Sick....

245K 7.6K 119
                                    

Tristan POV

Tak terasa pernikahanku dan Luna sudah memasuki bulan ke-4. Waktu sangat cepat berlalu, bukan?

Dalam kurun waktu 4 bulan ini aku sudah mengenal Luna secara luar dalam, mengetahui kebiasaan-kebiasaannya. Dan mengetahui batasan emosional Luna.

Ya, kalau dulu kupikir Luna adalah anak yang lugu, dan memiliki sisi emosional dibawah standart, perkiraan ku salah.

Luna tak sedatar yang kukira, sifatnya memang penurut, tapi bisa saja ia menangis diam-diam saat aku tertidur karena tekanan yang ia hadapi.

Luna gampang tertawa, gampang tersentuh, dan gampang sekali cemburu. Pernah sekali, aku bertengkar dengannya karena cemburunya yang diluar nalarku.

Bayangkan, hanya karena Merlyn bekerja di kantorku saja, ia bisa datang ke kantor dan memarahiku habis-habisan karena menerimanya. Padahal, itu bagian HRD yang menerima bukan aku.

Saat itu, aku juga sedang memiliki masalah lain. Villa yang baru kubangun di daerah puncak, habis dilahap si jago merah karena ulah penduduk sekitar karena mereka merasa posisi villaku yang cukup besar mampu mengancam villa-villa kecil yang sudah terbangun disana lebih dulu.

Tidak ada kompromi, tak ada omongan apapun, mereka membakar villaku itu tengah malam, dan penjaga villaku disana ditawan oleh mereka saat villa itu dibakar. Padahal, villa itu akan kuberikan sebagai hadiah untuk Luna, dan aku tidak berniat untuk menjadikan itu villa sewaan. Hanya villa keluarga.

Kepalaku yang saat itu dipenuhi bara api, dan dimarahi habis-habisan oleh Luna membuatku kehilangan kewarasan dan saat itu juga aku menampar dan mendorong Luna hingga ia terjatuh dan punggungnya mengenai tangan kursi. Saat itu, aku langsung pergi meninggalkan Luna diruangan kerjaku. Aku menuju pantry, untuk menyesap sedikit kopi susu yang sekiranya mampu membuatku merasa lebih tenang.

Dan saat aku kembali ke ruangan, Luna sudah tak ada disana. Ia hanya menulis di selembar note diatas meja kerjaku: Aku pergi.

Saat itu, tak kupikirkan kemana perginya Luna, karena kukira ia hanya akan pergi ke apartementku menggunakan taksi.

Dan malam harinya, aku pulang begitu larut karena habis dari puncak, dan jalan menuju jakarta ditutup. Kira-kira aku sampai rumah sekitar jam 1 pagi. Aku sangat lelah saat itu, sampai-sampai aku tak menyadari kalau tidak ada wanita yang biasanya menemaniku tidur selama 4 bulan ini.

Keesokan paginya, baru kusadari ia memang pergi. Buktinya, tak ada sarapan yang ia siapkan untukku. Padahal biasanya sepagi apapun kuliahnya hari itu, ia akan bangun lebih pagi untuk sekedar menyiapkan sarapan untukku, membangunkanku, dan berpamitan. Tapi ini benar-benar tak ada.

Kuhubungi Vanya -yang sekarang sudah tinggal di Bandung karena Noel dinas disana- untuk menanyakan apakah Luna datang kesana atau tidak, tapi jawabannya tidak. Luna tidak datang kesana sama sekali.

Aku kelimpungan mencari Luna, kuhubungi -telpon, sms, whatsapp, line- tapi hasilnya nihil. Tak ada satupun respond darinya.

Keesokan harinya, aku mendapat SMS dari nomor HP Vanya.

'+628211441xxxx itu nomernya Lea, coba kamu hubungin dia'

Tanpa berterimakasih pada Vanya yang kini sudah menyandang gelar 'kakak iparku' aku langsung menghubungi nomor yang tadi ia berikan.

Saat nada sambung ke-5, telpon diangkat. Tanpa basa-basi, langsung kutanya. "Lea, kamu lagi sama Luna gak? Dia pergi" kataku dengan panik. Jujur, aku tak mau kehilangan wanitaku.

"Gak ada" nadanya terdengar jutek. Aku yakin dia sudah tau apa masalahku dan Luna, dan kupastikan Luna sedang bersamanya.

"Jangan bohong, Le" kataku.

Bitter-Sweet Wedding ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang