PENDUDUK KEPALA

88 37 6
                                    

"Masya Allah Rizkiii!!!"

Lelaki jangkung berkacamata tengah merokok di bawah pohon jambu. Membelakangi jalan.

Rizki menoleh padaku,

"Ya?"
Dia santai saja tanpa membuang rokok di tangannya.

Entah apa yang baru saja aku saksikan. Seorang Rizki, yang menjuarai olimpiade bahasa arab keluar pekarangan sekolah dan merokok.

"Kenapa? Mau bilang aku badung? Kamu kaget?" Rizki melangkah mendekatiku.

Jarak kami tinggal 5 langkah.

"Aku juga kaget saat kamu mau meneror Maya."

Deg!

Pria ini benar-benar aneh. Saat itu memang Rizki memergoki ku di kelas. Tapi aku yakin ia tidak tahu isi kotak yang ku bawa. Karena kotak itu sudah ku bungkus dengan kertas kado sehingga akan seperti sebuah kado.

Apa benar dia tahu? Apa dia tahu bahwa aku pembunuh Maya?

"Sudahlah, Ni. Kamu jaga rahasia ini, aku jaga rahasia mu."

"Bicara apa kamu? Kamu nggak punya bukti ya!"

"Kamu manjat pagar dan sampai disini. Kamu mau kabur. Itu suatu kesalahan Ani."

"Lebih baik kita jaga rahasia ini." Lanjut Rizki.

Aku hanya tak habis fikir tentang yang ku lihat barusan. Rizki keluar pekarangan pesantren dan merokok.

Aku sampai tak percaya bahwa dia se bandel itu. Tapi aku belum pernah dengar santri yang bilang kalau dia bandel. Dia gimana sih sebenarnya?

Aku membeku tak berkata sepatah kata pun. Rizki melenggang pergi dan menghisap rokoknya kembali dengan santai. Rasa lapar ku seketika hilang. Aku manatap sekeliling. Entah bagaimana caranya aku kembali ke pekarangan pesantren. Tak ada tangga. Kursi pun tak ada.

"Rizki. TUNGGUUU...."

***

"Maaf ustadzah. Kami tadi belajar di warung pak kumis. Di mushala sepi. Tak baik jika belajar disana."

Apa apaan alasan yang dibuatnya.

"Kalian ke luar tanpa izin? Berdua pula. Santri macam apa kalian ini." Ustadzah Dila menaikkan nada bicaranya.

"Biasanya kami kan memang belajar berdua saja ustadzah." Jawabku.

Rizki menyenggol lenganku. Mengisyaratkan agar aku tetap diam. Aku kesal. Memangnya hanya dia yang bisa menjawab perkataan Ustadzah Dila? Aku juga bisa kok. Tapi baru satu kalimat yang aku keluarkan, lelaki menyebalkan ini sudah melarangku berbicara.

"Saat kami akan keluar, ustadzah tidak ada disini. Bukankah ustadzah harus selalu siaga disini? Itu sebuah kesalahan ustadzah." Jawab Rizki seraya menyunggingkan senyim manisnya.

Dia tersenyum pada Ustadzah Dila, tapi efek nya sampai padaku. Lagi-lagi aku kagum pada ciptaan Allah yang satu ini.

"Maaf ustadzah. Kami tidak akan mengadukan hal ini pada Ustadz Arif. Maafkan kami ustadzah. Kami terpaksa keluar karena jika menunggu ustadzah terlebih dahulu, itu akan memakan waktu, sedangkan kami hanya punya sedikit waktu untuk belajar." Lanjut Rizki.

Ustadzah Dila tak bergeming.

"Assalamu'alaikum ustadzah" Rizki mengucap salam sebelum melangkah pergi.

Rizki berjalan melewati Ustadzah Dila. Aku mengikuti nya.

'Dia benar-benar bisa membalikkan keadaan'

***

"AAAAAA.... KUTUUUU" Mila berteriak. Membuat aku dan Siti menoleh padanya.

"Mana Mil?" Aku siaga memegang rol.

"Ituuu...."

Buk.. buk.. buk..

Mila menghindar. Takut kutu itu berimigrasi ke kepalanya.

Aku menepuk-nepuk bantal Mila.

"Eh... Ani.... Jangan gitu! Kutu nya malahan hilang kan." Siti menepis tanganku.

"Biarin. Yang penting nggak ada lagi." Ujarku enteng.

"Nggak ada buyutmu? Nanti dia bakalan pindah ke kepala mu lo. Jadi nambah penduduk kepala mu." Mila menepuk kepalaku pelan.

"Sakit Mil!" Kataku.

"Kamu sih Siti. Kenapa nggak hilang-hilang kutunya? Baru aja aku sekamar sama kamu, kutumu langsung nular." Ujar Mila kesal.

"Maaf Mil." Siti nyengir.

"Iya nih Siti. Kenapa segitunya kutu mu itu betah di kepala kamu."

"Eh, eh, di kepala kalian kan juga nggak hilang-hilang dari awal masuk pesantren." Siti membela diri.

"Kan nularnya dari kamu!!"

Siti nyengir tampak tak bersalah.

"Tapi, aku mau lo ngilangin nih penduduk kepala ku. Padahal aku nyuci rambut tiap hari. Paling telat, yaaa 3 hari."

"Kutu mu itu betah di kepalamu. Mungkin mereka udah buat negara di kepalamu." Ujar ku.

"Dan hanya penduduk kaya yg mampu buat paspor biar bisa pindah ke kepala lain." Lanjut Mila.

"Berarti yang tinggal di kepala mu itu hanya kutu golongan rendah. Yang nggak punya biaya buat urus passpor." Lanjut Mila.

Hahahahaha

Tawa kami memenuhi seisi kamar.

"Sudahlah. Mendingan kalian wudhu sana. Udah mau ashar tuh. Habis itu kan kita mau praktek voli." Ujar Siti.

"Kita? Lo aja kali.. Gue nggak...." kataku.

"Ya elaah. Mentang-mentang mau belajar sama Rizki."

"Kamu beneran belajar kan Ani?" Tanya Siti.

Aku mengangguk. Apa maksud pertanyaan Siti barusan.

"Kami khawatir aja." Lanjutnya.

"Iya, Ni. Banyak lo santri yang ngira kamu cari perhatian Rizki." Tambah Mila.

"Hah?" Aku kaget.

"Iya. Ada juga yang bilang kalau kalian pacaran diam-diam." Siti menatapku. Seperti menantikan apa yang aku katakan.

"Ya Rabb. Demi kutu kutu nya Siti, aku nggak pacaran ya. Kami cuma belajar." Jawabku.

"Hahaha. Kami percaya kok. Segitunya deh Ani." Siti menepuk pundakku.

"Kami bercanda kok. Cuma penasaran hubungan kamu sama Rizki. Soalnya kamu jarang cerita sih." Ujar Siti.

Aku menatap tajam Siti. Tatapan yang selalu ditakutinya.

"Iiih Ani. Maaf." Siti meraih tanganku tanpa menatapku.

"Iya. Aku maafin."

Tok tok tok...

"Maaf, Assalamu'alaikum. Ani ditunggu Rizki di lapangan."

***

Apa lagi ya?
Ngapain Rizki nunggu Ani?
Bintang nya jangan lupa ya readers... 😊😊

Darah Dan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang