KESEDIHANKU

120 43 16
                                    

Aku menunduk. Takut seandainya ia menulis namaku.

"A" Ustadzah Yuni mendiktekan yang telah ditulis Maya.

"A apa sayang? Siapa yang sudah menikammu?" Ujar Ustadzah Yuni lagi. Air matanya menetes. Menantikan jawaban adiknya.

Aku pasrah. Aku benar-benar bodoh. Sungguh, penyesalanku benar-benar menggunung. Kenapa tidak ku pastikan ia mati kemarin. Hanya soal waktu aku yang akan mati. Dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.

Pena ditangan Maya terjatuh. Tangannya terkulai lemah. Dia baru berhasil mengukir huruf A dan garis berbentuk huruf R kecil yang ku yakini itu adalah huruf N yang belum selesai.

EKG menunjukkan garis lurus.

Ustadzah Yuni segera memanggil dokter.

Seorang dokter diikuti dua orang perawat masuk ke dalam ruangan. Seorang perawat meminta kami keluar dari ruangan. Hanya Ustadzah Yuni yang dibiarkan tetap di dalam ruangan. Ia menggenggam tangan adiknya kuat-kuat.

Genggaman yang sama.

Rekaman ulang kejadian itu terulang lagi.

***

Aku menggenggam tangan ibu kuat-kuat. Kepala ibu berlumuran darah. Ia terkulai lemah di lantai. Anak buah rentenir itu telah memukul ibu habis-habisan. Aku menangis. Berteriak. Berdoa. Membaca al-fatihah. Badanku kesakitan. Kaki ku tak mampu lagi berdiri. Anak buah rentenir itu mendorongku hingga kakiku terpelintir.

Aku dan ibu tepat berada di dekat sofa. Nasib baik aku menemukan ponsel di saku celana ibu. Dengan hati-hati aku mengambilnya. Takut akan diketahui oleh anak buah rentenir itu.

Aku menelfon kepala desa. Nomor nya sudah tersimpan di kontak ponsel ibu.

Kepala desa mengangkat telfon ku. Aku meletakkan ponsel itu di bawah sofa. Aku berteriak memanggil ibu dan ayah. Sesekali meminta tolong.

"Sudah pak. Jangan sakiti ayah saya lagi." Sengaja aku mengeraskan suaraku agar terdengar oleh bapak kepala desa.
"Diam kau." Teriak anak buah si rentenir itu.

Buukk..

Ia memukul ayahku. Temannya yang seorang lagi dengan tangkas meraih tangan ayahku dan memelintirnya ke belakang. Nyaris patah.

"AYAAAAAAH...." Teriakanku menggema.
Bukan karena sengaja mengeraskan suara demi kepala desa dapat mendengarnya. Teriakanku refleks karena melihat ayahku disiksa di depan mataku sendiri.

Ayah terjatuh karena anak buah rentenir itu menendang kaki nya. Tanpa ampun seorang temannya menduduki perut ayahku yang terbaring di lantai. Meninju wajah ayah habis-habisan.

Aku berusaha bangkit dari duduk. Kaki ku terasa masih sakit. Dengan kaki gemetar aku meninggalkan ibu dan melangkah ke depan. Radius 2 meter dari ayah.

"BIADAB! Aku tak takut padamu. Kau tak lebih baik dari binatang berkaki empat."

Kedua anak buah rentenir itu tersenyum menyeringai. Mereka menghentikan menyiksa ayah dan melangkah padaku.

"Berani sekali kau ya." Kata salah seorang dari mereka.

Mereka mendekatiku. Dengan cepat ia mengunci tanganku ke belakang. Saat itu aku sangat takut. Aku menatap ayah. Ayah berusaha bangkit.

"Jangan sakiti dia." Ayah berusaha merangkak ke arah ku.

Terlambat. Seseorang diantara mereka meninju perutku.

Aku memuntahkan sesuatu. Menetes dari dagu ku menuju lantai. Darah segar keluar begitu saja dari mulutku. Mereka melepaskanku.
Kembali menuju ke ayah.

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak kuat berdiri. Aku terjatuh dan kepala ku tepat berada di dekat kepala ibu. Mataku berkunang-kunang.
Aku berusaha kuat menjaga mataku tetap terjaga.

Aku menatap mata ibu. Begitu juga ibu. Aku menggenggam tangan ibu. Kuat sekali. Ibu tersenyum padaku.

"Jadilah anak baik, Ani." Kalimat itu keluar dari mulut ibu.

Mata ibu terpejam. Dengan senyuman di wajahnya. Ibu terlihat cantik walau darah sudah merembes keluar dari kepalanya. Memenuhi wajahnya. Ibu sudah pergi.

Aku menangis. Memejamkan mata. Mengenang masa-masa bersama ibu.

Terlintas masa-masa yang tak akan ku jumpai lagi. Saat aku terjatuh dari sepeda dan ibu menertawakanku sambil mengobati lukaku. Saat aku menangis di pekukan ibu ketika teman-teman mengejekku. Saat ibu bercerita ketika aku hendak tidur. Saat aku belajar memasak telor ceplok yang pertama kalinya bersama ibu. Saat ibu bersorak ketika namaku disebut menjadi juara satu di kelas. Dan saat terakhir ibu bersamaku. Saat ibu tersenyum menatapku. Tangisku menjadi-jadi. Berteriak memanggil nama ibu.

"Oo sudah mati dia rupanya." Anak buah rentenir itu tertawa.

Ayah menangis juga. Memanggil nama ibu dari kejauhan. Ia berusaha bangkit.

"FARAAAAAH." Ayah merangkak menuju jasad ibu.

"Enak saja kau ya." Anak buah rentenir itu mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya.

"AYAAAAH AWAAAAAS......."

Ayah berteriak kesakitan. Teriakan yang sangat memilukan. Anak buah rentenir itu menikam jantung ayah.

"Rasakan itu Dani." Kedua anak buah rentenir itu tersenyum puas menyaksikan kematian kedua orang tuaku.

Aku tak lagi mampu bangkit. Aku menangisi kepergian ayah dari tempatku terbaring bersama ibu.

"Apa kalian akan membunuhku juga sekarang?" Aku berkata pelan. Tangisanku terhenti. Aku sedang bersiap-siap menyusul ayah dan ibu.
Aku memejamkan mata.

Sirine mobil polisi terdengar dari luar. Aku membuka mataku. Anak buah rentenir itu sudah kabur.

Kepala desa langsung menghampiri tubuhku yang terkapar lemah. Mendadak dada ku terasa sakit. Sakit sekali. Aku susah bernafas. Mataku berkunang-kunang. Tak lama setelah itu semuanya berubah kelam.

***

"Nyawanya tak terselamatkan." Ujar dokter.
Lamunanku buyar. Aku menangis. Maya sudah meninggal. Namun aku sedih. Aku teringat masa-masa kehilangan kedua orang tuaku.

Kami masuk kembali ke ruangan Maya.

Langit-langit ruangan dipenuhi oleh tangisan. Ustadzah Yuni apalagi.

Aku menitikkan air mata. Akulah yang membunuh Maya. Tapi sekarang aku justru menangis saat Maya meninggal. Aku ikut merasakan apa yang dirasakan Ustadzah Yuni sast ini. Apakah aku merasa bersalah atau aku menangis karena teringat kedua orang tuaku. Yang jelas, tangisku bukan pura-pura. Aku menangis dari hati.

***

Di pesantren ini, aku ikut melakukan berbagai ibadah. Walaupun itu hanya sebagai pelepas kewajibanku saja sebagai santri pesantren.
Jujur saja, bacaan al-quran ku memburuk karena sudah lama sekali aku tidak membaca al-quran.

Jangan remehkan aku. Walau aku seorang pembunuh, dahulu aku bahkan pernah menjuarai lomba tilawah. Itu sebelum kedua orang tuaku meninggal. Tapi sejak meninggalnya mereka berdua. Tak ada lagi waktu membaca quran. Semua berubah.

***

Ustadzah Yuni masih libur. Menurut informasi yang ku dengar, ia cuti hingga sebulan kedepan. Itu adalah sebuah kebebasan yang menyenangkan.

Pagi ini, saat jam pelajaran pertama baru dimulai, aku dipanggil ke ruangan kepala sekolah.

Aku cemas bukan main. Mungkin mereka sudah mengetahui bahwa aku adalah pembunuh Maya.
Aku tak tahu apakah Maya sudah selesai menulis namaku atau belum saat detik-detik ia meninggal. Aku pasrah. Mungkin takdirku memanglah di penjara. Atau mungkin di neraka.

***

Apakah benar Ani akan dipenjara?
Apakah Maya sudah selesai menuliskan nama Ani di kertas itu??

Keep reading...
Dan jangan lupa sedekahkan bintang dari kalian buat part ini....

Darah Dan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang