Nayla memperhatikan Ummi yang sedang menggendong Mufia di halaman depan rumah. Di waktu yang bersamaan, wanita itu tersentak kaget saat sepasang lengan kekar memeluk pinggangnya dari belakang. Menoleh sedikit, Nayla mendapati sosok Iqbal yang tersenyum lebar dan kini meletakkan dagu ke bahunya. Iqbal turut menyaksikan Ummi dan Mufia dibalik jendela.
"Masih gak ada niatan untuk kasih Mufi adik?" bisik Iqbal.
Nayla merespon dengan satu gelengan kepala. Nayla mengusapi punggung tangan Iqbal yang masih saja melingkar di pinggangnya.
"Kenapa?"
"Mufia masih kecil kalau kamu lupa."
"Tapi Mas kangen masa-masa pas kamu lagi hamil. Walau ngidam tuh... kamu aneh dan agak ngeselin sedikit. Tapi saya tetap suka kok. Saat kamu bikin saya kerepotan, saya justru senang. Sebab dengan itu, peran saya sebagai suami sekaligus Ayah dapat dirasakan sepenuhnya," kata Iqbal.
Nayla terkekeh. "Mas, maaf ya kalau dulu aku manja banget dan sering nyusahin kamu untuk menuruti semua keinginanku selama hamil Mufi. Mana aku selalu mengancam kamu dengan bawa-bawa dedek lagi."
Iqbal mengecup pipi Nayla. "Kan saya sudah bilang gak ada masalah dengan itu, sayang."
"Takut kamu kapok," ujar Sang istri.
"Ya enggaklah," Iqbal menarik napas.
"Nay saya kepingin anak lagi. Mudah-mudahan sih laki-laki. Biar nanti kalau dia sudah besar, bisa ikutan melindungi kamu dan Mufia."
"Karena aku dan Mufia, atau karena kamu mau menjadikannya ahli waris?" ledek Nayla.
Iqbal terkekeh dan mengangguk. "Itu juga salah satu alasannya. Mufia kan perempuan, saya gak mau tunjuk dia. Soalnya perempuan itu manusia yang terlalu mengandalkan perasaan."
Bibir Nayla mengerucut. "Sok tahu ah kamu."
Alis Iqbal terangkat. "Loh kok sok tahu? Kenyataannya memang begitu, sayang. Buktinya kamu cengeng dan hobi nangis kalau lagi masalah di antara kita. Iya' kan?"
Nayla melepaskan pelukan Iqbal dan membalikkan tubuhnya. Wanita itu memandang Iqbal dengan jengkel. "Aku heran deh sama kaum kamu yang suka banget mengatai para perempuan itu cengeng. Pernah gak sih Mas berpikir kalau misalnya perempuan itu sedikit-sedikit main tangan, sedikit-sedikit banting barang, bagaimana nasib anaknya kelak? Bagaimana dengan rumah tangganya? Bakal Samawa gak? Pastinya enggak kan Mas. Sebab itu, wajarkan saja kalau perempuan suka sekali menangis ketika masalah tengah melanda. Bukan karena cengeng, melainkan untuk memberi kekuatan saat kami tidak menemukan sandaran."
Iqbal diam tak berkutik. Nayla tersenyum jahil dan meletakkan jari telunjuknya ke ujung hidung laki-laki tersebut. "Jadi, Mas pilih yang mana nih? Perempuan yang terlihat lemah karena menangis terus, atau perempuan kuat yang hobi main tangan? Hm?" candanya.
Iqbal memegang tangan Nayla, dengan cepat ia mengapit hidung istrinya dengan jari tengah dan telunjuk. Nayla tersentak kaget dan segera mengusap pelan hidungnya seakan-akan kesakitan. Iqbal pun tertawa pelan.
"Yang kaya kamu."
"Yang cengeng?"
"Bukan yang cengeng. Tapi yang lemah lembut. Biar aku bisa diandalkan sama kamu terus."

KAMU SEDANG MEMBACA
Love You Till Jannah
EspiritualPertemuan mereka kerap di warnai perdebatan. Iqbal Alfakhri merupakan seseorang yang menjadikan sains sebagai pedoman hidupnya. Sedangkan Nayla Kinanti merupakan muslimah ta'at yang hidup berlandaskan dalil. Ketika takdir mempersatukan mereka dalam...