Ginny agak lesu. Hari ini ada panggilan wawancara kerja. Sebenarnya Ginny agak bosan. Sebab sudah sering ia dipanggil, namun tidak pernah diterima bekerja. Tapi semua itu ia jalani terus, dengan harapan suatu waktu akan ada perusahaan menerimanya bekerja.
Ginny berangkat ditemani Katananya yang setia mendampingi. Ia belum menempuh setengah perjalanan ketika telepon genggamnya berbunyi.
"Halo? Karen?" Ginny mengenali nomor yang menghubunginya.
"Gin! Kamu di mana?!"
"Di jalan, mau interview. Kenapa, sih? Kok panik?"
"Kamu ke rumah Frederik sekarang juga! Gawat!"
"Apa?"
"Ke rumah Frederik! Darurat!"
"Ngapain, sih? Aku mau interview, Karen!"
"Lupain interview! Jangan sampe kamu nyesel! Cepet, ke rumah Frederik sekarang juga!"
Klik. Karensa memutuskan hubungan. Tanda tanya besar muncul di kepala Ginny. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi dengan Frederik? Kenapa Karensa sepertinya panik? Ginny jadi ikut panik dalam hatinya. Cepat-cepat ia mengubah tujuan perjalanannya. Hatinya sangat gelisah sepanjang jalan, sampai-sampai matanya jadi berkaca-kaca.
Untung hari itu Jakarta cukup ramah dengan tidak terlalu macetnya jalanan. Ginny cepat sampai ke rumah Frederik. Bergegas ia melompat turun dan memasuki halaman rumah Frederik dengan hati berdebar.
Di halaman rumah, dua buah mobil diparkir. Seorang gadis cantik sibuk memasukkan kopor-kopor ke dalam bagasi satu dari dua mobil itu. Ginny tidak mungkin salah mengenalinya. Itu kan Lisa. Ginny terhenyak melihat kopor-kopor itu. Sepertinya semua itu untuk keperluan bepergian jarak jauh yang cukup lama. Kalaupun tidak, pastinya kopor-kopor itu untuk keperluan dua orang. Pikiran Ginny mulai bermain. Jangan-jangan keadaan gawat yang Karensa maksud adalah kepergian Lisa ke luar negeri. Bersama Frederik. Mungkin Karensa ingin Frederik dan Ginny berpamitan sebelum terlambat.
Lisa menoleh karena menyadari kehadiran Ginny.
"Cari siapa, ya?" ia bertanya.
Ginny kaget. Ia pura-pura tetap tenang dengan menghampiri Lisa. "Maaf, ini rumahnya Frederik, ya?"
"Iya. Frederiknya lagi mandi. Sebentar lagi juga keluar. Dia mau pergi. Untung kamu datangnya sekarang."
Mau pergi? Dengan gadis ini tentunya. Batin Ginny bicara.
"Sabar sebentar, ya. Nanti saya panggilkan. Saya rapikan kopor-kopor dulu. Duh, yayangku mana, ya? Bukannya keluar, bantu-bantu." Lisa kerepotan merapikan bagasi.
'Yayang? Siapa yang dia maksud dengan 'yayang' itu? Frederikku?' pikir Ginny.
"Nah, selesai," Lisa menutup bagasi. "Yuk, masuk ke dalam. Saya panggilkan Frederiknya."
"Eh, nggak usah..."
Ginny tidak bisa mencegah Lisa masuk ke dalam rumah. Tapi ia yang tidak berniat masuk, tidak mengikutinya. Ginny malah lari tunggang langgang menuju mobilnya.
"Ginny!"
Seruan seseorang yang tidak lazim lagi, terdengar bagai sebuah lagu di telinga Ginny. Ginny menoleh dan terpana mendapati Frederik berlari menyusulnya. Sudah berapa lama mereka tidak saling bertemu? Setahun? Sepuluh tahun? Rasanya sudah lama sekali, sekalipun kenyataannya belum sampai satu bulan.
"Aku baru aja mau pergi..."
Air mata Ginny menetes, tidak membiarkan Frederik melanjutkan kata-katanya.
"Lho, Gin? Kamu kok nangis?"
Frederik menghapus airmata Ginny. Seperti ia dulu menyeka airmata Sheryn. Tapi... tidak persis sama. Tidak sehangat ini. Tidak sesyahdu ini.
"Aku ke sini untuk mengucapkan selamat sama kamu. Sebelum aku terlambat dan menyesal selamanya." ucap Ginny.
"Selamat? Maksudnya?"
"Selamat menempuh perjalanan ke luar negeri bersama Lisa."
Wajah Frederik menunjukkan kebingungan. "Aku nggak mau ke luar negeri, Gin. Aku baru aja mau pergi ke rumah kamu, menemui kamu. Yang mau ke luar negeri itu sepupuku, Lisa. Dia mau menikah di luar negeri. Calon suaminya baru datang kemarin untuk menjemputnya."
Ginny tertegun. Kenyataan itu sama sekali tidak terlintas di pikirannya.
"Tadi aku mau ke rumahmu... " Frederik mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya. Ia membukanya dan mengeluarkan sebentuk cincin dari dalam.
"Aku mau melamarmu secara resmi, untuk jadi istriku."
Rasanya Ginny mendapat serangan jantung sekaligus sesak napas mendadak. Hanya saja ia tidak jatuh pingsan karenanya, melainkan jadi mematung dengan mata terbelalak. Bahkan pikirannya pun terhenti. Terpaku pada satu kalimat; Frederik mau menikahiku?
"Aku sudah suka sama kamu sejak pernikahan Vonny, sepupu kamu. Lalu jatuh cinta setelah tahu kebaikan hatimu pada Sheryn. Walaupun kamu merasa iman kamu kecil, tapi perbuatan kasihmu ke Sheryn menunjukkan iman yang kamu punya sebenarnya melebihi banyak orang, Gin. Semakin jelas saja arah perasaanku ke kamu setelah aku sadar, kamulah jawaban doaku. Bukan soal kamu teman masa kecilku, Gin, tapi kamu benar-benar orang yang Tuhan tunjukkan padaku. Yang tepat, yang terbaik. Itu sangat kuat aku rasakan, padahal kita jarang bertemu dan berkomunikasi. Aku juga terus berdoa setelah kamu menolakku, tapi jawabannya tetap sama. Aku pikir, kamu terus lari dariku karena ragu pada kesungguhanku. Karena itu kuputuskan untuk langsung melamarmu."
Ginny merasa semua kalimat Frederik indah terurai dan membelai.
"Gin? Kamu mau, kan, terima lamaranku?"
Ginny tidak bergeming.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE OR BRIDESMAID? (Married...? Nggak...? Married...? Nggak...?)
ChickLitGinny sebenarnya cantik. Itu kata Karensa, sobatnya. Tapi Ginny tak kunjung punya pacar. Ginny sudah cukup umur untuk menikah. Itu kata keluarganya. Tapi setelah delapan pernikahan dalam keluarganya, Ginny tetap jadi bridesmaid. "Aku tak mau menika...