PAMAN HADI ( PAMAN NYA ANI )
Rentetan-rentetan kejadian itu berlalu lalang di pikiranku saat itu. Bagai mengulang tayangan televisi. Bagaimana kalau mereka menemukanku? Aku bisa saja dihukum mati.
"Nak, kamu masih disitu?" Suara paman membuyarkan lamunan kecemasanku.
"Eh, iya. Masih Paman." Jawabku.
"Paman bilang ke mereka kalau kamu kabur dari rumah sebulan yang lalu." Kata paman.
"Lalu gimana Paman?"
"Itu alasan Paman pada polisi itu. Setidaknya mereka tidak akan banyak-banyak menanyai ini itu pada Paman. Mereka akan mengincarmu. Jaga sikapmu disana ya. Jangan buat orang lain curiga."
Aku diam saja. Dada ku tiba-tiba terasa nyeri.
"B..b..baik Paman." Suaraku serak karena menahan sakit.
"Kamu baik-baik saja kan?" Tanya paman.
Aku menghembuskan nafas. Berusaha menahan sakit.
"Baik kok Paman."
"Satu lagi pesan Paman untukmu. Kamu tidak boleh menemui Paman. Polisi pasti menata-matai Paman. Jangan kembali ke rumah Paman. Paman akan pindah ke suatu tempat yang belum pasti. Paman akan berusaha juga menghindari polisi itu." Ujar paman.
"Lalu, bagaimana jika waktu libur tiba nanti Paman? Seluruh santri kan pulang ke rumah masing-masing. Ani tidak bisa terus di asrama. Justru itu yang akan membuat curiga orang-orang, Paman." Aku menangis. Tak rela keluargaku satu-satunya itu akan meninggalkanku seperti ayah dan ibuku.
Tut.. tut.. tut..
Telepon terputus.
***
Di ayunan yang terdapat di bawah pohon rambutan aku menangis. Mengeluarkan seluruh bentuk lara ku. Cuaca panas tak ku hiraukan. Seluruh masa depanku entah berantah.
Jika kalian masih punya orang tua, bersyukurlah. Karena disini aku sendiri. Jika kalian masih punya sanak saudara, bersyukurlah karena disini aku sendiri. Setelah aku tamat di pesantren ini, kemana lagi aku harus pergi?
"Ani. Kamu menangis?" Mila dan Siti tiba-tiba sudah berada di belakangku.
"Apa yang sudah terjadi padamu, Ni? Siapa yang nenelfonmu tadi?" Ujar Siti.
Aku berfikir cepat. Mencari celah agar mereka tak tahu bahwa sekarang sahabatnya adalah seorang buronan polisi.
Aku menangis tersedu-sedu.
"Pamanku bangkrut dan rumahnya disita bank." Aku menjawab sekena nya.
"Yang sabar ya Ni." Ujar Siti.
"Sekarang paman ku jadi gelandangan. Ia tak mampu lagi jadi wali ku. Ia tak bisa merawatku lagi. Setelah ini, entah kemana aku akan pergi. Rumah kedua orang tuaku sudah dijual untuk biaya hidup ku. Tak ada lagi yang tersisa. Aku sendirian." Tangisku menjadi-jadi.
"Masih ada kami, Ani. Aku dan Siti adalah keluargamu." Mila berkata dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kamu bisa tinggal sama aku. Orang tua ku baik kok. Jangan khawatir." Lanjut Mila.
"Benarkah? Kalau libur aku boleh ke rumahmu?" Tanyaku. Tangisku mereda.
Mila mengangguk mantap.
"Siti juga bakal bantuin kamu kok. Nanti kalau kamu butuh uang, pasti Siti usahain." Siti menepuk pundakku. Menyabarkanku.
"Tapi aku tetap sebatang kara. Aku nggak punya keluarga lagi." Ujarku.
"Kami bakal bantu kamu Ani. Kamu punya aku dan Siti disini." Mila menenangkanku.
Siti memelukku. Diikuti Mila. Mereka seakan tahu dan ikut merasakan kesedihanku.
Tangisan kesedihanku bercampur dengan tangis haru. Setelah aku kehilangan kedua orang tuaku, aku masih memiliki paman. Setelah aku kehilangan paman, aku masih memiliki sahabat. Sahabat yang tidak tanggung-tanggung berusaha menyelamatkanku dari jurang kesedihan. Memang mereka yang tinggal.
Aku tak tahu harus bagaimana. Harus tinggal dimana setelah ini. Untung saja ada Siti dan Mila. Setidaknya suatu saat mereka bisa ku manfaatkan. Itu jalan satu-satunya yang tersisa.
***
Oh my god. Beruntung nya Ani....
Setidaknya udah ada yang jamin dia.
Jangan lupa tekan bintang ya readers...
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Dan Hidayah
General FictionAni. Seorang gadis pintar dan senantiasa rajin beribadah. Namun, setelah kedua orang tua nya meninggal, dendam kusumat telah mendorongnya membunuh orang dalam usianya yang masih 17 tahun. Kasus itulah yang membuat Ani terjebak dan terpaksa harus ti...