PERTENGKARAN

200 69 49
                                    

Author bakalan kasih visualnya tokoh deeh..
Tapi kalau kalian punya imajinasi sendiri no problem kok..

ANI

MILA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MILA

SITI

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SITI

USTADZAH YUNI

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

USTADZAH YUNI

USTADZAH YUNI

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MAYA

MAYA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

"Bangun! Bangun! sudah subuh. Cepat berwudhu semuanya"

Teriakan itu lagi yang membangunkanku. Ini hari ke 15 aku di pesantren. Dia cocok sekali jadi pembina asrama karena suara cemprengnya yang khas terdengar melengking di telinga.
Dengan malas aku melangkah untuk berwudhu.
Aku harus tetap menjaga sikap ku agar tak ada yang curiga pada ku.

Ini sungguh beban bagiku. Karena aku yang biasanya tidur pukul 7 malam dan bangun pukul 8 pagi kini harus tidur jam 10 malam dan bangun jam 4 subuh.

Qad qamatish shalah.
Qad qamatish shalah.

"Cepetan Ani! Udah iqamah tuh." Kata Siti padaku seraya menarik mukena ku.

Aku menebas tangannya. Menatap matanya tajam. Aku tau itu adalah kelemahannya. Ia selalu takut jika aku memasang ekspresi tersebut.

Siti adalah orang kedua yang ku kenal setelah Mila. Mila juga adalah seorang santri pindahan dari luar kota. Kebetulan sekali ia masuk ke pesantren pada hari yang sama dengan ku. Sikap Siti yang terbuka dan ramah membuat aku dan Mila senang bergaul dengan nya. Namun suatu aib yang membuat santri lain tidak berani berteman bahkan mendekatinya adalah hewan ternak yang selalu ia bawa kemana pun ia pergi di atas kepalanya (baca: kutu rambut). Ia selalu sendirian hingga akhirnya aku dan Mila menjadi sahabat nya.

Jangan salah menilaiku. Walaupun aku seorang pembunuh, aku masih memiliki hati. Aku juga memiliki rasa iba di hatiku. Termasuk pada Siti yang kesepian tak berteman.

Shalat subuh hari ini berakhir dengan pertengkaranku dengan seorang santri yang mendorong ku dari belakang saat berdesakan keluar dari mushalla. Aku terjatuh dan jari jari ku terinjak oleh santri lainnya. Sontak aku menamparnya. Ia yang tak mau kalah membalas menamparku. Andai ia tahu bahwa seseorang yang baru saja ditamparnya adalah gadis remaja yang berani membunuh seorang rentenir yang sudah dewasa, ia tak akan berani padaku.

Semua santri melihat ke arah kami. Aku sudah terlampau sakit hati sehingga tidak bisa menjaga sikapku saat itu. Mila pun muncul di depan ku. Ia berusaha memisahkan kami sebelum pertengkaran ini disaksikan pembina asrama. Namun Mila terlambat karena Ustadzah Yuni sang pembina bersuara cempreng telah menerobos kerumunan santri demi kembawa kami ke 'ruang pengadilan' di samping asrama.
Santri santri pun bubar. Namun seseorang memegang tanganku.

"Hati-hati Ani. Maya itu adik Ustadzah Yuni" Bisik Siti yang ternyata berdiri di belakang kerumunan santri karena dirinya yang tidak berhasil menerobos kerumunan santri lainnya.

"Bodo. Mau adik presiden, kalau salah tetap salah kan?" Ujarku santai.

Kesiur angin pagi menerpa wajah datar Ustadzah Yuni. Ia berjalan berdampingan dengan Maya, santri yang mendorongku tadi.
Sedangkan aku bersungut-sungut berjalan di belakang sendirian.

Setelah memasuki ruangan, suasana makin panas. Aku dan Maya tak henti hentinya mengeluarkan pembelaan-pembelaan atas diri kami masing-masing.

"Tapi kak, dia menampar saya duluan. Padahal kan saya nggak sengaja." Ujar Maya.

"Kalau kamu nggak dorong saya, saya nggak akan nampar kamu kok." Aku tak mau kalah membela diri.

"Sudah! Sekarang Ani harus minta maaf duluan pada Maya." Ujar Ustadzah Yuni.

Dia benar-benar kurang ajar. Ia telah memutuskan bahwa akulah yang harus minta maaf duluan pada adiknya itu.

"Tidak! Jangan mentang-mentang dia adik ustadzah, jadi ustadzah tidak menilai bahwa ialah yang bersalah." Aku menepuk meja dan melotot pada Ustadzah Yuni. Ku pasang tatapan tajam yang selalu membuat Siti takut padaku.

"DIAM ANI!!! Lakukan atau skorsing selama sebulan." Ustadzah Yuni balas menepuk mejandan menatapku 10 kali lebih tajam dari tatapanku.

Aku mengalah.

Maya terlihat senang dan memasang wajah seringai seolah-olah ia sangat bangga karena telah memenangkan kasus ini.

Lihat saja. Rencana demi rencana akan membuatmu raib.

***

Kira-kira apa rencana Ani ya??
Keep reading yaaa...
Jangan lupa tekan bintang 😊

Darah Dan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang