MAYA SADAR

104 47 13
                                    

Maya tergeletak di lantai. Aku menikam perutnya. Gema-gema kemenanganku menari-nari di udara.

Aku keluar dari asrama dengan hati-hati. Memastikan tak ada orang yang melihatku. Aku menuju ke belakang asrama. Aku melempar pisau yang berlumuran darah Maya ke sebuah kolam berair keruh di belakang asrama.

Setelah merasa aman, aku kembali ke kamar mandi dan mengepel kamar mandi tersebut.

***

"Dimana-mana kasus pembunuhan ya. Aku dengar di koran kemarin seorang gadis lo. Seumuran kita. Masih 17 tahun. Berani membunuh orang dewasa. Namanya Ani. Sama kayak namamu Ani. Jangan-jangan pembunuh itu kamu" Siti berbicara asal. Kemudian ia tertawa.

Aku menatapnya tajam. Ia selalu takut pada tatapan itu.

"Bercanda kok" Kata Siti.

'Emang bener. Terus kenapa?' Aku bergumam dalam hati. Andai Siti tau kalau memang sahabatnya inilah pembunuh yang dimaksud dalam koran yang dibacanya.

"Kenapa dia tega ya? Apa dia pikir kalau membunuh orang tanpa suatu alasan yang haqq,dia bakal tentram? Apalagi jadi buronan. Pasti dia selalu cemas sekarang ya." Timpal Mila. Aku merasa tidak nyaman dengan ucapan Mila barusan.

"Jangan suuzon kalian. Siapa tau dia membunuh karena alasan tertentu." Kataku.

"Apapun alasannya, aku tidak mau berteman dengan seorang pembunuh." Ujar Siti lugu.

Aku terkejut mendengarnya.

"Sekarang Siti sudah pandai memilih-milih teman ya. Kami mau berteman denganmu saja sudah syukur." Untung saja Mila segera menimpali agar aku tak kelihatan kaku.

Aku memaksakan diri paling dulu tertawa. Agar tak terlihat kaku.

"Eh, eh. Tapi aku yakin Maya memang sengaja ditikam seseorang." Kata Mila.

Aku terdiam. Pembahasan kali ini membuatku konflik batin rasanya.

Berita Maya memang sudah menjalar ke seluruh pesantren.

Sore itu Ustadzah Yuni hendak memanggil adiknya itu untuk ikut berolahraga. Ustadzah Yuni bermaksud akan menggantikan tugas Maya memasak nasi saat itu. Saat itulah Ustadzah Yuni melihat tubuh adiknya terkapar tak berdaya di lantai dapur asrama. Ia segera membawa Maya ke rumah sakit.

Maya adalah trending topik pembicaraan. Aku pun seksama mendengarkan saat santri-santri berkumpul di meja makan saat berbuka puasa kemarin. Lagi-lagi agar tak ada yang mencurigaiku. Malahan akulah yang antusias bertanya ini itu. Sengaja aku lakukan begitu.

"Iya sih. Tidak mungkin kecelakaan. Tapi tak apa. Aku akan berdoa agar Maya bisa melewati masa kritisnya. Jadinya mudah kan mengetahui jati diri biadab itu." Ujar Siti.

Aku melakukan kesalahan kemarin. Aku tidak memastikan bahwa Maya telah meninggal. Ternyata ia masih hidup. Kalau tau demikian, sudah ku tikam jantungnya kemarin.

Kini aku harus waspada. Kemungkinan fifty fifty. Maya hidup dan aku dihukum mati. Atau Maya mati dan aku bebas. Tentu aku mengharapkan kemungkinan kedua.

***

Hari ini hari ke 10 sejak aku menikam Maya. Polisi senantiasa memeriksa seluruh pesantren. Aku tidak bodoh. Aku sudah memiliki pengalaman sebelumnya. Kali ini jilbab yang aku gunakan untuk melapisi tanganku telah aku bakar. Aku kembali ke kamarku dan membakar jilbabku tepatnya saat aku berada di kamar mandi di samping kamarku. Barang bukti lenyap.

Malam ini penghuni asrama lantai atas akan membesuk Maya. Karena pembina kami adalah kakak kandung Maya, alias Ustadzah Yuni si suara cempreng, kami dapat giliran pertama membesuk Maya.

***

Derap langkah sepatu kami terdengar di langit-langit lorong rumah sakit.
Aku berusaha santai meskipun aku cemas. Kalau-kalau saja Maya membongkar semuanya di depan teman-teman dan Ustadzah Yuni.

"Hei, Ni. Aku nggak sabar lihat keadaan Maya. Aku penasaran banget sama pembunuhnya." Ujar Siti.

Aku diam tak menanggapi.

Saat masuk ke ruangannya, aku berusaha berdiri paling belakang. Membiarkan Siti dan Mila menutupiku.

"Ani, sini! Ngapain di belakang sendirian?" Kata Siti.

"Diam Siti! Maya sedang sakit. Kalau nanti dia meninggal karena suaramu, berarti kamulah pembunuhnya." Bisik Mila pada Siti.

Mataku tertuju pada Ustadzah Yuni. Ada kesedihan yang mendalam pada dirinya.

"Maya masih lemah. Belum bisa ditanyai." Mata Ustadzah Yuni masih merah. Bekas tangisnya yang entah berapa lama tak berhenti.

'Syukurlah.' Aku bergumam dalam hati. Bisa-bisa aku sujud syukur saat itu. Hanya keadaan saja yang tidak memungkinkan.

Mata Maya tiba-tiba terbuka. Ia sadar. Namum jari-jari tangannya bergerak. Seperti hendak menulis sesuatu.

Ustadzah Yuni lantas segera memberikan pena dan menyandarkan kertas itu ke telapak tangannya agar mudah ditulis. Sekali dua kali Ustadzah Yuni menguatkan pegangan pena Maya.

Maya menulis sesuatu.

Sesuatu tentang aku.

***

Apa yang ditulis Maya??
Mohon sabar ya readers... Ada kejutan buat kalian tentang Ani dan Rizki nanti.
Jangan lupa tap to give me a star... 😊😊

Darah Dan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang