Part 6 - The Night

3.9K 144 4
                                    

Regina POV

Aku keluar dari kamar mandi lalu menatap kamar yang kami tempati. Kamar ini besar dan jadi terasa terlalu besar karena kami berdua sama-sama diam. Tidak ada yang bisa kami lakukan setelah sholat isya tadi. Makan malam? Jangan tanya kami sudah makan tadi sehabis sholat maghrib. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menonton televisi layar datar yang menempel di salah satu dinding ruangan ini.

Suamiku? Ayolah kalian kan juga sudah tahu kalau yang kunikahi itu bukanlah pria normal seperti pria pada umumnya. Sekarang ia sedang terfokus pada laptop yang ada di pangkuannya. Iya, tidak mengherankan jika perusahaan yang dipimpinnya bisa maju dengan dirinya yang masih tergolong muda untuk ukuran pengusaha. Kita semua tahu kan kebanyakan pengusaha sukses itu adalah pria tua botak, berkumis tebal, berperut buncit tapi suka perempuan muda.

Benar-benar perilaku memuakkan dari kalangan konglomerat. Syukurlah pria yang kunikahi bukan tipikal pria seperti itu. Memang sih dia bukan tipikal yang suka main perempuan menurut pengakuannya, tapi kalau aku ingat kejadian kemarin aku jadi yakin satu hal ditambah lagi dengan yang terjadi sekarang.

Biarpun aku menggodanya dengan pakaian seksi dan tarian erotis pria itu tidak akan tergoda. Eh tapikan badanku emang gak banget. Cowok normalpun gak bakal tergoda deh biarpun aku telanjang di depan mereka. Benar-benar menyedihkan ya punya badan seperti papan. Apalagi dia naksirnya sama cowok. Ya Tuhan apa dosaku sampai aku harus menikahi pria ini?

"Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?" eh sadar rupanya dia kalau sejak aku memperhatikan dirinya.

"Gak kok Pak. Saya gak lagi liatin Bapak," ucapku sambil mengambil posisi berbaring di sebelahnya dengan santai. Ya jelas aku santai orang aku tidak akan diapa-apakan oleh pria ini jadi aku tidak perlu malu-malu dan tidur terpisah dengan dirinya.

"Eh, kamu yakin mau tidur sama saya kan kamu sendiri yang bilang belum bisa terima saya sebagai suamimu?"

"Yakinlah Pak. Emang Bapak
mau apain saya?"

"Saya kan laki-laki Regina,"

"Saya tau kok Pak. Emang ada yang bilangin Bapak perempuan? Gak ada kan?"

"Jangan salahkan saya kalo nanti terjadi sesuatu yang menyenangkan ya?" ucapnya sambil menatapku dengan memainkan alisnya yang tebal itu.

"Kan gak salah Pak, kita cuma mau tidur," kataku sambil memejamkan mata.

"Oh iya Pak tolong matikan lampunya saya tidak bisa tidur kalau terang," hei mulai kapan mulut ini jadi sebegitu lancangnya. Ya tapi aku tidak bohong sih aku memang tidak bisa tidur dengan lampu yang terang.

Yang bisa kudengar hanya gumaman tidak jelas dari laki-laki yang masih asyik dengan laptopnya dan kemudian dapat kurasakan lampu di sekitarku mulai padam. Eh tunggu dulu.

"Pak, kenapa Anda merampas bantalku," protesku dan otomatis mataku langsung terbuka dan memegang bantal yang semula kupeluk ingin kembali kuambil dan kubawa ke dekapanku.

"Aku perlu bantal untuk tidur. Lagian bantalnya juga lumayan besar kok kita kan bisa pake bedua," jawabnya dengan santai sambil meletakkan bantal itu di kepalanya dan menepuk sisi lain bantal itu sebagai isyarat agar aku juga ikut melakukan hal yang sama.

Rupanya ia sudah selesai dengan pekerjaanya dan sekarang ia tengah berbaring di sebelahku.

Ya ampun mengesalkan sekali hotel ini. Bagaimana mungkin mereka hanya menyediakan satu bantal tanpa guling untuk kamar mewah seperti ini? Padahal kan aku tidak bisa tidur dengan nyenyak tanpa memeluk apapun. Biasanya sih aku memeluk guling, tapi kalau tidak ada aku akan memeluk bantal. Tetapi kalau begini aku bisa apa? Tidak mungkin aku memeluk bosku yang menyebalkan itu. Dan saat tadi aku meminta bantal mereka malah beralasan yang tak masuk akal, membuatku semakin kesal. Kalian tahu apa alasan mereka? Mereka bilang itu adalah amanat dari orang tua kami agar kami bisa menikmati malam pertama dengan lebih romantis dan mereka cepat punya cucu.

Cinta itu Nyata : My Boss Is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang