PROLOG

9.4K 426 194
                                    

"Aku terus menunggumu karena aku mencintaimu."

Rashila

•••••

Untukmu,

Aku merindukanmu. Aku rindu dengan semua masa lalu yang pernah kita ukir bersama. Aku ingin kamu yang dulu. Ingin sekali. Tapi sekarang kamu telah pergi. Aku sekarang tak tahu kamu berada di mana, bersama siapa, dan sedang apa. Aku kehilangan jejakmu.

Mengapa kamu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal? Setidaknya jika kamu mengucapkan selamat tinggal dan memberi tahu ke mana kamu akan pergi, aku tak akan sesedih ini. Sekarang aku benar-benar kehilangan dirimu. Bahkan, aku tak memiliki kontakmu. Ingin sekali aku bertemu denganmu lagi dan meluapkan rasa rindu ini.

Dasar bodoh! Memangnya aku ini siapa? Pacar saja bukan. Aku mungkin hanya sekedar sahabat menurutmu. Akan tetapi, jika memang sahabat kenapa saat kehilanganmu rasanya sesakit ini? Seperti ada rasa tak wajar yang tumbuh dalam hatiku. Ya, benar. Aku memang mencintaimu. Aku sangat takut kehilanganmu. Sekarang hal itu pun telah terjadi.

Nyaris tiga tahun aku tak bertemu dengan kamu. Selama itu juga aku tidak berkomunikasi dengan kamu. Kamu benar-benar menghilang dan aku sangat merindukanmu.

Sebenarnya aku kesal. Aku ingin marah dan melampiaskannya. Tapi aku hanya sendiri di sini. Aku ingin tunjukkan pada semua orang, bahwa aku kecewa. Aku kesal karena kamu pergi tanpa pamit. Ya, aku memang hanya sahabatmu. Tapi jika aku merindukanmu apakah itu salah?

Selama tiga tahun juga aku tidak membuka hati untuk siapa pun. Rasanya hatiku telah terkunci untukmu. Aku terus saja menunggu walaupun tanpa ada kepastian sedikit pun. Aku sebenarnya lelah menunggumu. Tapi aku tak bisa melupakanmu karena aku terus merindukanmu.

Aku hanya berharap ada keajaiban Tuhan untuk membuatku bertemu lagi dengan kamu.

Teman yang tersakiti,
Rashila

"Hayo! Nulis apaan lo, Shil?"

Mata Rashila sontak membulat dan langsung meremas surat itu. Ia kemudian membuang ke sembarang tempat. Akan bahaya jika Adira mengetahuinya.

"Bukan apa-apa! Itu cuma ... ah! Cuma naskah pidato," ucap Rashila secara asal dan menggigit bibir bawahnya kemudian menampilkan sederet giginya. Ia sangat gugup saat ini.

Adira menggaruk poninya. "Emang ada tugas buat bikin naskah pidato? Perasaan gak ada. Haha, ngaco deh lo! Lo lagi bohong kan?" Adira kemudian ingin mengambil kertas itu yang berada di bawah kursi.

Rashila menarik napas panjang-panjang kemudian ia menendang kertas itu ke sembarang arah. Masa bodo mau kena siapa. Yang penting kertas itu jangan sampai terbaca oleh Adira. Bisa gawat.

Adira kemudian merasa kesal karena ternyata kertas itu mendarat di depan kelas. Tentunya itu jauh karena mereka duduk di bangku pojok.

Secara tidak sengaja, seorang cowok dengan santainya memungut kertas itu dan membacanya. Cowok itu tersenyum sinis dan mulai mengambil ancang-ancang untuk membacakan surat itu di depan kelas.

"Ekhem! Nih, dengerin gue, ya. Gue mau bacain pengumuman penting. Pasang telinga baik-baik," ucap cowok itu sambil memegang kertas tersebut dengan ala-ala pembaca UUD 1945.

Cowok itu pun membaca isi dari kertas itu dengan suara yang lantang, keras, dan jelas. Semua teman sekelasnya sampai dibuat cengo olehnya.

"... teman yang tersakiti, Rashila. Selesai, sekian dan terimakasih." Cowok itu pun langsung keluar kelas dengan senyum kecut ala ketek Mimi Peri.

Mata seisi kelas pun langsung tertuju Rashila. Rashila hanya bisa menutupi wajahnya dengan buku dan menahan malu yang luar biasa.

"Cie yang waiting mulu,"

"Aku sakit hati, Bang!"

"Haha, mampus lo difriendzonein!"

"Makanya jadi cewek jangan bego,"

"Kasian amat lo,"

"Pulang sekolah jangan bunuh diri,"

"Nanti malem jangan pergi ke dukun santet."

Rashila hanya bisa diam dan menulikan telinga. Ia seakan-akan tak mendengar apa pun. Mereka belum tau saja bagaimana rasanya ketika mencintai seseorang yang kini hilang entah ke mana. Kalau sudah merasakan, biar tau rasa!

Semua ini juga karena ulah menyebalkan cowok itu. Mau bagaimanapun ia sudah keterlaluan karena telah membeberkan rahasia hati Rashila. Kini perasaan yang sudah ia simpan rapat-rapat telah menjadi rahasia umum.

Kemudian cowok itu masuk lagi ke dalam kelas sambil membawa sebungkus gorengan. Tidak hanya itu, cowok itu juga masuk ke kelas sambil bersenandung ria, "Aku ingin marah. Melampiaskan. Tapi ku hanyalah sendiri di sini. Ingin ku tunjukkan pada siapa saja yang ada. Bahwa hatiku, kecewaaaaa."

"Woi, anying! Suara lo jelek gausah sok-sokan nyanyi. Maksud lo apaan sih? Bacain tulisan gue di depan kelas. Lo tuh, ya! Gabisa banget jaga privasi orang. Awas aja ya lo, nanti gue bakal buka kejelekan lo di depan banyak orang juga. Pokoknya gue kesel sama lo!" Rashila sudah tidak sanggup lagi menahan malu. Apalagi cowok itu sampai menyanyi di depan kelas dengan lagu yang sangat mengisyaratkan isi hati Rashila.

"Gausah ngegas elah! Lagian gue cuma ngelakuin gitu doang. Dendam amat lo sama gue," balas cowok itu.

"Lo bilang cuma? Woi, harga diri gue langsung merosot! Gue malu. Lo pikir itu hal yang biasa aja. Lo punya otak ga? Lo punya perasaan ga? Lo bisa mikir ga?!" Suara Rashila semakin meninggi.

Cowok itu menggebrak meja dan berjalan mendekati Rashila. "Ya gue punya otak lah! Kalau gue gak punya otak, gue bisa mati lah bego! Gue juga masih punya perasaan, kok. Kalau gue udah gak punya perasaan, gue bakalan bacain itu pake toa sekolah. Biar satu sekolah tau gimana mengenaskan diri lo. Lagian lo bego banget. Cowok kaya gitu dipertahanin. Kaya di dunia ini cuma ada dia aja. Kalau lo capek karena nungguin yang belum pasti, mending lo tinggalin aja. Lo tuh yang harusnya mikir!"

Rashila langsung meledak. "Heh, Haidar! Emangnya lo siapa ngatur-ngatur hidup gue? Terserah gue dong mau nungguin siapa aja. Itu artinya gue setia."

Cowok yang bernama Haidar pun membalas ucapan Rashila, "Terus kalau cowok yang lo maksud itu udah punya pacar gimana? Lo juga yang bakalan sakit hati."

Rashila kali ini hanya bisa diam. Perkataan Haidar memang ada benarnya juga.

"Udah lah bodo amat mikirin hidup lo! Gue laper, mending gue makan gorengan. Bye, Miss Lampir!" lanjut Haidar.

"Miss Lampir?" tanya Rashila.

"Iya soalnya lo mirip. Coba aja lo ngaca," ucap Haidar sambil tertawa kecil dan berjalan menuju bangkunya untuk menikmati gorengan.

Miss LampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang