TIGA

215 5 0
                                    


"Nah, kan... mendingan... Kayak baru keluar salon." Karensa memuji hasil karyanya sendiri.

Ginny merasa bosan. Sejak tadi ia duduk terus di depan cermin menunggu sampai Karensa selesai meriasnya. Dari rambut sampai sepatu. Karensa memang top. Tapi Ginny tidak pernah suka dirias.

"Harusnya tadi rambutku nggak usah di-hairspray."

"Lho, kok aneh? Kalo nggak di-hairspray, ya goyang-goyang, nanti buyar semua."

"Tapi kan keramasnya repot. Ini, bulu mata palsu nggak enak banget, lagi. Belum lagi eye liner-nya. Aku jadi kelihatan galak."

"Memangnya kamu galak."

"Serem."

"Nggak. Menonjolkan kecantikan kamu, lagi. Tulang pipi kamu kan bagus, tuh, aku buat menonjol dengan blush on."

"Kamu harusnya buka salon, bukan toko."

"Gin, kamu beda banget. Cowok-cowok pasti banyak yang melirik."

"Ah, apa pentingnya?"

Apa pentingnya? Buat Karensa, dilirik cowok itu sangat penting! Karensa tidak habis pikir dengan sikap Ginny.

*

Ginny duduk saja memperhatikan keadaan sekitarnya. Resepsi di hotel belum dimulai. Tapi acara kumpul-kumpul sudah sejak tadi berlangsung di rumah Tante Vincentia. Seluruh keluarga terlihat repot. Paling tidak, merepotkan diri. Terutama Mami dan tante-tantenya. What a family! Kerepotan paling besar, tentunya ada pada mulut. Untuk bicara, dan untuk makan. Selalu begitu, bertahun-tahun. Sedangkan Ginny, selalu memilih untuk duduk dan tidak berbuat apa-apa. Menikmati hidup dan kesendirian. Sebelum tiba tugasnya yang memuakkan itu. Itupun jika Mami tidak menyebut namanya untuk melakukan kerepotan lain. Seperti membawakan ini itu, melayani kerabat dan saudara. Tapi tidak untuk bicara dan makan.

Kak Violeta tidak bisa datang ke pernikahan Vonny ini. Ia hanya titip uang hadiah lewat transfer ATM dan salam lewat telepon. Tapi ketidakhadirannya tidak berpengaruh apa-apa. Dia kan seperti Papi yang jarang muncul, sehingga tidak ada bedanya ada atau tidak. Tanpa dia pun, persiapan pesta tetap saja meriah karena melibatkan Tujuh Bidadari.

Karensa ke mana lagi, sih? Tadi katanya ke kamar, merapikan riasan. Kenapa belum juga kembali? Ah, si centil itu! Paling-paling sedang mengajak kenalan salah satu tamu muda yang keren.

"Auch!" Ginny merintih kaget dan refleks menarik kakinya karena merasa diinjak.

"Sori." Kontras dengan ucapannya, tanpa wajah yang menunjukkan rasa bersalah, seorang cowok berpakaian jas rapi berlalu begitu saja.

Dan cowok itu meninggalkan kotoran di kaki Ginny, sebab sepatu Ginny model tali-tali terbuka. Tapi itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang ditinggalkan. Lebih tidak sebanding lagi dengan kemarahan Ginny.

Sialan! Kalau saja Ginny bisa meneriakkan kata itu keras-keras di depan semua orang. Di depan seluruh keluarga besarnya. Di depan Mami. Dan yang pasti, di telinga cowok menyebalkan itu.

Ginny mengikuti setiap gerak-gerik cowok penginjak itu sambil sibuk membersihkan kakinya. Oh, rupanya orang itu pembawa cincin. Oh, jadi dia orang yang ditunjuk Dicky, calon suami Vonny untuk jadi pendampingnya. Asal jangan Dicky yang diinjaknya saja.

"Ginny!"

Nah, Mami memanggilnya. Ginny menduga-duga. Kira-kira, sekarang ia disuruh apa, ya? Beramah tamah dengan saudara jauh yang namanya ia tidak tahu? Atau mungkin mengantar ke kamar mandi setiap nenek-nenek yang datang? Tapi... Mami kan memanggilnya dengan nama 'Ginny', bukan 'Virginia'. Berarti, Mami tidak sedang menunjukkan kekuasaannya untuk menyuruh. Mami menunjukkan rasa cintanya. Untuk...?

BRIDE OR BRIDESMAID? (Married...? Nggak...? Married...? Nggak...?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang