Nayla menatap rumah besar yang menjulang tinggi di depannya. Pilar-pilar yang berdiri ditiap sisinya kian menambah kesan mewah bagi siapa saja yang melihat.
MasyaAllah... Nayla tak menyangka bahwa lelaki bernama Iqbal itu tinggal di sini. Di rumah yang luasnya seperti istana. Nayla bahkan masih tak percaya bahwa tadi dirinya dijemput sebuah mobil setelah pulang dari sekolah.
"Nona, mari ikuti saya."
Yang berbicara padanya itu adalah supir yang Iqbal maksudkan seminggu lalu. Namanya Riki. Nayla mengangguk patuh dan mengekori kepergiannya di belakang. Riki membawanya memasuki rumah usai pintu dibukakan oleh dua penjaga. Melintasi ruang utama, Nayla terkagum-kagum saat melihat ada banyak sekali pelayan ramah yang menyambut kehadiran mereka.
"Selamat datang," sapa salah satunya. Nayla tersenyum kikuk dan membalas dengan anggukan.
Lalu Riki membimbingnya menuju tangga. Mereka pun menaikinya satu per satu. Riki dan Nayla menghentikan langkah setibanya mereka di depan pintu sebuah ruangan. Riki mengetuk pintu itu kemudian membukanya.
“Permisi, Tuan. Nona Nayla sudah datang."
"Suruh dia masuk."
Riki meminta Nayla untuk masuk dengan tangannya yang bergerak mempersilakan. Nayla langsung berjalan memasuki ruangan. Tak lama setelahnya pintu pun ditutup dari luar. Nayla segera menundukkan pandangan ketika tanpa sengaja kedua matanya bersinggungan dengan netra lelaki yang sedang duduk santai di sofa.
Beberapa saat kemudian Nayla mendengar derap langkah kaki yang berjalan mendekatinya.
"Terima kasih karena sudah memenuhi permintaan saya, Nayla."
Nayla tersentak ketika merasakan ada tangan yang meraih jemarinya dan menggenggamnya dengan erat. Nayla sontak menepis tangan itu.
"Maaf, bukan mahram," katanya mencoba menjelaskan agar Iqbal tidak tersinggung dan salah mengartikan bentuk responsnya.
Suasana menjadi hening. Iqbal terdiam sambil memperhatikan Nayla dengan intens. Gadis di depannya kembali menundukkan pandangan. Nayla memilin ujung hijabnya dengan jantung berdetak cepat akibat khilaf sebab sempat membiarkan matanya membalas tatapan Iqbal lebih dari tiga detik. Astaghfirullah, ia baru saja zina dalam hal pandangan.
"Oh, okay. Kalau begitu kamu ikut saya sekarang," ujar Iqbal seraya berlalu mendahului Nayla keluar ruangan.
Mereka berjalan menuju ke sebuah kamar yang berada di lantai yang sama. Setibanya di sana, tepatnya saat Nayla melihat adanya sosok perempuan yang tampak sibuk memandangi jendela kamar sembari duduk di kursi rodan dalam diam, tubuh Nayla mematung. Sosok itu tak lain adalah pemudi yang terlibat kecelakaan di malam itu. Dada Nayla berdebar. Rupanya Iqbal memang tak berbohong soal adiknya yang lumpuh.
"Siska," Iqbal memanggil lembut sosok tersebut. Lelaki itu mendekati Sang adik dan berlutut di hadapannya.
"Dia sudah datang," Iqbal berkata sambil melirik Nayla. Sosok yang dipanggil Siska pun menoleh.
Dada Nayla berdebar tidak karuan saat dirinya mendapati ada senyuman manis yang tampak terukir di wajah Siska. Nayla pikir kehadirannya justru akan membuat Siska murka dan menyumpah-serapahinya sebagai penyebab pemudi itu kecelakaan. Tetapi ternyata Nayla salah. Kendati marah, Siska justru terlihat bersahabat.
"Hai?" sapaan ramah Siska membuat Nayla tertegun. Dengan gugup Nayla membalas,
"Eum, ha-hai?"
“Namamu Nayla?”
“Iya.”
"Aku Siska. Kak Iqbal udah kasih tahu padaku perihal kamu yang akan merawatku untuk sementara waktu. Setidaknya sampai nanti aku terbiasa melakukan semua hal sendirian. Oh ya, Kak Iqbal bisa tolong tinggali kami berdua dulu? Aku mau bicara banyak sama Nayla."
"Sure," Iqbal beranjak dari simpuhannya.
"Makasih, Kak."
Iqbal membalas dengan anggukan. Setelahnya ia angkat kaki dari sana. Bersamaan dengan pintu yang baru saja ditutup dari luar, Siska menggerakkan kursi rodanya mendekati Nayla.
"Maaf kalau malam itu aku sempat bikin kamu nyaris jantungan. Syukurlah kamu gak apa-apa, Nayla.”
"Ah! Akulah yang seharusnya minta maaf. Karenaku, kamu jadi mengalami semua ini. Aku terlalu ceroboh waktu nyebrang. Aku benar-benar minta maaf."
"Jelas aku yang salah, Nay. Malam itu aku maksain diri nyetir padahal lagi gak fokus.”
Selanjutnya mereka membicarakan banyak hal. Baik tentang kejadian lalu mau pun lainnya. Sampai tidak terasa waktu pun cepat sekali bergulir. Arloji di tangan Nayla bahkan sudah menunjukkan jam empat sore. Karena rumah ini letaknya cukup jauh dari pemukiman warga dan masjid, maka mereka tidak mendengar suara azan yang berkumandang. Namun sebab telah hafal, tentunya Nayla tahu ini sudah memasuki waktu ashar.
"Oh iya, Sis. Boleh aku pinjam mukena dan sejadahmu?"
"Untuk apa?" Siska bertanya heran kala Nayla berkata seperti itu di sela-sela obrolan mereka.
Kini setelah Siska memberi respon, justru Nayla yang gantian bertanya-tanya dalam hati. Kenapa kiranya Siska malah menanggapi ia dengan pertanyaan seperti itu? Tidak mungkin Siska tak tahu fungsi dua benda yang ia sebutkan tadi, kan?
Nayla yakin Siska bukan seorang non-muslim, karena di salah satu dinding kamar gadis itu terdapat kaligrafi yang mengukir nama Rasulullah.
"Shalat."
“Oh... sebentar, aku ambilkan dulu," Siska menjalankan kursi rodanya mendekati almari guna mengambil sebuah mukena cokelat tua dan sejadah dengan warna senada. Nayla mengekor di belakangnya.
"Kiblatnya di sana," Siska menunjuk ke suatu arah sembari memberikan dua benda miliknya pada Nayla. Benda yang telah lama tak ia gunakan lagi.
"Kamu bisa ambil wudhu di kamar mandi. Kalau begitu aku keluar dulu ya Nay?”
"Ah iya Sis.”
Nayla bergegas mengambil wudhu di tempat yang Siska maksudkan.
***
Nayla merapikan mukena dan sejadah yang dipinjamkan Siska lalu menaruhnya di pinggiran ranjang. Tak lama kemudian pintu kamar mendadak dibuka dari luar dan sosok Iqbal yang muncul tak ayalnya mengejutkan Nayla.
"Saya dengar kamu habis ibadah," Iqbal berkata sambil melipat kedua tangannya di dada dan memandangi Nayla dengan arogan. Lalu pria itu pun berjalan menuju ke arah balkon.
Sungguh. Nayla tidak mengerti kenapa Iqbal berkata begitu. Apakah baginya shalat adalah sesuatu yang tak lazim? Bukankah Iqbal juga memiliki keyakinan yang sama dengannya?
"Kalau saya boleh tahu, sebenarnya fungsi shalat itu apa sih, Nay?"
Mata Nayla membulat sempurna. Kali ini ia tidak salah dengar, kan?
"Memangnya kenapa, Mas?"
"Jawab saja pertanyaan saya."
"Shalat itu salah satu bentuk komunikasi seorang hamba kepada Allah."
"Komunikasi?" Iqbal sedikit mengubah posisinya jadi menyamping, menghadap ke arah Nayla.
"Ya."
"Dan kamu percaya kalau Tuhan itu benaran ada?" pertanyaan Iqbal sungguh di luar nalar. Mulut Nayla terbuka saking tidak menyangka Iqbal dapat melontarkan kata-kata itu dengan mudahnya.
"Tentu!”
"Apa yang membuat kamu percaya kalau Tuhan itu ada?"
"Salah satunya adalah dunia ini. Kehidupan yang kita jalani sudah ada yang mengaturnya. Dan Sang Pengatur itu adalah Tuhan."
“Semudah itu?" tanya Iqbal sambil menyeringai.
"Ternyata dangkal sekali ya pemikiran kamu? Hanya karena tidak tahu siapa yang membuat alam semesta, kamu jadi berpikir bahwa Tuhan- lah yang telah menciptakannya."
"Kenapa kamu bicara begitu?" Nayla mencoba menahan kesal.
"Karena saya ingin menyadarkan kamu kalau Tuhan itu sebenarnya tidak ada."
"Astagfirullah," Nayla refleks mengelus dada.
"Kenapa Mas bisa punya pikiran kayak begitu?"
"Sains sudah menjelaskan semua yang ada di dunia ini. Mulai dari asal adanya alam semesta, makhluk hidup dan segala isinya. Kalau kamu berpikir Tuhan yang menciptakan semua ini, saya rasa kamu masih butuh banyak belajar lagi, Nayla Kinanti.”
Nayla menahan diri untuk tidak memberikan lelaki itu tamparan. Lancang sekali dia mengatakan bahwa Tuhan tidak ada? Sekarang Nayla paham siapa yang sedang ia hadapi ini. Rupanya Iqbal seorang atheis. Nayla berharap Siska tidak seperti Kakaknya.
"Kamu tahu baju, kan?" tanya Nayla.
"Tentu saja."
"Siapa yang membuatnya?"
Iqbal mengerutkan dahi.
"Penjahit."
"Nah, baju gak akan pernah ada kalau gak adanya penjahit. Begitu juga dengan alam semesta. Alam semesta itu gak akan pernah ada tanpa adanya Tuhan."
"Oh ya? Bagaimana kalau saya katakan alam semesta ada karena terjadinya Big Bang? Lagi pula, bukankah penjahit bisa kita lihat dan diketahui keberadaannya? Sedangkan Tuhan? Bahkan kamu saja tidak pernah melihatnya, kan?"
"Tuhan memang gak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan keberadaannya," Nayla menjeda beberapa saat kemudian melanjutkan,
"Kalau kamu masih bersikeras menentang bahwa Dia gak ada hanya karena Mas Iqbal gak bisa melihatnya, maka saya akan bertanya hal yang sama. Apa kamu bisa melihat kedua mata kamu tanpa bantuan benda lainnya? Gak bisa, kan? Seperti itulah Dia. Tuhan gak akan bisa dilihat oleh kita. Tapi bisa dirasakan dan benar-benar ada layaknya mata kamu yang kamu pergunakan untuk melihat itu. Kamu gak bisa melihat seperti apa bentuk mata kamu, bagaimana warna maniknya, tapi kamu bisa merasakan keberadaannya lewat kelebihan kamu untuk melihat sesuatu yang ada di sekeliling kamu."
"Kamu pikir saya akan mudah luluh dengan penjelasan kamu?"
Nayla benar-benar tidak suka dengan lelaki itu saat dia bilang bahwa dirinya tidak mempercayai adanya Tuhan. Dan Nayla curiga Iqbal ingin membuat ia memiliki pikiran yang sama dengannya. Iqbal sengaja membuat perdebatan dimana Nayla akan dibuatnya seolah-olah terlihat bodoh karena tidak bisa menjawab dengan kata-kata logis.
"Baiklah, mungkin ini satu-satunya yang bisa saya jadikan pembelaan. Yaitu teori peluang. Saya adalah seseorang yang mempercayai adanya Tuhan. Sedangkan kamu adalah kebalikannya. Jika ternyata Tuhan itu memang ada, maka saya katakan saya akan selamat dari siksaan-Nya. Dan kamu akan menerima hukuman akan hal ini Mas. Namun bilamana ternyata Tuhan itu tidak ada seperti yang kamu bilang, maka baik saya atau pun kamu gak akan dirugikan sama sekali. Kamu mengerti maksud saya, kan? Setidaknya posisi saya di sini jauh lebih beruntung daripada kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You Till Jannah
SpiritualePertemuan mereka kerap di warnai perdebatan. Iqbal Alfakhri merupakan seseorang yang menjadikan sains sebagai pedoman hidupnya. Sedangkan Nayla Kinanti merupakan muslimah ta'at yang hidup berlandaskan dalil. Ketika takdir mempersatukan mereka dalam...