Tania selalu menjadi bagian penting dari hidup Eza, entah sebagaimana pun sikap perempuan itu. Pernah sekali, ketika rasa sakitnya memuncak dipisahkan dari dirinya, Eza bertanya pada sang Papa kala itu ketika ia Tania akan berangkat ke Bali bersama orang tuanya.
"Gimana kalau Eza kasih tau Mama kalau Tania itu kembaran Eza? Boleh ya, Pa? Biar Tania juga bisa bahagia di sayang sama Mama."
Papa-nya mengalihkan pandangan dari komputer, mengerutkan keningnya. Antara senang tidak senang, Eza tidak bisa menilai itu. Bibir laki-laki paruh baya itu menipis, ia menggeleng pelan.
"Papa juga mau Tania sama kita, tapi, Eza, Papa gak mau sesuatu berubah di dalam keluarga kita. Kadang untuk mendapatkan kebahagian kita harus benar-benar menutup rapat kebenaran yang menyakitkan diri kita."
Bagian ingatan itu membuat Eza menghela napas, suara ketukan pintu itu membuatnya berdiri.
"Ca," teriaknya sambil berusaha untuk diam. "Eca bukain pintu."
Tak mendapatkan jawaban, Eza berjalan dengan langkah lambat. Sibuk mengumpat disaat suasana hatinya sedang tidak enak. Siapa tamu yang datang pada malam hari seperti ini?
Bahwa apa yang di temukannya di balik pintu, membuat kembali merasa semakin marah. Entahlah, Eza bingung harus bersikap apa.
"Gue belajar pake tongkat," kata gadis itu sambil tersenyum.
Eza membalas dengan datar.
Senyum Tania pudar, perempuan itu menghela napas. Pandangannya kabur terhalang genangan air mata dan ia menengadah, mencegah air mata itu jatuh.
"I'm sorry." Katanya dengan bergetar. "I didn't mean to hurt you."
"But you did." Kata Eza dengan kasar. "Lo tahu gak sih, Ta? Kalau Aksa adalah adik dari Raksa? Seseorang yang lo tuduh menghamili lo? Dan- Oh shit, how stupid i am, gue nyakitin adiknya untuk buat perbuatan Raksa impas. Betapa tololnya lo menceritakan kebohongan itu sama gue?!"
"Karena gue gak mau lo ninggalin gue, Eza. Lo nggak akan pernah mengerti gimana rasanya menjadi rendah dan ketika orang yang lo sayangi menganggap lo hina."
"Mereka gak akan berbuat begitu kalau lo gak melakukan hal hina itu, Tania."
"Liat sekarang," kata gadis itu dengan marah. "You did. Tatapan lo, Eza. Lo jijik kan sama gue."
"Lo sadar gak sih, Ta?" Eza bertanya lirih, "Gue rela melakukan apapun demi lo, tapi gak gini caranya. Dengan kebohongan. –Ah ya Tuhan, gue bener-bener gak ngerti lagi."
"Za-"
"Tell me the truth." Tegas laki-laki itu. "Jangan pake kebohongan lagi, Ta."
Gadis itu nampak menghirup napas dalam-dalam. "Gue yang salah. Gue jatuh cinta sama teman Raksa."
"Dan hamil?" bisiknya.
Pertanyaan itu menggantung dan Tania nampak enggan menjawab. Namun ketika tatapan mereka bertemu, Tania mengangguk lalu menangis. Eza mengusap rambutnya, berdecak kasar.
"Gue gak keguguran," kata Tania yang membuat Eza kaku. "Gue melakukan aborsi."
"ASTAGA!" Eza membentaknya. "Lo tolol banget, anjing! Bayi gak berdosa itu lo bunuh!"
"Gue bego," ujarnya di sela tangis. "Gue bingung, Za. Gue gak tahu harus apa."
"Lihat, sebebas ini ternyata pergaulan lo, Ta. Lo liat akibatnya? Masa depan lo hancur kan?!"
"Za," katanya dengan bergetar, "I'm sorry."
"Lalu setelah lo minta maaf apa yang berubah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Draft
Teen Fiction[Privat] Awalnya, Eza suka dengan Alea. Namun semuanya berubah ketika ia tahu fakta tentang Alea. Hingga akhirnya, ia berniat akan menghancurkan hati gadis itu. All right reserved by Black Rose || copyright 2018