BATAL

92 33 4
                                    

Aku melenggang berjalan melewati santri asrama putri yang tengah duduk menatap pohon rambutan.

Buahnya memanggil-manggil mereka.
Ayo makan aku. Panas panas gini enak lo.

Hari ini benar-benar panas. Rasanya aku ingin melepas jilbab yang membungkus kepala ku.

Tiba-tiba aku teringat percakapan ku dengan Siti dan Mila di kamar. Masyarakat kepala. Ternak si Siti yang berhasil berimigrasi ke kepalaku membuat kepalaku gatal. Apalagi saat cuaca panas begini. Mengingat itu saja sudah membuat gatal di kepalaku. Sungguh kutu kurang ajar. Numpang hidup gratis di kepalaku.

Karena asik memikirkan masyarakat kepalaku, aku sampai tidak sadar bahwa aku menginjak kulit pisang. Dan kalian tahu apa yang terjadi.

BUKK.....

"Aw...... Siapa yang buang kulit pisang sembarangan? Ngaku!" Ujar ku sambil tetap terduduk.

Aku enggan berdiri. Aku melengoh ke segala penjuru hingga menemukan seseorang yang juga sedang melihatku dengan mulut menganga. Wajah cantiknya terlihat lucu. Di tangannya ada sebuah pisang yang tak lagi berkulit yang sudah dimakan setengah.

"Ustadzaaaah..." Aku berteriak dan berdiri. Aku menghampiri wanita yang tak lain adalah Ustadzah Dila. Aku memukuli lengannya.

"Ani! Sakit..... Maaf. Ustadzah tadi lempar ke tong sampah itu tapi nggak masuk. Kulitnya malah mendarat di situ."

"Terus kenapa nggak ustadzah pungut?" Aku masih protes. Tak terima dengan alasan Ustadzah Dila.

"Ustadzah mau mungut, eh kamu malah nginjak duluan."

Aku cemberut. berdiri bersedekap dengan tatapan tajam. Aku menoleh ke arah lain. Sok sok ngambek.

Ustadzah Dila memungut kulit pisang yang hancur setengah setelah ku injak tadi.

"Udah kan Ani? Maafin Ustadzah ya. Lagian ngapain sih kamu bengong siang-siang gini?"

Aku menoleh ke Ustadzah Dila. Memasang wajah bingung.

"A..A..Aku bengong ustadzah?"

"Iya. Sampai-sampai kamu nggak sadar ada kulit pisang disitu."

"Oh. Ini ni ustadzah. Gatal." Aku menggaruk kepalaku yang sudah agak reda gatalnya.

"Gatal kok bengong? Aneh kamu."

"Ya makanya Ani bingung. Ani nggak bengong kok ustadzah."

"Berarti kamu terlalu fokus garuk-garuk kepala" Ustadzah Dila menertawakanku.

Aku kembali cemberut dengan tangan bersedekap. Kembali sok ngambek.

"Oh ya, kamu enak ya. Bisa belajar bareng Rizki. Bahkan nggak ada yang ngelarang kalian buat ketemu."

Aku menoleh ke Ustadzah Dila. Aku bergumam dalam hati. 'Siapa juga yang mau ngelarang kami? Kan kami cuma belajar.'

"Yaaaa ustadzah tau sih kalian belajar. Tapi keseringan lo Ni. Hati-hati ya. Syaitan yang terkutuk dimana-mana." Nada Ustadzah Dila berubah serius. Ia melanjutkan kalimatnya seakan tahu isi pikiranku.

"Iiih. Ustadzah kayak nggak pernah muda aja." Ejekku. Tiba-tiba aku tak suka jika terlalu serius seperti ini.

"Apa siiih. Ngak pernah muda berarti kamu bilang ustadzah udah tua? Kan ustadzah masih muda. Ustadzah belum nikah lo. Sama aja sama kamu. Masak cantik gini kamu bilang tua." Gaya alay nya muncul.

"Jangan-jangan ustadzah suka ya sama Rizki? Secara dia kan ganteng." Goda ku.

"Eeh. Jangan gitu Ani. Dia itu kan brondong-nya Ustadzah Yuni. Ups.." Ustadzah Dila refleks menutup mulutnya dengan tangan. Dia keceplosan.

Darah Dan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang