yang akan menutupi kekuranganmu itu dan kamu yang akan menutupi kekurangan saya sebagai mantan Hafidz yang tidak begitu tahu hadits?"

Iqbal melihat pipi Nayla yang merona. Nayla pun membenarkan lewat anggukan.

"Saya yakin sekali bahwa tiada yang lebih indah dari skenario Allah dalam menyatukan dua insan yang namanya sudah tertulis di lauhul mahfudz, Mas. Meski kamu belum sepaham dengan saya, tetapi setidaknya saya bersyukur bisa bertemu dengan jodoh saya lebih dulu dari pada ajal. Terima kasih karena Mas telah hadir untuk mengisi sebagian kisah hidup saya ini."

Love You Till Jannah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang