Hari masih pagi.Ginny sudah bangun dengan pikiran penuh. Ginny butuh teman bicara. Ia hanya terpikir pada sebuah nama. Karensa, karena dia satu-satunya sahabat yang Ginny punya. Ginny meraih telepon genggamnya. Lebih baik ia menelepon Karensa di telepon genggamnya. Lebih pribadi. Lebih mungkin Karensa sendiri yang mengangkat. Tapi... ini kan masih pagi-pagi sekali? Jam 6 pagi. Apa sopan menelepon jam segitu? Dulu, waktu Karensa masih lajang sih, tidak masalah. Karensa tidur di kamarnya sendiri, dan telepon genggamnya ada di sebelahnya. Ia akan langsung angkat telepon tanpa seisi rumah tahu. Tapi sekarang? Karensa tidur satu kamar dengan Marlon, suaminya. Pagi-pagi begini, pasangan pengantin baru mungkin masih lelap di kamar. Kalaupun sudah bangun, mana mungkin Marlon jauh-jauh dari Karensa? Ah, kemungkinan Marlon tahu Karensa dapat telepon pagi-pagi, kan besar.
Ginny merasa tidak enak. Ia ragu menelepon. Tapi... dia harus cerita sama siapa lagi tentang Frederik? Tentang perjodohan? Dan tentang pernikahan? Ginny tidak punya teman curhat lagi. Yang benar-benar mengenal dirinya, dan tahu cerita tentang Frederik dari awal. Hanya Karensa. Kak Bea? Dia kan menangani urusan rohani, bukan psikologi. Lagipula, dia orang asing. Ginny kurang nyaman menceritakan rahasia pribadi terlalu detil padanya.
Ah, sebal! Ginny benar-benar ingin cerita! Ingin curhat! Kira-kira tanggapan Karensa apa, ya? Ah! Ginny tahu benar Karensa! Anak itu paling-paling mendukung perjodohan itu, mendukung Ginny menikah dengan Frederik! Jelas, lah! Karensa kan pendukung pernikahan dan perjodohan. Dia sendiri yang bilang, kalau dia bisa menikah dengan Marlon karena orangtua kedua belah pihak ikut campur tangan, alias ikut menjodohkan. Payah!
Waktunya sarapan pagi tiba. Dengan malas Ginny bergabung di meja makan bersama seluruh keluarganya. Dalam hati ia merasa sebal luar biasa. Dipandanginya satu persatu wajah-wajah seluruh anggota keluarga. Papi, Mami, Kak Violeta. Wajah-wajah yang tertawa, ceria, bersenda gurau tanpa ada beban. Tanpa punya rasa bersalah. Wajah-wajah yang sudah mengkhianati Ginny dari belakang!
"Jadi sekarang Ginny lagi nganggur, ya?" tanya Violeta.
"Siapa bilang? Aku kerja di gereja, kok."
"Wah, itu sih amal namanya. Bukan kerjaan yang sebenarnya. Bukan maksudku meremehkan, lho. Sungguhan. Tapi, dengan pendidikan kamu, dan pengalaman kerja kamu, apa nggak sebaiknya kamu cari pekerjaan lain yang nggak bersifat sosial?"
"Anggap saja itu pelayananku ke Tuhan."
"Sejak kapan kamu jadi religius, Gin?"
Wajah Ginny masam. Dari dulu Kak Violeta memang sulit cocok dengannya.
"Cari kerja sekarang memang sulit. Punya pendidikan tinggi dan pengalaman kerja seperti Ginny saja belum juga menerima panggilan wawancara. Sekalipun ada koneksi. Buktinya, teman Papi menolak lamaran kerja Ginny." Papi membela.
"Sebenarnya, lowongan sih selalu ada, menunggu Ginny. Tapi Ginny-nya yang nggak mau." Mami angkat bicara.
"Maksud Mami?"
"Lowongan di kantor Oom Mawengkang gimana? Oom Mawengkang tetap tunggu kamu kerja di sana, lho. Beliau nggak mau terima orang lain."
Oh. Rupanya ini langkah kedua persekongkolan mereka menjodohkan aku dengan Frederik. Begitu pikir Ginny.
"Aneh. Cari pegawai kok harus menunggu aku? Kayak nggak ada orang lain aja." tukas Ginny pedas.
Kata-kata Ginny membuat semua orang berhenti makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE OR BRIDESMAID? (Married...? Nggak...? Married...? Nggak...?)
Literatura FemininaGinny sebenarnya cantik. Itu kata Karensa, sobatnya. Tapi Ginny tak kunjung punya pacar. Ginny sudah cukup umur untuk menikah. Itu kata keluarganya. Tapi setelah delapan pernikahan dalam keluarganya, Ginny tetap jadi bridesmaid. "Aku tak mau menika...