💍4

2.3K 44 13
                                    








__4__

Hujan malam ini begitu deras, seakan memang bersekongkol dengan perasaanku yang begitu mendung, sama sekali tidak ada kecerahan di dalam hati. Rintik hujan terdengar jelas menghantam atap kamar. Bukan terganggu, aku malah menikmati hantaman-hantaman air langit yang jatuh membasahi bumi. Bagiku, bunyi tetas hujan bisa menutupi semua suara-suara yang selalu membuat dirinya jenuh, membuatnya tuli akan kenyataan-kenyataan dunia yang begitu pahit.

Masih lengkap dengan pakaian serba hitamnku, aku duduk dan menyandarkan diri di sisi jendela kamarnya yang lumayan lebar. Menikmati hembusan dingin angin malam, membiarkan tetes air hujan membasahi sebagian tubuhku dan menghirup bau tanah yang basah. Tamu-tamu dan para tetangga sudah pulang ke rumah masih-masing, tinggal beberapa sanak saudara dekat yang masih tinggal. Sudah beberapa jam yang lalu papa dimakankan di pemakaman terdekat, dan mulai saat itu aku tidak akan lagi melihat sosok papanya.

Langit terlihat begitu gelap, bulan dan bintang yang setia menjadikan malam tidak sunyi kini seolah sedang tidak ingin menerangi bumi, entah karena bulan dan bintang jenuh, bosan, marah atau mungkin malamlah yang ingin sendiri.

"Al." Suara berat menyadarkanku dari lamunan namun aku memilih diam, tak acuh, tidak mengindahkan Reno yang memanggilnya.

"Makan dulu, dari tadi pagi kamu belum makan." Reno meletakkan piring dan segelar susu hangat di atas nakas. Kudengar langkahnya yang berjalan mendekat ke arahku.

Reno ikut duduk di sisi lain jendela yang menghadap kearaku. "Sudah, kita ikhlaskan saja kepergian paman dan kita kirim doa semoa ia diterima di sisi yang maha kuasa." Ujar Reno berusaha menenangkan, meski ia tau ucapan itu tidak begitu mudahnya mengubah kesedihanku menjadi tenang.

Kupejamkan mataku sejenak, kuhirup udara dingin dan menghembuskannya perlahan. "Aku sama sekali tidak menyangka akan terjadi seperti ini." Suaraku pelan dan mulai bergetar.

"Ini takdir, Al. Semuanya sudah direncanakan oleh tuhan. Yakin saja, semua akan ada hikmahnya."

"Ren, aku belum bisa tanpa papa. Keluargaku masih bergantung padanya. Kami tak punya uang untuk menghidupi biasa sehari-hari kami." Aku menunduk, membiarkan bulir-bulir air mataku menetes seiring derasnya air hujan dan aku mulai terisak.

Reno kemudian memegang kedua pundakku yang semakin bergetar menahan isakan. "Liat mata gue!" Perintahnya.

Aku tidak mengindahkan ucapannya, aku malah semakin menunduk.

"Al, aku lagi ngomong sama kamu. Denger nggak sih?" Reno menggoyang-goyangkan pundakku.

Aku kemudian mendongak, menepis tangan Reno dari pundakku. Namun tenagaku jelas kalah dengan tenaga Reno, alhasil tangan pria itu masih bertengger di pundakku.

"Tatap mata aku!" Reno mengulang ucapannya, sedikit memaksa.

Aku terdiam dan akhirnya bungkam, memilih menuruti perkataan pria di hadapanku itu. Tidak ada alasan lagi untuk menyembunyikan tetesan air mataku, tidak ada alasan lagi untuk menyembunyikan mataku yang semakin membengkak. Sebab menyembunyikan kesedihanku dari Reno hanyalah sia-sia. Tanpa diberitahu, Reno juga sudah tau rasa sakit yang sedang aku rasakan.

"Aku yang akan selalu ada buat kamu, aku yang akan menuntun kamu, aku yang akan berjalan bersamamu. Tidak perlu takut, aku tidak akan pergi." Ia meneggelamkan tubuhku dalam pelukannya. Isakanmu pun tertahan oleh dada bidangnya. Aroma mint kemeja Reno jelas menyeruak di penciumanku, menciptakan sebuah rasa yang sedikit mampu menenangkan.

Diraihnya anak-anak rambutku yang senantiasi diterbangkan oleh angin malam yang masuk melalui jendela yang terbuka lebar, menyelipkan anak rambut itu ke belakang kuping. Gorden ikut tersibak ke sana ke mari akibat hembusan angin yang cukup kencang.

Marriage With The Rude BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang