BELAJAR

79 39 5
                                    

Aku tak tahu harus berbuat apa.
Mau tak mau aku menolongnya, membantu nya meraih permen. Sungguh ini membuatku heran. Di satu sisi aku kasihan melihat kondisi Rizki. Di sisi lain aku geli melihat tingkah konyol nya.

Aku mengambil permen itu dari lantai dan menyodorkannya ke tangan Rizki.

Rizki mengambil permen itu dari tanganku. Membuka bungkusnya dengan tangan gemetar dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya.

Aku terdiam memperhatikan Rizki. Harus ku akui aku cemas saat itu. Sikap nya benar-benar aneh.

"Rizki. Kamu kenapa sih?" Aku mulai bertanya.

Rizki masih diam. Memejamkan matanya.

Aku memandang wajah Rizki terus menerus.

'Kenapa dia malah merem sekarang ya? Jangan-jangan dia tidur habis dikasih permen. Dia ini beneran udah SMA atau masih bayi sih?' Aku bertanya pada diriku sendiri.

Saat aku sedang fokus memperhatikan kedua mata Rizki yang terpejam, tiba-tiba matanya terbuka. Bahkan terbelalak.

"WAAAAAAA......" Aku kaget sampai terjatuh ke lantai.

Rizki akhirnya bisa duduk.

"Maaf tadi sudah menarik jilbabmu." Rizki berkata sambil menatap mataku.

"Hm" Aku menghindarkan pandanganku darinya.

Rizki berdiri dari duduknya dan berjalan keluar perpustakaan. Tak menghiraukan ku. Bahkan berterima kasih pun tidak.

"Heh, mau kemana?" Tanyaku sembari berusaha berdiri.

"Katanya nggak mau belajar sama saya." Rizki terus berjalan.

Aku merasa kesal sekali. Setelah aku menolongnya, ini balasan nya? Dia malah sok jual mahal sekarang.

"Ok. Kalau nggak mau bantu aku belajar. Aku belajar sendiri juga bisa kok."

Aku yakin Rizki tak kan tega meninggalkanku sendirian di perpustakaan. Tapi ternyata aku salah. Ia sudah menghilang di daun pintu. Tak ku sangka Rizki benar-benar meninggalkanku.

Aku melangkah sebal. Berusaha mencari kamus bahasa arab.

"Ani!" Suara berat mengagetkanku.

Aku menoleh ke belakang. Siapa lagi kalau bukan si kacamata nyebelin, Rizki. Aku tersenyum dalam hati. Ternyata ia tak meninggalkanku.

"Belajar sama saya besok di jam olahraga. Saya akan urus izin ke guru olahraga asrama putri."

Aku diam tak menjawab apapun. Aku kembali berjalan mencari kamus bahasa arab. Aku akan membuat Rizki sebal. Hitung-hitung membalas perbuatannya yang super menyebalkan itu padaku. Tapi, sepertinya aku salah lagi. Aku tak merasakan ia mengikuti langkahku.

"Saya dengar perpustakaan ini angker.. iiii... kok saya merinding yaa.. keluar dulu ah" Rizki malahan pergi keluar perpustakaan.

Dia berhasil membuatku takut. Tentu saja aku takut. Ini sudah sore dan hanya ada aku dan Rizki di perpustakaan ini.

"Rizkiiii.... TUNGGUUUUUU......"

***

"Gimana sih kamu. Susah banget ngajarinnya." Rizki menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Terus gimana dong? Ajarin sekali lagi dong." Aku memasang muka memelasku pada Rizki.

"Ini tu huruf istifham. Duuh... kok susah banget sih." Rizki mengacak rambutnya frustasi.

"Gimana bedain nya sih?"

"Gini deh. Kamu nalar aja arti nya, kira kira huruf ما disitu artinya apa? Dia disitu sebagai apa? Kalau maknanya kata tanya 'apa' berarti ما itu istifham."

Rizki terus menjelaskan padaku. Dia mencoret papan tulis. Diam-diam aku memandangi punggung Rizki dari meja ku. Kami sedang belajar di mushalla. Tanpa sadar aku mengagumi Rizki.

"Udah paham?" Rizki menoleh ke belakang dan menatap ku heran.

"Kamu senyum sendiri? Kamu masih aman kan?"

"Eh. Iya. Paham kok."

Aku merasakan pipiku memerah sekarang. Entah hal bodoh apa yang terjadi barusan. Kenapa aku memandangi punggung Rizki begitu?

"Ya udah sekarang saya kasih contoh, coba bedain mana ما maushul dan mana ما istifham."

Aku mengangguk sambil menundukkan kepalaku.

Saat Rizki sedang menulis kalimat-kalimat bahasa arab di papan tulis, aku teringat kejadian di perpustakaan kemarin. Saat Rizki tiduran di lantai dan meminta permen.

"Rizki!" Entah apa pula yang membuat ku langsung memanggil Rizki.

"Apa? Tulisan saya bisa dibaca kan?"

"Anuu... ituu... hmm..."

Rizki memandangku dengan tatapan heran. Mungkin di dalam fikirannya aku hanya membuang-buang waktu saja.

Rizki tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia kembali menulis.

"Rizki!!!!"

"Ya?" Kali ini Rizki tidak menoleh ke belakang.

"Hmm.. Kamu suka banget sama permen?"

Rizki berhenti menulis. Ia berdiri di depan mejaku.

"Saya sakit. Mengerti?"

Tentu saja aku tidak mengerti. Kenapa sakitnya seperti itu? Tiduran di lantai dengan wajah pucat dan minta permen.

Aku menatap wajah Rizki. Melongo terhadap perkataannya yang tidak ku pahami.

"Astaghfirullah. Jangan tatap begitu." Rizki mengalihkan pandangan dariku.

Aku salah tingkah. Merasa bersalah dan malu karena berani menatap lawan jenis seperti itu.

"Ups. Maaf"

"Belajarnya kita sambung besok."

***

Ciee... Rizki malu yaaa ditatap Ani...
Kira-kira Rizki kenapa ya?
Sakit kok minta permen?

Keep reading...
Jangan lupa kasih bintang nya yaaa...

Darah Dan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang