Laki-laki itu melirik jam tangannya, lalu kemudian menghela napas. Tangan kanannya mengacak-ngacak rambutnya, ia menyentuh tulang pipinya sambil berdecak. Gila juga ya perempuan itu, kelihatannya saja lemah tetapi ternyata pukulannya boleh juga.
Setelah berdiri di depan pintu selama beberapa detik, Eza akhirnya mendorong pintu itu lalu menutupnya kembali. Ia membuka sepatunya dan meletakannya di rak. Matanya melihat Eca yang sedang duduk di sofa.
"Ommo! Ommo! Mereka ciuman!" teriak adiknya itu dengan histeris.
Eza melihat ke arah TV dimana ada sepasang manusia tengah berciuman, dengan bibir menempel sambil memejamkan matanya. Kakinya melangkah ke arah TV dan mematikannya.
"Lo apaan sih! Ck!" ia kelihatan panik sendiri. "Hidupin lagi!"
"Itu tayangan untuk orang dewasa, Ca!" seru Eza dengan tidak senang.
"Apaan sih, gue udah gede."
"MAMA!!! ECA NONTON FILM DENGAN ADEGAN TIDAK SENONOH!" Teriak laki-laki itu dengan suara menggelegar.
"Eza! Lo resek banget!" Adiknya itu terlihat dongkol. "Gue liat yang lebih juga udah pernah! Jadi mending lo minggir!"
Mata Eza melotot. "Ah, jadi lo suka nonton film orang miskin, iya?!"
"Bukan!" Eca jadi kesal sendiri melihat laki-laki di depannya itu. "Udah deh, mending lo-" ucapan Eca terhenti, ia berdiri persis di depan Eza lalu memejukan wajahnya, memperhatikan sesuatu.
"Awas bege!"
Mata Eca menyipit. "Ah, lo berantem lagi ya?!" perempuan itu menyentuh tulang pipi Eza hingga membuat laki-laki itu mundur selangkah.
"Gila ya lo?!" bentak adiknya dengan marah. "Belum genap seminggu lo udah udah berantem lagi!"
"Nggak berantem. Serius gue." Bela Eza dengan tidak terima.
"MAMA EZA BERANTEM LAGI!"
"Ca!"
Dua detik kemudian, laki-laki itu berjalan ke arah tangga sambil membawa tasnya. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Mamanya. Eza mendesah, mengusap rambutnya dan membalikkan badannya.
"Kamu berantem lagi?!" Mama datang dengan wajah marah.
Eza menggaruk tengkuknya. Bagaimana menjelaskan bahwa ia tidak bertengkar, namun ia dipukul oleh seorang perempuan yang dikiranya manis dan lemah lembut.
"Jawab!"
"Enggak Mah,"
"Masih aja ngeles!"
Eza menunduk sambil menghela napas dalam-dalam.
"Sampai kapan kamu berantem terus?" Nada bicara Mama sudah terdengar dingin, membuat Eza merasa sedikit takut.
"Eza nggak berantem, Ma. Sumpah!" Katanya dengan mimik wajah menyakinkan sambil menunjukkan kedua jarinya. "Tanya Pak Fandi kalau gak percaya."
"Jadi kalau gak berantem wajah kamu kenapa ada biru lagi?" Mama mulai percaya hingga membuat Eza merasa lega. Namun ia bingung bagaimana menjelaskan kalau ia dipukul oleh seorang perempuan.
"Eza di bogem sama cewek Ma, dua kali," ujarnya dengan pelan.
"Hah?" Mamanya melotot. "Kamu dipukul sama perempuan?"
Eza mengangguk dengan wajah sedih.
"Perempuan itu nggak papa kan? Dia baik-baik aja kan, Eza? Gak kamu pukul balikkan?" tanya Mamanya dengan wajah khawatir.
"Nyentuh dia aja Eza gak berani. Gimana mau dipukul balik?" tanyanya balik. "Lagian Eza gak se banci itu kok mukul cewek."
Mamanya terdiam, terlihat tengah berpikir. Eza juga, laki-laki itu mengetuk-ngetuk pegangan tangga sambil menunggu Mamanya menyuruhnya masuk kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Draft
Teen Fiction[Privat] Awalnya, Eza suka dengan Alea. Namun semuanya berubah ketika ia tahu fakta tentang Alea. Hingga akhirnya, ia berniat akan menghancurkan hati gadis itu. All right reserved by Black Rose || copyright 2018