Jemari Nayla saling meremas satu sama lain. Sesekali ia melirik resah pada pintu ruangan yang tertutup rapat di depannya. Nayla masih setia duduk untuk menunggu kabar dari Dokter perihal kondisi pemudi yang sedang mendapatkan pertolongan serius di dalam sana. Dan di ruang tunggu ini, ia tidaklah sendirian. Ada dua orang yang menemaninya dan merekalah yang bersedia untuk menjadi saksi atas kecelakaan itu.
Tak lama kemudian suara gaduh dua orang yang berlari terdengar dari salah satu lorong rumah sakit. Nayla menoleh ke sumber suara. Dua pria dewasa tampak mendekat ke arah mereka. Sesampainya di hadapan mereka, pria berkacamata yang Nayla taksir usianya nyaris menginjak tiga puluh tahun itu bertanya dengan panik,
"Mana Adik saya?"
Nayla dan dua saksi sontak bangkit dari duduknya. Wanita paruh baya yang ada di samping Nayla pun merespons,
"Adik Mas ada di dalam sana," lalu ia menunjuk pintu yang berada di depannya.
"Apa Anda Kakaknya?" kali ini lelaki paruh baya pemilik warung tempat Nayla membeli obat, bertanya balik.
Pria berkacamata minus tersebut mengangguk membenarkan,
“Ya.”
"Bisa ikut saya sebentar? Saya akan menjelaskan apa yang telah terjadi pada Adik Anda.”
Usai melirik Nayla sekilas, pria itu mengekori kepergian Si pemilik warung. Dari jarak Nayla berdiri, gadis itu bisa melihat rahang pria berkacamata yang tampak mengeras kala Sang pemilik warung menjelaskan sesuatu padanya.
Kemudian mereka berdua kembali menghampiri Nayla. Tepat setelah tiba di hadapan Nayla, pria berkacamata itu tiba-tiba saja menarik lengannya kasar dan mendorong Nayla ke dinding. Ia mengunci seluruh pergerakan Nayla agar tidak bisa meloloskan diri. Tangan satunya yang bebas ia pergunakan untuk mencekik leher Nayla secara brutal. Ada kilat marah yang jelas-jelas ditunjukkannya lewat tatapan mata.
"Gara-gara kamu Adik saya jadi mengalami kecelakaan!" makinya.
Fokus Nayla mendadak hilang akibat kesulitan bernapas. Nayla mencoba untuk melepaskan cengkeraman lawannya yang terasa menyakitkan. Tetapi sayang, ia tidak bisa. Tangan itu terasa sangat kuat dan Nayla tahu tenaga yang ia miliki tidak sebanding dengan tenaga pria itu.
Ketika Nayla sudah pasrah menerima takdirnya yang mungkin akan tewas ditangan pria tersebut, Nayla dikejutkan akan sesuatu. Pria yang berusaha membunuhnya mendadak jatuh tersungkur. Dengan fokus yang mulai mengabur, samar-samar Nayla mendengar suara emosi Si pria berkacamata,
"Biarkan saya memberinya sedikit pelajaran, Al!"
"Sadar, Bal! Ini rumah sakit! Gak seharusnya kamu begitu! Apa yang kamu lakuin tadi gak akan pernah bisa menyelesaikan masalah! Kalau sampai gadis itu mati, kamu pikir Polisi akan tinggal diam?"
Selanjutnya Nayla pun tidak dapat menangkap apa yang dikatakan Si pria berkacamata. Yang ia tahu, seluruh obyek di sekitarnya mendadak berubah jadi gelap. Kepalanya pun berdenyut sakit. Keseimbangannya terasa goyah.
Hal terakhir yang ia ingat setelah itu adalah, ia limbung ke lantai yang terasa sangat dingin dan jatuh tidak sadarkan diri.
***
Pukul empat pagi, Nayla baru tersadar dari pingsannya. Dan ia langsung dibuat heran akan kenyataan bahwa dirinya – entah bagaimana sudah berada di dalam kamar. Saat memutuskan pergi keluar untuk mencari Ummi, Nayla tersentak kaget tatkala mendapati lelaki yang hampir saja membunuhnya di rumah sakit tadi, ada di sana. Sedang duduk berhadapan dengan Ummi di ruang tamu. Nayla bergegas melangkah menuju keduanya yang tampak terkesiap ketika mereka menyadari keberadaannya.
"Loh Nay, kamu sudah bangun?" tanya Ummi. Nada suaranya terdengar bahwa ia masih mengkhawatirkan kondisi Sang putri.
Nayla hanya menjawabnya lewat satu anggukan lalu mengalihkan fokusnya pada sosok pria yang tengah duduk santai di salah satu bangku. Kemudian Nayla membagi pandangannya pada Ummi. Dari sorot mata, ia meminta penjelasan mengapa kiranya lelaki ini ada di rumah mereka. Ummi yang mengerti kode Nayla pun memberikan penjelasan.
"Nak Iqbal sudah memberitahu Ummi mengenai apa yang terjadi pada Adiknya.”
"Lalu?" tanya Nayla.
Lelaki yang ternyata bernama Iqbal, memotong percakapan Nayla dengan Ummi.
"Saya harap kamu mau bertanggungjawab,” satu kalimat itu tak urungnya membuat Nayla memicingkan mata.
"Maaf? Apa kesediaan saya membawa Adik Mas ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan segera dan menunggu hingga keluarganya datang gak lebih dari cukup? Dan apa yang terjadi itu 'kan bukan sepenuhnya salah saya. Adik Mas turut andil dalam hal ini. Seandainya dia langsung menginjak rem---"
"Nayla Kinanti!" teguran Ummi membuat Nayla mengurungkan niatan untuk terus membela diri.
"Adik saya mengalami kelumpuhan permanen. Saya butuh seseorang untuk merawatnya. Karena itu, saya ingin kamu yang melakukan tugas tersebut. Hitung-hitung sebagai tanggungjawab yang harus kamu lakukan. Saya tidak akan meminta jasamu secara gratis. Saya akan membayarnya perbulan.”
"Maaf, saya masih sekolah. Saya gak--"
"Nak Iqbal, kapan Nayla bisa mulai bekerja?" Ummi menyela perkataan Nayla.
"Minggu depan, Tante. setelah Adik saya diperbolehkan pulang dari rumah sakit.”
"Baik. Sehabis pulang sekolah, Nayla akan datang ke rumah Nak Iqbal untuk mulai bekerja.”
Nayla benar-benar tidak paham apa yang sedang Ummi pikirkan. Yang jelas ia tidak setuju dengan keputusan Ummi yang sepihak itu.
"Saya akan mengirimkan mobil jemputan setiap hari di sekolahnya. Kalau begitu saya pamit dulu. Dan terima kasih atas kerjasamanya."
"Iya, Nak Iqbal. Hati-hati di jalan."
Selepas kepergian lelaki itu, Nayla menunjukkan protesnya pada Ummi.
"Kenapa Ummi menerimanya? Apa Ummi gak takut kalau ternyata dia meminta Nay bekerja di rumahnya karena punya motif balas dendam terselubung?"
"Astagfirullah, jangan pernah kamu su'udzon! Ingat, Allah gak suka pada hamba-Nya yang suka bersu'udzon,” kata Ummi memperingati.
"Tapi bagaimana kalau ternyata dugaanku emang benar? Apa masih bisa dikatakan su'udzon?"
Ummi melangkah menuju dapur dan Nayla mengekorinya di belakang.
"Sekali pun itu benar, kamu tetap harus berhusnudzon. Itu jauh lebih baik--- uhuk,"
Mendengar Ummi terbatuk, Nayla segera menuang air ke dalam gelas lantas diserahkannya pada Ummi yang langsung meminumnya.
"Ummi, apa dia juga cerita bagian waktu dirinya hampir aja ngebunuh Nay waktu kami di rumah sakit?"
"Iya. Dia bilang dia hanya khilaf akibat terlalu tertekan. Lagian dia juga sudah meminta maaf atas hal itu, jadi gak ada alasan kenapa kita gak mau menerima permohonannya tadi, kan?"
Seperti biasanya, Ummi selalu bisa membuat Nayla mengalah.
"Baik Ummi, kalau begitu Nay mau berkerja dengannya.”
"Nah, itu baru anak Ummi."
Ummi mengusap pipi Nayla. Sang putri mengulum senyum dan memeluknya. Ummi mendaratkan satu kecupan hangat di kening Nayla. Nayla kian mempererat pelukan mereka.
Meski hanya hidup berdua, yakinlah bahwa Nayla benar-benar merasa sangat bahagia dan bersyukur telah dilahirkan dari rahim sosok Ibu yang penuh akan kasih sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You Till Jannah
SpiritualPertemuan mereka kerap di warnai perdebatan. Iqbal Alfakhri merupakan seseorang yang menjadikan sains sebagai pedoman hidupnya. Sedangkan Nayla Kinanti merupakan muslimah ta'at yang hidup berlandaskan dalil. Ketika takdir mempersatukan mereka dalam...