"Kita pernah sedekat nadi sampai akhirnya sejauh bumi dan matahari."
-Eza (yang lagi di mabuk sajak)
***
Harusnya hukuman skorsing itu berakhir hari Senin, namun entah mengapa tiba-tiba saja pada hari Kamis ia sudah disuruh kembali ke sekolah tercintanya. Laki-laki itu mengusap wajahnya lalu tengkuknya, di bahu kanannya tersampir tas ransel dengan lengan baju yang digulung dan dan tangannya menggenggam sebuah plastik berwarna putih.
Ruang BK itu lagi, sial. Jumpa Pak Fandi lagi. Double sial. Dan di ceramahin lagi. Benar-benar sialan.
Tanpa permisi, Eza membuka pintu ruangan BK tersebut dan langsung duduk kemudian meletakkan sebuah plastik itu di atas meja Pak Fandi. Eza tidak hanya berdua di ruang BK itu, ada dua orang anak laki-laki yang sedang berbicara kepada guru BK di sudut ruangan.
"Gimana kabar kamu Eza?" Pak Fandi memakai kaca matanya. Wajahnya terlihat serius dengan tubuh kurus itu.
Eza menyandarkan badannya pada kursi. "Kenapa skorsing saya udah berakhir sih, Pak? Kan kemarin katanya seminggu. Masa di percepat. Kan saya gak bisa bobo malam lagi jadinya." Protesnya dengan kesal.
"Yah... yah... yah... saya berubah pikiran. Ngomong-ngomong, kamu udah sadar belum kesalahan kamu?"
Ah masalah itu lagi.
"Enggak. Saya gak merasa bersalah karena udah nonjok anak itu. Yang saya lakuin itu benar."
"Itu tindak kekerasan Eza!"
"Bukan," balas Eza dengan kalem. "Itu namanya pembelajaran. Anak laki-laki itu menyerang saya secara tiba-tiba. Biasa, Pak. Fans fanatik emang suka begitu."
"Eza..." Pak Fandi melihatnya dengan tatapan peringatan.
"Oke..oke.." Eza menghela napas. "Dia menggunakan hp pada saat kita mengerjakan soal olimpiade. Saya cuma melaporkannya aja, Pak. Karena saya pikir, ini olimpiade, bukan ujian yang bisa contek-mencontek. Perwakilan sekolah untuk olimpiade itu pastinya sudah di seleksi. Apa pantas dia melakukan hal seperti itu ketika sekolah mempercayainya untuk menjadi perwakilan sekolah? Saya rasa enggak."
"Eza-"
"Bapak tau kan jiwa saya itu kelam?" Laki-laki itu menatap dengan serius. "Cukup jiwa saya aja yang kelam, jangan sampe negara ini juga kelam karena generasinya kayak dia semua. Gak lucu, ya kan, Pak?"
Pak Fandi meneliti penampilan Eza. Laki-laki ini adalah salah satu pelanggan setia ruang BK. Sebenarnya dia tidak nakal, cuma ya, tindakannya terlalu 'aneh'.
"Udah kan, Pak? Saya mau masuk kelas nih."
"Yasudah, pesan saya jangan diulangin lagi. Kamu liat kan karena kamu berantem kamu jadi di diskualifikasi dari olimpiade itu?"
Mana mungkin Eza berjanji? Yang benar saja. Laki-laki itu paling alergi kalau ada orang yang seperti itu.
"Saya ke kelas ya, Pak?" tanyanya tanpa mau menjawab terlebih dahulu pertanyaan Pak Fandi.
"Iya, jangan buat onar."
"Saya pergi nih, Pak."
Pak Fandi mengerutkan keningnya. "Iya!"
"Bener nih saya pergi?"
"Iya, Eza."
"Jangan rindu, lho," ancam Eza.
"Kamu mau saya hukum?" Pak Fandi melotot.
Eza tertawa seperti iblis, lalu mengambil plastik yang tadi dibawanya. Dari belakang, Pak Fandi memperhatikan sambil menggelengkan kepala. Tahun ketiga semester satu minggu keempat dan dia kembali berbuat ulah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Draft
Teen Fiction[Privat] Awalnya, Eza suka dengan Alea. Namun semuanya berubah ketika ia tahu fakta tentang Alea. Hingga akhirnya, ia berniat akan menghancurkan hati gadis itu. All right reserved by Black Rose || copyright 2018