Author POV
Adnan mengikuti langkah Regina dan kemudian kembali duduk di ruang tamu. Regina hanya memandangnya dengan tatapan dingin tidak lagi dengan tatapan sangar seperti tadi."Ada apa Pak?" tanyanya tanpa mau berbasa-basi dengan pria itu segera setelah mereka mendudukkan tubuh mereka di sofa berwarna cokelat gelap itu.
"Memangnya salah kalau aku mau ketemu sama calon istriku?" ucap Adnan dengan wajah yang dibuat menyedihkan.
"Tapi Pak, besok kan kita juga akan bertemu" Regina tampak semakin jengah dengan tingkah pria itu yang tampak memuakkan di matanya. Regina memang seperti itu, ia sangat tidak suka melihat seseorang yang bertingkah manja di usia yang sudah dewasa tidak peduli itu perempuan ataupun laki-laki yang jelas dia sangat kesal dengan perilaku itu. Bahkan ia pernah bertengkar dengan teman satu kamarnya saat kuliah karena sikap manja temannya itu.
"Sudahlah Regina, jangan pakai bahasa formal kayak gitu kalau kita di luar jam kantor. Walau gimanapun aku ini calon suami kamu" kali ini Adnan tampak lebih serius menghadapi Regina yang sudah bertambah kesal sejak tadi.
"Enggak usah berbelit-belit Pak"
"Aku ke sini mau ngomongin soal pernikahan kita"
Dahi gadis itu berkerut mendengar perkataan Adnan barusan. "Memang ada yang salah Pak?"
"Bukan salah, tapi ada satu hal yang kuminta darimu sebelum kita nikah"
Gadis itu terdiam. Kemudian menatap pria itu seolah berkata 'apa?'
"Aku mau kamu belajar menerimaku sebagai suamimu walaupun kamu belum bisa terima aku tapi aku mau kamu berusaha terima itu semua""Baik. Tapi saya mau pernikahan kita tidak diketahui banyak orang Pak. Terutama orang-orang kantor"
"Apa maksudmu?"
"Maaf Pak saya tau apa yang saya katakan akan menyinggung perasaan Anda. Tapi saya tidak mau berakhir dengan teror dari wanita Anda"
Adnan terbelalak. Baiklah, Adnan tadinya bukanlah pria baik-baik. Ia memiliki banyak wanita di belakangnya yang selalu membuat perempuan yang menjalin hubungan dengannya harus memutuskan untuk berhenti karena teror dari wanita lain yang masih menginginkan Adnan. Walaupun begitu, tak pernah sekalipun Adnan menodai wanita manapun dan bukan dirinya yang mengejar para wanita itu, tetapi merekalah yang menyerahkan diri mereka sendri. Dan karena itu semua mudah membuat Adnan bosan sehingga dengan mudah ia akan memutuskan para ular yang mengincar uangnya itu. Tapi sudah dua tahun ini Adnan mengubah sikapnya itu, ia sudah tidak lagi bermain perempuan ataupun pergi ke tempat hiburan malam.
"Kalau itu kekhawatiranmu, maka insyaallah kamu tidak akan mengalaminya. Aku udah enggak bersikap kayak gitu lagi"
"Baik, tapi saya tetap mau pernikahan ini dirahasiakan sampai saya siap menerima Anda sepenuh hati saya dan Anda tentu tahu dengan peraturan kantor bahwa karyawan yang belum menikah baru boleh menikah setelah dua tahun bekerja kecuali mau membayar denda yang cukup besar dan saya baru bekerja satu tahun lebih di sana. Saya tidak mau membayar denda itu" kata Reina dengan tegas.
Adnan mulai merutuki aturan konyol di perusahaan yang dipimpinnya itu. Sebuah peraturan bodoh yang ternyata juga berhasil menyulitkannya sendiri sebagai pimpinan. 'seharusnya aturan itu kuhapus saja saat aku jadi direktur tiga tahun lalu' ujarnya dalam hati.
"Deal. Enggak akan ada yang tau kalo kita sudah nikah kecuali kamu yang mau ngebongkar itu dan kita bakal bersikap seperti biasa saat di kantor" Adnan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan yang disambut oleh Regina dengan senyum menghiasi wajahnya.
Itu sebuah perjanjian yang tidak begitu sulit untuk Adnan penuhi demi mendapatkan gadis yang telah menempati ruang hati nya sejak lama itu. Benar Adnan telah menyukai Regina sejak lima tahun lalu walau Adnan sendiri tak tahu mengapa ia bisa menyukai gadis itu yang sudah jelas bukan tipenya saat itu. Awalnya ia hanya mengira keinginannya hanya bentuk obsesi dari seorang pria brengsek yang akan menghilang dengan sendirinya. Namun, pada kenyataannya ia tetap memiliki perasaan itu sampai saat ini dan bahkan terus bertambah seiring waktu dan pertemuan mereka.
Cukup lama mereka membisu dengan pikirannya masing-masing yang membuat suasana seperti interogasi tersangka yang begitu mencekam.
"Kok pada diam aja mbak?" Arif tiba-tiba muncul dengan seragam sepak bolanya di ruangan itu.
"Kamu itu harusnya masuk rumah ya salam, bukannya asal nyelonong dan nyerocos enggak jelas. Kamu juga jangan jadi bensin yang asal nyambar aja" whoa... Regina mulai mengoceh sekarang. Adnan cukup terkejut melihat sisi lain dari diri gadis itu yang ternyata sangat cerewet dan jutek.
"Ye si Mbak. Main marah aja, enggak malu sama calon laki. Entar Bang Adnan kabur lagi kayak cowok lain yang pernah dekat sama Mbak gara-gara Mbak judes" Arif semakin mengompori suasana.
"Jadi kamu enggak pernah punya pacar?" Tanya Adnan sambil menolehkan kepalanya ke arah Regina karena ia merasa cukup sedari tadi hanya mengamati adu mulut kakak beradik itu.
"Yaiyalah Bang. Mana ada laki-laki berani sama Mbakku. Bukan galak beneran sih, tapi dia kelewat dingin dan enggak pekaan sama perasaan cowok yang dekatin dia. Semua cowok dianggapnya teman biasa malah dianggap sebagai kakaknya" Arif menjelaskan semua yang ia ketahui tentang sikap kakak perempuannya itu.
Regina pun menatap Arif dengan tatapan tajam seolah akan menelan adiknya bulat-bulat dan saat itu juga.
"Huss. Kamu ini, mbakmu enggak segitunya juga kali " Ibu Heni tiba-tiba muncul sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh. Kemudian meletakkannya di hadapannya, Regina dan Adnan serta sebuah toples yang berisi biskuit di tengah meja.
"Loh buat aku mana Bu?" kali ini Arif protes karena tidak ada cangkir teh untuknya.
"Lagian kamu baru datang dan kamu masih bau keringat. Mendingan kamu mandi sana sudah jadi bujang tapi masih kekanakan" ucap Ibu Heni yang tak ditanggapi Arif yang tetap meyereput cangkir teh milik Regina dan mengambil beberapa biskuit kemudian langsung pergi ke kamar mandi yang diiringi suara decakan dari mulut Regina dan gelengan dari Ibu Heni. Sementara Adnan hanya tersenyum geli melihat tingkah pemuda itu.
"Biasa Bu, anak laki-laki" ucap Adnan.
"Oh iya ada apa ya nak Adnan kemari?"
"Begini Bu, saya mau pernikahan saya dipercepat" ujarnya dengan mantap. Yang langsung membuat Regina memasang raut wajah terkejut.
"Oh itu. Ibu sama orang tuamu memang bermaksud seperti itu karena kan gimanapun enggak baik kalau kalian berdua lama-lama hanya ada dalam ikatan pertunangan. Takut khilaf""Jadi kapan rencananya Bu? " kata Adnan dengan bersemangat.
"Kami sepakat untuk nikahin kalian dua minggu lagi" ujar Ibu Heni dengan tenang namun senyuman tak bisa lepas dari wajahnya.
"Apa Bu?" ucap Regina dengan raut wajah tak percaya namun masih dengan nada datar dan malah terkesan dingin. Kalau saja tidak melihat wajahnya orang tidak akan tahu kalau sesungguhnya Regina terkejut dengan keputusan orang tua mereka.
"Kenapa? Kan lebih baik. Atau mau minggu depan?" sekarang Ibu Heni tampak tersenyum jahil.
"Baiklah Bu, kami siap" ucap Adnan berusaha menormalkan suasana. "Tapi kami tetap bekerja seperti biasanya dan kami mau tidak ada orang kantor yang tau tentang pernikahan kami"
"Kenapa? Kan pernikahan itu sebaiknya diungkapkan ke muka umum karena itulah diadakan walimah setelah akad nikah"
"Kami enggak bermaksud apa-apa Bu. Cuma takutnya orang-orang akan berpikir lain dengan pernikahan kami yang cenderung mendadak. Mereka akan bilang kami menikah karena ada yang tidak beres, karena 'kecelakaan' misalnya. Itukan menimbulkan fitnah" jelas Adnan yang mendapat anggukan dari Regina.
"Terus kapan kalian mau publikasikan pernikahan kalian? Kan enggak baik kalo pernikahan ditutupi"
"Intinya setelah kami siap dan orang-orang sudah terbiasa dengan kedekatan kami nantinya" ucap Regina dengan pasti.
"Ya sudah bagaimana baiknya sajalah. Kami sebagai orang tua ikut saja, asal kalian menikah sah secara agama dan hukum negara"
"Tentu Bu," ucap Adnan yakin.Coment please...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta itu Nyata : My Boss Is My Husband
RomanceRegina seorang pegawai biasa merasa risih dengan kehadiran Adnan bosnya yang mengaku sebagai calon suaminya. Sebuah kisah klise tentang pernikahan tak terduga tanpa konflik yang menimbulkan emosi mendalam