Dalam satu bulan ini Ginny sering mondar-mandir ke gereja. Selain ia rajin menemui Kak Bea untuk mendapat bimbingan rohani, Ginny juga bekerja sebagai tenaga administrasi. Memang, sih, uangnya tidak seberapa. Tapi Ginny pikir, ia bisa sekalian mendekatkan diri pada Tuhan, dan juga mengisi waktu menganggurnya. Mencari pekerjaan sekarang ini sulit, jadi Ginny bersyukur kalau gereja bisa menerimanya bekerja.
"Gin, Mami sih setuju-setuju saja kamu kerja di gereja kamu. Tapi, sekali-sekali, masa kamu nggak mau, sih, pergi ke gerejanya Papi dan Mami? Ikut kebaktian bersama?" tanya Mami suatu pagi.
"Lho, kebaktiannya Papi-Mami kan kebaktian untuk orang tua. Ginny kan ikut kebaktian orang muda."
"Di gereja Papi-Mami juga kebaktian anak mudanya ada."
"Mami sih, pake pindah gereja segala. Teman Ginny udah banyak di gereja kita yang pertama, cowok dan cewek. Masa Ginny harus cari teman baru lagi karena pindah gereja? Bukannya Mami ingin Ginny punya teman cowok yang banyak, terus cepet kawin?" sahut Ginny sekenanya.
Mami tak habis pikir. Dipandanginya Ginny. "Jadi kamu sungguh-sungguh mau kawin?"
"Mami doakan saja."
"Sudah ada cowoknya?"
"Ini juga lagi cari."
"Ada di depan mata kok masih cari."
"Maksud Mami apa, sih?"
"Kamu kok nggak pernah kontak Frederik, sih? Katanya teman?"
"Memangnya kalau teman harus kontak terus-terusan? Ginny sama Karensa aja nggak kayak gitu."
"Jadi bener, kamu sejak pestanya Karensa nggak pernah kontak sama dia?"
Ginny menggeleng. Kenapa jadi ada rindu di hatinya, ya?
"Kamu harusnya minta maaf sama Frederik, lho, atas sikap kamu waktu pulang pesta dulu. Kalau Frederik nggak pernah marah sama kamu, itu luar biasa. Jarang ada cowok kayak gitu. Itu anugerah."
Ginny memutuskan tidak melanjutkan pembicaraan. Ia kembali ke kamarnya begitu saja. Duduk di meja tulisnya, memandangi potongan wedding bouquet yang berangsur layu. Apakah potongan yang Frederik punya juga sudah selayu ini, ya? Ginny melamun. Ginny kangen Frederik. Tapi... masa iya, harus dia yang lebih dulu menghubungi? Gengsi, dong... Ginny kan perempuan. Tapi, katanya, zaman modern begini, sah-sah saja buat perempuan bergerak duluan. Nggak mau, ah... perempuan baik-baik itu selalu menunggu dan berdoa. Kalaupun ada usaha juga samar-samar saja, jangan terang-terangan dan agresif. Eh, tapi... memangnya usaha apa, sih? Ginny kan nggak naksir Frederik? Nggak. Sama sekali nggak. Ginny berusaha menutup hatinya.
Ginny memandangi telepon genggamnya. Ia sudah merekam nomor telepen Frederik dulu. Ingin sekali nomor itu memanggil lagi. Paling tidak mengirim SMS. Tapi tidak pernah. Hanya satu kali saja, sebelum pernikahan Karensa. Lalu tidak lagi. Sudah satu bulan. Cukup lama juga. Tidak mengabari, tidak bicara, tidak bertemu. Ginny betul-betul rindu. Dan rindu itu akibat perbuatan Ginny sendiri. Apa Ginny salah? Apa Ginny sudah keterlaluan? Apa Ginny kasar? Mungkin memang iya. Mungkin Mami benar.
Ginny mengingat lagi pertemuan pertamanya dengan Frederik. Frederik menginjak kakinya. Tanpa rasa bersalah. Ia juga selalu memasang wajah dingin. Sampai kemudian mereka bertemu di rumah sakit, dan Frederik tahu kalau Ginny selalu mendampingi Sheryn. Sejak itu Frederik sangat baik padanya. Bahkan terlalu baik. Eh, tapi... bukankah pertemuan pertama mereka sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya? Waktu mereka masih SD. Waktu itu Ginny mengenal Frederik sebagai Edi. Mereka sering main... Ah! Sudahlah, Ginny tidak mau mengingat-ingat bagian yang itu!
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE OR BRIDESMAID? (Married...? Nggak...? Married...? Nggak...?)
ChickLitGinny sebenarnya cantik. Itu kata Karensa, sobatnya. Tapi Ginny tak kunjung punya pacar. Ginny sudah cukup umur untuk menikah. Itu kata keluarganya. Tapi setelah delapan pernikahan dalam keluarganya, Ginny tetap jadi bridesmaid. "Aku tak mau menika...