Karensa cukup tahu diri dengan memundurkan jadwal pernikahannya sekitar satu minggu. Ia ingin memberi waktu pada Ginny antara berduka atas kepergian Sheryn dengan sukacita pernikahannya. Pada akhirnya waktu bicara, dan pernikahan Karensa pun tiba juga.
Sekarang Ginny sedang ada di salon untuk persiapan jadi bridesmaid di pernikahan Karensa. Karensa sudah memesankan tempat untuk Ginny di salon yang sama tempatnya dirias sebagai pengantin. Mengingat kebiasaan antik Ginny yang emoh berdandan di salon sebelum jadi bridesmaid, Karensa segera melakukan tindakan preventif itu. Ginny sendiri tidak melakukan perlawanan seratus persen. Entah kenapa kali ini ia lebih perhatian pada penampilannya.
Ginny memandangi wajahnya yang masih polos tanpa make up di cermin. Sebenarnya ia nggak jelek-jelek amat. Kulitnya putih dan matanya bulat indah. Tubuhnya juga kurus, kecuali pada bagian perut, agak tidak proporsional. Soalnya Ginny tidak suka berolahraga, sekaligus doyan makan. Ini kan perpaduan yang fatal. Untungnya Ginny mendapat warisan postur tubuh yang kurus dari garis ibunya, dan wajah manis dari ayahnya. Tapi Ginny punya senyuman yang mahal. Wajahnya jadi kelihatan angker dan berlipat-lipat tanpa senyuman.
Ginny membayangkan wajah Frederik. Orang itu tinggi, putih, rapi, dengan wajah menarik. Kira-kira, ia serasi tidak, ya, dengan Frederik? Jangan sampai Frederik merasa malu berdampingan dengan Ginny.
"Mbak, jangan terlalu tebal ya. Tapi terlalu tipis juga jangan." Ginny mengomandoi tukang rias.
Ginny yang biasanya merasakan riasan sebagai siksaan, kali ini menikmatinya. Ia ingin hasilnya sempurna dan tak keberatan duduk lama. Ginny yang biasanya cuek dan berdandan ala kadarnya, malah sekarang begitu cerewet dan peduli dengan riasan wajahnya.
"Mbak, ada yang merk Revlon, nggak? Saya nggak biasa kalau nggak pakai Revlon. Takut alergi, atau nggak cocok."
Ginny memandangi wajahnya yang masih setengah terias. Dengan jeli ia meneliti tiap bagian wajahnya yang sudah dipoles; mencari-cari hal yang kurang berkenan di hatinya untuk diperbaiki.
"Mbak, lipstiknya ada yang warna lain, nggak? Coba, yang maroon. Sama kalau ngasih eye liner hati-hati, ya. Kalo ngejepit bulu mata juga pelan-pelan, jangan kena kelopak mata."
Dalam hati Ginny berharap semoga Mbak Perias cukup sabar. Kelihatannya sih demikian, karena orang itu diam saja dan melakukan semua permintaan Ginny. Tapi entah juga, ya, apa yang ada di hatinya? Ginny merasa bersalah. Ia sadar tidak seperti biasanya berubah jadi cerewet. Tapi Ginny tidak dapat menahannya. Keluar begitu saja. Ginny khawatir dengan penampilannya malam ini.
Ginny memeriksa gaun yang akan dipakainya. Gaun itu dibelikan Karensa. Ginny sudah mencobanya, dan ukurannya sudah dipas ulang di tukang jahit. Sebenarnya Ginny kurang cocok dengan pilihan Karensa. Baginya gaun backless itu terlalu sexy. Tapi Karensa bilang, Ginny harus mencoba hal baru sesekali. Ginny sebenarnya merasa kurang percaya diri. Bagian perutnya terlihat jelas dengan gaun itu. Mungkin karena sifat bahannya lain dengan gaun-gaun Ginny sebelumnya. Biasanya Ginny tak peduli dengan perutnya. Tapi kali ia panik.
"Mbak, pinjam stagen sama korset, ya!"
Mbak Perias mengiyakan dan membantu Ginny mengenakan alat bantu pelangsing tubuh itu. Walau tidak bisa membuat langsing sungguhan, tapi setidaknya bisa menimbulkan kesan langsing.
Sekarang Ginny berdiri di depan cermin lengkap dengan riasan, gaun, aksesoris, dan sepatu. Ginny pun sadar, sebenarnya sosok dirinya cukup menarik. Selama ini Ginny tidak pernah menyadarinya. Sebelumnya ia tidak pernah serius berkaca. Hanya sekedar menyisir, bedakan, dan berlipstik, sudah. Tidak pernah sungguh-sungguh mensyukuri karunia Tuhan yang dilihatnya di cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE OR BRIDESMAID? (Married...? Nggak...? Married...? Nggak...?)
Literatura FemininaGinny sebenarnya cantik. Itu kata Karensa, sobatnya. Tapi Ginny tak kunjung punya pacar. Ginny sudah cukup umur untuk menikah. Itu kata keluarganya. Tapi setelah delapan pernikahan dalam keluarganya, Ginny tetap jadi bridesmaid. "Aku tak mau menika...