Ginny terkantuk-kantuk di gereja. Kemarin ia tidur terlalu larut. Jam tidurnya kurang karena ia harus bangun pagi mengikuti kebaktian pertama pukul 6 pagi. Jelas saja tidurnya larut. Pulang dari Blok S juga sudah tengah malam. Belum lagi ditambah melamunnya. Lalu whats app Karensa. Terus melamun lagi. Sampai tidur.
Celaka! Pendetanya yang tua. Yang bicaranya abstrak. Yang membosankan. Dan membuat ngantuk. Ke mana sih, yang muda? Yang khotbahnya banyak mengambil dari kisah nyata? Yang punya banyak lelucon segar?
'Ginny...' Sepertinya ada suara yang menegur. Sisi manusiawi Ginny dinasihati untuk tidak kebablasan pada dosa.
'Oh Tuhan, mengapa begitu sulit menjadi orang benar? Ampuni aku, Tuhan.'
Sekuat tenaga Ginny berusaha menyimak kata-kata Pak Pendeta. Hari ini khotbahnya adalah tentang kata-kata sia-sia. Ginny mencatat ayat-ayat dari Pak Pendeta. Padahal dia tidak pernah begitu sebelumnya. Hal ini dilakukan hanya untuk menebus rasa berdosanya menghina Pak Pendeta. Dan rasa bersalahnya karena sudah mengantuk. Ginny tak lupa mewarnai ayat-ayat tertentu dengan stabilo kuning. Jangan ngantuk, jangan ngantuk...
Kata-kata sia-sia... Mmm... kapan, ya, Ginny melontarkan kata-kata sia-sia? Duh, itu kan mudah. Sialan. Bukan mengumpat, maksudnya kata 'sialan'. Kayaknya itu nggak boleh, deh. Itu kan umpatan, kata-kata sia-sia juga kan? Ternyata nggak boleh, ya? Duh... tapi, kalau hati lagi kesal, harus ngomong apa, ya?
Ginny menghembuskan napas keras-keras. Banyak hal yang tak ia mengerti dari firman Tuhan. Tapi pada saatnya ia akan mengerti juga.
Begitu ibadah selesai, Ginny segera merogoh isi tas besarnya yang khusus dibawa setiap kali besuk. Ia memeriksa apakah isinya sesuai dengan yang sudah disiapkan kemarin sore. Foto-foto zaman dulu. Waktu Ginny kecil, dan waktu di kampus. Ada foto bersama Sheryn dan Karensa. Ya, benar. Tidak ketinggalan. Sheryn pasti senang melihat foto-foto ini. Yang cerita di baliknya akan menghibur, yang kasih di baliknya akan menguatkan.
Ginny merasa tenang. Ternyata ke gereja itu bermanfaat. Ginny rajin ke gereja, tapi baru kali ini serius meraih manfaatnya. Mungkin peristiwa Sheryn memberi hikmah. Bukankah semua yang terjadi di dunia ini tidak ada yang kebetulan? Selalu ada maksudnya?
Setibanya di rumah sakit dan memperoleh keterangan dari suster jaga, Ginny pun berhasil menemukan ruang opname Sheryn yang baru. Suasana terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran keluarga Sheryn yang tidak bersahabat itu. Masih dengan tenang, Ginny masuk.
"Hai, Gin."
Hati Ginny berubah tidak tenang melihat Frederik di dalam. Ada gejolak aneh.
"Hai." Ginny sampai tak mampu menyebut nama Frederik.
Sheryn tersenyum bahagia. Matanya begitu hidup melihat Ginny dan Frederik.
"Sheryn bilang, setiap besuk kamu selalu membawa barang-barang yang menghibur. Hari ini kamu bawa apa?"
Ginny tidak menjawab. Kenapa dia jadi agak gelisah, ya? Ginny mengeluarkan barang bawaannya dengan agak grogi.
"Lihat, ini foto-foto kamu bareng Ginny." Frederik memperlihatkan beberapa lembar foto dari Ginny pada Sheryn.
Dengan riang Sheryn meniliknya satu-satu. Senang bercampur sedih terlihat di sana. Senang mengingat kecantikan yang pernah ada, tapi kini sedih mendapatinya pudar ditelan penyakit. Dan juga mengingat semua cinta dan persahabatan yang ia pernah miliki, sedih karena ia tidak memilikinya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE OR BRIDESMAID? (Married...? Nggak...? Married...? Nggak...?)
ChickLitGinny sebenarnya cantik. Itu kata Karensa, sobatnya. Tapi Ginny tak kunjung punya pacar. Ginny sudah cukup umur untuk menikah. Itu kata keluarganya. Tapi setelah delapan pernikahan dalam keluarganya, Ginny tetap jadi bridesmaid. "Aku tak mau menika...