Draft 26 : Melukai

11.9K 2K 239
                                    

"Aku menyukainya karena laki-laki itu begitu ramah, tidak seperti pada novel remaja umunya yang selalu menjadikan sang laki-laki begitu dingin dengan segala ketampanannya. Eza terkadang memang cuek dan acuh tak acuh pada orang yang menurutnya menyebalkan, tetapi sebenarnya dia baik.

Sama seperti hari ini, ketika baju olahragaku ketinggalan, ia menyodorkan baju miliknya dengan wajah datar. Bukan, Eza bukan tipe orang yang tidak memiliki ekspresi, ada alasan lain kenapa ia sedikit merasa aneh padaku. Itu mungkin di picu karena sekitar dua bulan lalu aku membuka buku gambar miliknya dan mendapatinya menggambar wajahku. Sejak itu kami selalu bersikap aneh. Selalu diam dalam kecanggungan luar biasa.

Dia bahkan tidak pernah menjahiliku lagi atau sekadar membicarakan hal yang tidak penting.

Aku menganggumi Eza sejak lama. Sejak kami berjumpa ketika kecil, entah usia berapa. Walau kami tak terlalu dekat. Eza sangat pintar, sesuatu yang membuatku berusaha mengalahkan kepintarannya. Eza begitu penyayang, apalagi jika menyangkut Ibunya dan Eca dan Eza orang baik. Sesuatu yang membuatku menggambarkannya menjadi sosok yang sempurna dimataku."

Eza menghela napas, menutup kertas-kertas itu dan meletakkannya di sampingnya. Laki-laki itu berbaring di tempat tidur sejak lima jam lalu, matanya bahkan sudah lelah membaca tulisan Alea. Padahal yang dibacanya adalah halaman yang sama. Mengenai ke kaguman Alea padanya.

Apa yang telah terjadi hari ini sangat berpengaruh padanya. Sesuatu yang fatal itu seperti menghancurkan pandangan Alea mengenai dirinya. Ponselnya kembali berbunyi, menampilkan pesan dari orang.

Dari seseorang yang amat tidak ingin dia temui...

Tania : Za.. aku bisa jelaskan.. semuanya tanpa terkecuali.

Pesan yang berulang kali di kirim itu membuat Eza muak sendiri. Benarkah ia mempunyai kembaran seperti itu? Seseorang yang begitu ia kenal namun ternyata munafik? Benarkah ia mempunyai darah yang sama dengan perempuan itu? Apakah orang tua angkatnya benar-benar tidak mendidiknya dengan baik sehingga anaknya menjadi seperti itu.

Pertanyaan yang tercekat di dalam tenggorokannya.

"Za, gue masuk ya?"

Itu suara Eca, Eza tidak menjawab. Tidak berniat sama sekali untuk mengabaikan, hanya saja rasanya ia terlalu lelah hari ini.

Dan decitan pintu itu terdengar, Eca berjalan masuk ke dalam kamar dan duduk di pinggir ranjang.

"Lo kenapa sih?" tanya Eca sambil merengut. "Masa tadi gue minta bantuin ngerjain PR lo abaikan?" katanya dengan nada pelan namun kesal.

"Ck," Eza terdengar tidak suka. "Sakit gue."

"Masa?"

"Hm,"

"Mama nanya-in lo tuh, kenape gitu. Kok tiba-tiba diem. Padahal tadi dia mau minta anterin pesanan brownies Mamanya Alea. Lo kan suka sama Alea kan ya? Telat deh lo. Gue yang anter jadinya."

"Oh."

"Za..." katanya dengan sih sambil menoleh bahu kakaknya itu dengan pelan. "kenapa sih? Ada masalah di sekolah ya?"

Eza menutup matanya, mengelus tengkuknya dan tersenyum tipis sambil membuka matanya. "Kecapean, gua sakit kayaknya."

"Yaudah deh, gue bilang sama Mama lo sakit ya, biar Mama gak khawatir."

"Iya,"

"Gue tidur kalau gitu," Eca beranjak dari ranjang, membuat Eza refleks menoleh dan melihat adik perempuannya itu membuka pintu. Eza menghela napas dan segera memanggil Eca.

DraftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang