Luna POV
Aku memandang cermin dihadapanku. Bukannya aku lebay, tapi kalau boleh jujur aku hampir saja tidak mengenali bayangan gadis yang berada cermin itu kalau saja ibuku tidak memujiku.
Benarkah itu aku?
Mengapa sangat berbeda?
Bukannya kepedean, atau gede rasa, tapi aku merasa sangat cantik sekali. Ya, ibuku juga mengatakan seperti itu tadi. Mba Vanya, Tante Karin, dan Kak Vera yang baru saja keluar dari ruangan ini juga tadi sempat mengatakan hal yang intinya sama. Memujiku. Rasanya aku ingin terbang saja.
Ibu tetap berdiri dibelakangku, memegang pundakku. Menenangkan. Menemaniku. Para perias tadi sudah keluar sebelum yang lain keluar. Aku jadi penasaran bagaimana penampilan Kak Tristan dengan tuxedo putihnya. Apakah dia akan tampak tampan? Ah, itu pasti. Dia kan memang selalu tampan. Tapi kurasa, dia akan jauh lebih tampan.
Ah, benda yang kemarin diberikan oleh Kak Tristan. 'Besok malem dipake ya?' kata-katanya terngiang diotakku. Apa harus aku memakainya? Tapi sebelumnya juga telah memberikannya untukku, tapi model yang lain. Aku harus memakai yang mana? Kalau aku make yang dari Kak Tristan, apa dia bakal muji aku ya nanti malem?
Kotak yang kemarin diberikan Kak Tristan cukup besar, muat untuk 2 buah. Jadi aku menggabungkan yang ia berikan, dan yang ibu berikan. Aku mengambil kotak biru itu dari lemari, dan kubuka di depan ibu. Ibu menatap 2 benda itu dengan tatapan kagum, dan tersenyum senang. Aku mengangkat keduanya, "ini dari Kak Tristan, bu, kemaren dia nyuruh aku pake nanti malem" aku memajukan tangan kananku. "Ini yang ibu kasih" kataku lagi, sambil mengacungkan tangan kiriku. "Yang mana ya, bu? Aku bingung" kataku merenung.
"Wah, calon menantu ibu tau banget ya selera kamu" kata ibu.
"Dih? Selera aku mah bukan kaya gini, ini tuh terlalu 'waw' gitu bu" katakku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak setuju dengan perkataan ibuku.
Ibu tertawa melihat aku yang memanyunkan bibir. Tanda protes. "Yaudah ndok, pake yang dari nak Tristan aja"
"Tapi yang dari ibu, gimana?" tanyaku.
"Pakenya kapan-kapan aja toh, gitu aja kok dibikin repot. Piye toh ndok" kata ibuku santai.
Tok tok tok
Kudengar suara ketukan pintu, dan saat aku menoleh, sudah ada Mba Vanya dan Aurel digendongannya yang memakai baju seragam, warna merah maroon, tersenyum kepadaku dan ibu. "Calon mempelai yang cowok udah nunggu di mobil" kata Mba Vanya.
"Ayo, Lun" Ibu menggandeng tanganku untuk turun. Maklum, gaunnya lebih panjang dari tinggi badanku sendiri, jadi kalo jalannya gak dipegangin takutnya kesrimpet. Duh, ribet banget sih ini gaun.
***
Tristan POV
Gue berdiri menghadap ke pintu mobil yang telah kubuka, membelakangi pintu rumah. 'Luna mana sih? Dasar cewek, pasti dandannya lama' batin gue memprotes kesal.
Bukan karena gue takut kegantengan gue luntur karena nunggu Luna yang lama, karena toh gue emang udah ganteng dari bawaan lahir. Jadi, mau digimanain juga, muka gue bakalan tetep ganteng, tapi panasnya ituloh yang bikin gak tahan. Gue make kemeja putih, dan pake jas putih yang gue rasa lumayan tebel. Kayanya itu yang bikin gue ngerasa panas, selain sinar matahari yang emang lagi diatas ya. Oke, sekarang jam 1 kurang dikit jadi pasti matahari lagi nyengir lebar diatas sana.
Gue ngerasa ada yang megang bahu gue. Tangannya gede, so gue pastiin ini bukan tangannya Luna. Gue balik badan, dan betapa terpakunya gue waktu ngeliat Luna yang dengan anggunnya jalan dibantuin sama ibu dan bapaknya. Dia ngeliat ke arah gue dengan tatapan bingung. Malaikat dari mana ini, Ya Tuhan....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter-Sweet Wedding ✅
Любовные романы"Kalian menikah saja?" kata mamanya Tristan tiba-tiba setelah sudah selesai makan. "HAH?!" Luna mendongak. "APA?!" Tristan kaget. Mereka teriak bersamaan. "Ya, menikah. Memang apa masalahnya?" tanya Karin -mamanya Tristan-. "Tapi ma--" "Ngga ada...