BANDEL

83 31 10
                                    

Aku mengangguk.

"Baiklah. Sabenarnya, saya ini punya rahasia besar Ani." Ujar Rizki. Aku mulai mendengarkan dengan seksama. Walaupun aku masih menatap lurus kebawah tepat di kaki ku.

"Kamu dengar kan Ani?"

"Iya."

"Sebenernya aku adalah anak yang dikeluarkan dari sekolah lamaku."

Aku terkejut bukan main. Sontak pandanganku teralih ke Rizki.

"Hah? Dikeluarkan?"

"Iya. Aku baru 2 tahun belajar disini."

Aku berfikir sejenak. Terbayang gambaran Rizki yang sedang merokok di luar pekarangan pesantren. Dia memang anak badung rupanya.

"Kamu nggak nanya kenapa saya dikeluarkan?" Tanya Rizki.

Aku menggeleng.
Aku sudah menebak kasus yang diperbuatnya. 'Palingan karena kebadungannya' gumamku.

"Itu doang rahasia mu?"

Tatapan Rizki berubah seketika.

"Apa? Itu doang katamu? Bahkan yang mengetahui itu hanya teman sekamar saya..... Dan kamu."

"Kenapa kamu ngasih tahu aku?"

Jujur, aku mulai merasa bahwa Rizki menyukaiku. Dia membagi rahasianya padaku yang sebelumnya hanya diketahui oleh teman sekamarnya. Apa dia mulai menganggapku lebih dari sekedar teman atau murid bahasa arab nya? Sepertinya aku tidak keberatan untuk itu.

"Kamu masih nanya?" Kata Rizki.

Kalimatnya barusan membuat tingkat percaya diri ku naik. Membuat argumen ku semakin kencang berputar-putar di otak ku. Prasangka bahwa Rizki memang menyukaiku semakin kuat aku yakini.

Pipiku merah. Aku tak berkata apapun. Aku hanya menundukkan kepalaku. Takut memperlihatkan wajahku yang memerah.

"Ya.... karena....." Rizki menggantung kalimatnya.

Aku memasang telinga baik-baik. Menunggu kalimat berikutnya.

"Karena kamu juga bandel kayak saya."

What!!!!! Dia malah mengataiku bandel seperti dirinya. Pipiku malah tambah merah padam karena malu telah GR sebelumnya.

"Aku nggak bandel!" Kataku tak terima.

"Santriwati memanjat dinding pembatas pesantren. Apa itu tidak bandel?"

"Ih. Itu karena aku lapar. Aku habis pingsan dan sadar saat jam pembagian nasi sudah berakhir." Aku membela diri.

"Apapun alasanmu, kamu tetap bandel." Rizki tetap tak mau kalah.

"Kamu juga bandel."

Rizki tersenyum.
Senyuman yang membuatku mengagumi kekuasaan Allah dalam menciptakan rupa hamba Nya.

"Oleh karena itu Ani. Kita harus berubah." Nada bicara Rizki berubah serius. Bahkan terdengar seperti motivator yang sering muncul di layar televisi.

Rizki tersenyum simpul lagi. Sekali lagi membuktikan betapa elok nya ciptaan Allah.

"Sudahlah. Saya mau pamit dulu ya. Sepertinya kamu diabetes Ni."

"Diabates?" Aku mengerinyitkan keningku. Bingung.

"Tampaknya kamu terlalu sering melihat senyum manisku." Ujarnya sambil tersenyum lagi.

Aku tak tahu apa yang aku rasakan. Semuanya bercampur aduk sekarang.

"Astaghfirullah. Aku hanya bercanda. Maaf kalau kamu merasa tidak nyaman diperlakukan seperti ini. Saya minta maaf sekali lagi. Tingkah lama saya sepertinya kambuh." Rizki beranjak dari duduknya. Menatap kemana-mana selain padaki. Tatapannya tidak fokus.

"Hah?" Ujarku bingung.

"Assalamu'alaikum warahmatullah" Rizki melenggang pergi.

Mungkin di pesantren ini memang tidak diperbolehkan mengobrol berlama-lama dengan lawan jenis. Bahkan apa yang aku dan Rizki lakukan seperti belajar berdua dan duduk di kantin berdua merupakan hal yang bisa saja menyebabkan kami mendapat sanksi. Kami dapat melakukan itu semua hanya karena alasan belajar intuk olimpiade. Dan setelah olimpiade batal, tentu kami tak akan bisa belajar bahkan mengobrol lagi. Kami akan menjadi santri biasa yang dapat dijatuhi sanksi. Walaupun itu lumrah menurut santri pesantren, namun menurutku itu berlebihan. Aku merasa biasa saja walau harus bertemu dan belajar dengan Rizki. Toh kami berpegangan tangan pun tidak. Itu menurutku.

Sambil menatap kepergian Rizki, perlahan dadaku kembali merasakan sakit. Semakin lama semakin sakit.

Pandanganku buram.

Aku berusaha berdiri.

"Aku tak akan pingsan kali ini. Aku harus kuat." Ujarku.

Aku berjalan tertatih-tatih. Aku berjalan melalui jalan memutar menuju asrama putri. aku bermaksud menghindari perhatian santri lain. Aku akan berusaha berjalan sendiri. Aku tak ingin dibantu.

Setengah jalan aku berjalan, aku terjatuh. Dadaku seperti di tusuk oleh pisau.

Aku berpegangan pada dinding. Berusaha bangkit. Aku mengambil nafas panjang dan menghembuskannya. Berusaha menahan sakit. berulang-ulang ku coba berdiri, berulang-ulang pula aku gagal dan jatuh lagi.

Aku tak kuat. Aku terlalu bodoh menghindari perhatian santri lain dan memilih jalan memutar yang sepi nyaris tak ada dilewati orang.

Aku pasrah. Membirakan tubuhku bersandar le dinding sambil menahan sakit. Hingga seseorang jangkung berkacamata datang dan duduk di hadapanku.

"Ani" suaranya terdengar samar.

Hingga tak terdengar sama sekali.

***

Aroma minyak kayu putih memenuhi indra penciumanku.

"Heh? Kok aku disini?" Aku menatao bingung dinding-dinding debgan btun marmer dengan kaligrafi dsebagai hiasannya.

"Tadi kebetulan aku nemuin kamu di depan pintu mushalla ini. Aku mau ambil quran aku yang ketinggalan, eh malah nemu kamu lagi terkapar. Kamu pingsan." Mila memandangku.

Aku bahkan tidak tahu kalau aku ke mushalla tadi. Yang ku ingat hanyalah aku yang tengah menahan sakit di depan gudang pesantren. Aku berjalan memutar karena takut akan diperhatikan santri lain. Tapi Mila bilang kalau aku jatuh di depan mushalla.

"Kamu kenapa sih sebenarnya Ni? Kamu kecapekan lagi? Tapi kamu kan nggak ikut olahraga tadi." Mila bingung. Akupun bingung harus menjawab apa. Akupun tak tahu kenapa aku bisa sampai di mushalla.

"Entahlah. Aku nggak ingat apa-apa." ujarku setengah berbohong.

"Lagian, bukannya kamu tadi dipanggil Rizki. Kamu nggak pa-pa kan Ni? Dia jahatin kamu?" Mila menebak. Menampakkan raut wajah cemas.

"Apa sih Mil. Aku nggak pa pa kok."

"Trus kok kamu bisa nyampai disini sih?"

"Aku nggak tau Mila." Kataku penuh penekanan.

"Jangan-jangan...."

"Eh, apaan sih. Udahlah. Aku mau ke asrama aja." Aku berusaha bangkit. Aku melangkah keluar mushalla dengan sedikit terhuyung.

"Kamu bandel banget sih Ni!"

Aku tertegun. Langkahku langsung terhenti. Aku teringat Rizki yang mengatakan bahwa dia dikeluarkan dari sekolah lamanya sebelum pindah kemari. Aku menyebut dia badung, dia pun begitu. Menyebutku badung karena keluar dari pekarangan pesantren dengan melompati dinding pembatas.

Aku mengingat sesuatu.
Rizki!
Dia orang terakhir yang kulihat sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri.

Apa mungkin.....
Ah, aku terlalu banyal berkhayal!!!!

***

Sorry readers,, part ini segini dulu...
Mohon bintangnya ya readers. Jangan silent mulu....
Tiap satu bintang dari kalian untuk part ini akan terus menambah semangat author...
Mohon kerja samanya ya... 😊😊




Darah Dan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang