💍12

1.6K 32 6
                                    


----

Reno memijit pelipisnya, banyaknya pekerjaan dan urusan kantornya membuat ia linglung, ditambah lagi dengan emosi yang menggebu dalam hatinya membuat laki-laki itu tidak mampu mengontrol diri.

Tokk..

Tokk..

Terdengar suara ketukan.

"Masuk!" serunya kepada orang yang berada di balik pintu tersebut, mengingat pintu ruangannya tidak terkunci.

Dari balik pintu tampaklah seorang gadis yang beberapa hari yang lalu melakukan sarapan bersama Reno di rumahnya, tidak lain tidak bukan adalah sekretarisnya. Penampilan wanita tersebut pada hari itu bisa dibilang cukup sexy, mengundang para mata lelaki untuk menatapnya lebih lama dan membuat beberapa wanita lain iri kepadanya. Sangat cantik, sebutan itu sangat pantas untuk penampilan wanita tersebut, blus berwarna merah yang di tutupi dengan blazer hitam dan rok diatas lutut terlihat sangat cocok melekat pada tubuhnya.

Ia kemudian berjalan anggun ke arah meja kerja Reno di mana laki-laki itu sedang duduk gelisah. "Maaf Pak, saya ke sini untuk memberitahukan Bapak bahwa hari ini akan ada pertemuan dengan salah satu perusahaan kosmetik yang ingin bekerja sama dengan perusahaan kita."

"Ckk, bilang kalau saya sedang tidak ada waktu!" Reno berdecak.

"Maaf Pak, kita sudah melakukan perjanjian dengan mereka. Jika dibatalkan perusahaan kita akan menurun dipandangan mereka." jelas sekretaris itu sekali lagi.

"Yasudahlah. Jam berapa?" tanya Reno pasrah. Ia tidak mau hanya karena satu permasalahan saja semuanya menjadi kacau dan berdampak pada perusahaannya.

Sekretaris itu melirik jam tangan berwarna emas yang melingkar indah di tangannya. "Setengah jam dari sekarang."

"Baik, kamu bisa keluar sekarang!" ujar Reno, dengan kata lain merupakan kalimat halus untuk meminta sekretarisnya tersebut untuk segera keluar.

"Terima kasih Pak." kata sekretaris itu sebelum berlalu keluar.

Reno memejamkan matanya sejenak, mengetukkan jemarinya di meja kayu kerjanya. Pikirannya tidak tenang, antara kasihan dan masa bodoh dengan Riana. Bagi Reno, perempuan itu memang pantas mendapatkan balasan yang setimpal, yang lebih sakit dari yang ia rasakan. Reno akan puas sampai Riana stres dan akhirnya menggila.

Ia kemudian membuka laptopnya, menyalakan dan mengklik beberapa folder hingga muncullah foto seorang perempuan. Dia bukan Riana, wajahnya lebih mirip dengan perempuan yang selalu Reno temui di club, perempuan yang Reno kejar hingga sekarang ini.

Reno membuka satu persatu foto tersebut. Berharap penat di kepalanya sejenak bisa menghilang. Terlihatlah gadis cantik dengan rambut lurus tergerai di foto itu, dengan senyum yang begitu sangat bahagia. Sementara di belakang gadis itu berdiri seorang laki-laki di mana laki-laki itu adalah Reno yang sengan bergaya peace yang tidak kalah bahagianya.

Dari sudut bibir Reno tersebentuk sebuah senyum kecil yang sangat tulus. Entah berapa lama Reno tidak pernah terlihat senyum setulus itu, dan entah sejak kapan Reno tidak pernah lagi bahagia sejak kejadian beberapa tahun yang lalu.

"I miss you," kata Reno yang terus menatap wajah perempuan lekuk demi kekuknya.

"Aku sangat rindu,"

"Aku mau ketemu kamu, Al."

"Aku mau kamu di sini, bersamaku."

Ia kemudian menutup jawahnya dengan kedua tangan. Berusaha menetralkan isi pikirannya.

Reno kembali membuka foto yang lain. Kali ini menampakkan dirinya sedang berlutut di hadapan perempuan itu dengan sebuah mawar merah yang ia genggam. Masih sama dengan foto sebelumnya, perempuan itu sangat bahagia, namun yang berbeda adalah perempuan itu memakai kursi roda.

Di foto selanjutnya terlihat perempuan itu terbaring di rumah sakit dan tidak sadarkan diri. Reno ingat ketika ia mengambil foto itu pada saat 3 bulan perempuan tersebut mengalami koma, hingga akhirnya pergi untuk selam-lamanya.

Tidak terasa cairan bening berhasil menetes di pipinya. Reno adalah tipikal orang yang keras, namun ia akan lemah jika menyangkut ibu dan perempuan yang sangat ia sayangi. Punggung tangannya segera melap air matanya ketika ia kembali mendengar ketukan di pintunya.

"Masuk!" katanya senetral mungkin agar suaranya tidak terdengar serak.

"Pihak dari perusahaan yang ingin bekerja sama dengan kita sudah menunggu di luar, Pak." mendengar ucapan sekretarisnya, Reno segera bangkit dan berjalan menuju pintu mengikut di belakang sekretarisnya tersebut. Mereka kemudian berjalan menuju ruang rapat.

"Siang Pak," sapa para karyawan yang di lalui Reno yang kemudian di balas senyum olehnya.

Di kantor, Reno di kenal sebagai petinggi yang bijaksana, ramah, dan santun. Sebagai CEO, Reno menempati suatu jabatan yang tentunya di segani oleh para karyawannya. Sebagian dari perusahaan-perusahaan terkenal tidak menutup kemungkinan ada yang bersifat arrogant dan selalu ingin di hormati, tidak ingin berintaraksi bersama dengan karyawan dan bawahannya. Berbeda dengan Reno, itulah yang menjadi salah satu alasan perusahaannya bisa meningkat dengan cepat, karena memang selalu menjaga nama baiknya di depan semua orang. Bukan hanya itu, Reno yang memiliki paras sangat-sangat tampan itu mampu menarik para perempuan untuk ikut bergabung dalam perusahaannya, plus perusahaan tersebut adalah salah satu perusahaan kosmetik yang tentunya diminati oleh para kaum hawa.

Setelah berjalan beberapa detik, tibalah Reno di sebuah ruangan yang memang dikhususkan untuk pertemuan-pertemuan dan rapat yang di laksanakan. Kedatangannya di sambut hangat oleh perempuan yang berdiri tidak jauh dari posisinya saat itu. Reno membeku setelah melihat siapa yang berdiri di hadapannya itu.

"Selamat siang Mr. Reno," sapa perempuan itu hangat.

Reno mendadak bisu, tidak ada sepatah katapun yang mampu keluar dari bibirnya. Perempuan itu kemudian berjalan menghampirinya.

"Perkenalkan, saya Miss. Ann." sapanya dengan uluran tangan sebagai perkenalan awal.

***

Seperti biasa, Riana berada di sudut kamar, tubuhnya bergetar dan ketakutan, lemah dan tak berdaya. Ia menatap kosong ke depan, seperti tidak ada tujuan hidup. Entah sudah berapa jam kepalanya sangat berat, matanya terasa ingin terus terpejam. Semakin lama sakitnya semakin luar biasa. Riana terus melawan sakit itu, berusaha terus terjaga agar itu tidak jatuh pingsan, namun tubuhnya sudah tidak lagi mampu melakukan apa-apa. Ia lelah, tidak kuat lagi untuk melalukan pergerakan. Ia hanya bisa bersandar di tembok yang begitu dingin, sebagai sandaran manyannya baginya sejak beberapa hari yang lalu. Itulah kenyataan hidup yang harus ia jalani hingga waktu yang tidak ia ketahui.

Semakin lama tubuh Riana semakin terperosok jatuh ke lantai. Tidak ada lagi kekuatan untuk menahan berat badannya. Hingga ia ambruk tak sadarkan diri.

----

Marriage With The Rude BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang