KABAR BURUK

57 26 5
                                    

Ayam berkokok. Semburat jingga mentari terlihat malu-malu tampakkan dirinya. Sepertinya hari ini cerah. Hari ini hari minggu. Ini kesempatan bagi penghuni asrama untuk free time. Asrama menjadi sepi. Sebagian besar memilih pulang ke rumah masing-masing pada sabtu sore. Termasuk Mila dan Siti. Awalnya mereka sudah menawariku untuk ikut pulang bersama mereka. Namun, rasanya aku masih sungkan untuk bertemu orang. Belum lagi aku yang saat ini masih buronan.

Aku sendirian di kamar. Walau aku tahu setidaknya masih ada sepuluh atau 15 santri yang juga tidak pulang ke rumah. Yaaa itulah mereka yang sekolah merantau jauh kesini. Mereka hanya pulang saat libur panjang.

Aku sudah merasa bosan. Aku pun berjalan keluar untuk menemui Ustadzah Dila. Ingin bercerita sambil menghafal-hafal teks pidato berbahasa arab.

"Assalamu'alaikum Ustadzah"

"Wa'alaikumsalam. Eh kebetulan. Nih baru aja ada orang yang nelfon kamu." Ucap Ustadzah Dila.

'Hah? Siapa? jangan-jangan Rizki nelfon dari asrama putra buat nanya persiapan ku.'

"Siapa, Ustadzah? Kok tumben?" Tanyaku.

"Kayaknya penting deh. Angkat aja dulu, Ni." Ujar Ustadzah Dila.

Ustadzah Dila menyodorkan gagang telfon kepadaku.

Aku pun meraih telfon berkabel itu.

"Assala. . . . ."

"Ani, jangan kemana2 ya. Ini genting loh. Kamu bisa ditangkap. Jangan kemana-mana. Paham kan?"

"Eh, paman?" Ternyata paman yang menelfon.

"Kamu denger kan? Tolong jaga diri. Jaga paman juga. Jangan bilang apa-apa tentang paman. Pokoknya bilang aja kalau kamu anaknya Dani dan Farah. Nggak usah lebih dari itu. Siapa pun yang nanya kamu. Termasuk pihak sekolah."

"Hah? Bukannya waktu daftar kesini juga aku diantar paman? Berarti wali aku jadi nama paman dong?" Aku bingung dengan perkataan paman.

"Paman daftarin kamu dengan wali masih nama ayahmu. Maafkan paman. Ini yang terbaik Ani. Kamu harus bersyukur karena sekarang kamu masih bertahan dan belum berada di jeruji besi." Jawab paman.

Deg!

Jantungku terasa sesak begitu mendengar jeruji besi, tempat dimana seorang pembunuh sepertiku seharusnya berada.

"Ani?" Panggil Paman.

"I-iya paman." Jawabku terbata.

"Kamu yakin nggak ada yang tahu pembicaraan kita ini kan?"

Aku menoleh ke Ustadzah Dila. Dia tampak sedang asik dengan sebuah novel ditangannya.

"Kayaknya aman kok paman." Jawabku.

"Kenapa kayaknya? Harus pasti dong." Nada bicara paman meninggi.

Baru kali ini aku dengar paman membentakku.

"Maaf paman."

"Eh, bukan begitu. Maaf Ani. Ini demi kamu. Paman dengar pemeriksaan akan sampai ke sekolah-sekolah. Walaupun sekolah kamu jauh dari rumah yang dulu, kamu tetap harus hati-hati."

Deg!

Kali ini lebih sesak dari yang tadi. Aku benar-benar cemas dan takut sekarang.

Aku harus ngadu sama siapa?

Orang tua? Mereka udah tenang di surga.

Teman-teman? Mereka bahkan nggak tahu aku yang bunuh Maya.

Ustadzah Dila? Nggak bisa, entar malah keçeplosan ke santri atau Ustadzah Lain.

Paman? Bahkan paman udah menghindar dariku.

Darah Dan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang