SEMBILAN

153 5 0
                                    


Ginny melihat cahaya lampu mobil dari jendela kamarnya. Papi datang. Dari luar kota, usai menunaikan tugas sebagai Kepala Divisi di sebuah perusahaan kimia. Tergopoh-gopoh Ginny turun. Ginny kangen Papi. Tidak seperti biasanya.

Itu Papi. Terlihat lelah. Tapi tetap sabar.

"Kapan ke luar kota lagi?" sambut Mami tidak enak.

Mami kok ngomongnya gitu, sih?

Papi menatap Mami dengan bingung.

"Mandi, deh. Bau Papi nggak enak."

Bukannya seharusnya Mami yang menyiapkan air mandi? Setidaknya membuatkan minuman hangat, atau paling sedikit, menyambut Papi dengan ramah? Kata psikolog perkawinan sih begitu.

Papi melangkah gontai. Ke kamar.

"Jangan ke situ. Nanti kamar ikut bau. Papi di kamar tamu aja. Biar Bik Iyem yang ambilkan pakaian Papi."

Pandangan Papi jadi nanar. Ginny heran, kenapa Papi terus saja bungkam.

"Mami apa-apaan, sih?!" Ginny buka suara dengan galak.

"Ginny?"

"Papi kan capek, baru datang."

"Gin, Mami biasa kok, bercanda. Papi nggak apa-apa..." Papi tertawa.

"Udah, deh, Pi! Ginny bukan anak kecil lagi! Rumah ini aneh!"

"Virginia!"

Ginny lari ke atas, ke kamar. Mengunci pintu. Dan menangis.

*

Ginny mengaduk-aduk cangkir tehnya. Teh itu rasanya dibuat tidak untuk diminum. Hanya diaduk-aduk saja.

"Ginny."

Ginny menoleh begitu mendengar suara kebapakan yang jarang didengarnya. Ia menoleh sangat cepat juga karena ada tangan besar yang menyentuh pundak kurusnya.

Ginny cemberut dan buang muka mendapati Papi-lah yang menyapanya.

"Lho, kok judes? Kemarin padahal kamu bela Papi."

"Karena Papi nggak bisa bela diri sendiri."

"Kok dijadikan hal serius, sih? Kamu kayak nggak tahu Mami aja."

"Udah berapa lama, Pi?"

"Apa yang berapa lama?"

"Papi dan Mami nggak harmonis."

"Kok gitu tanyanya?"

"Papi!" Ginny marah.

Papi diam saja. Ginny tidak mau buang waktu menunggu jawaban. Ia lebih memilih mencari Mami, karena setidaknya Mami lebih terbuka. Biasanya.

"Sekarang Mami harus jawab, ada apa sebenarnya sama Papi. Dan jangan bilang nggak ada apa-apa!" Ginny memberondong Mami yang sedang mengguntingi tanaman.

"Well, Gin... Perkawinan kan memang nggak pernah mudah."

"Dan Mami menyuruh Ginny memasuki hal yang nggak mudah itu."

"Jangan bilang kamu nggak mau married gara-gara melihat Papi dan Mami..." Mami tidak selesai berbicara karena wajah Ginny sudah memberi jawaban.

"Kamu terlalu naif. Perkawinan tergantung orang yang menjalani. Tidak bisa disamaratakan. Tante-tantemu contohnya, pernikahan mereka baik-baik saja."

BRIDE OR BRIDESMAID? (Married...? Nggak...? Married...? Nggak...?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang