Aku kembali menghafal. Sekarang adalah jam tahfidz asrama putri. Sejujurnya, di pesantren ini aku sangat sulit menghafal. Bahkan aku lupa dengan hafalan surah al-humazah. Padahal sejak TK pun aku sudah hafal.
'Ani. Ibu yakin kamu pasti bisa. Ingat surah Al-A'la ayat ke 6? Ibu berkali-kali bilang ke Ani lo.'
Terngiang-ngiang olehku suara ibu saat menemaniku menghafal al-quran. Ibu selalu memotivasiku dengan Q.S Al-A'la ayat 6. Aku tidak akan bilang apa ayatnya. Silahkan readers cari tau sendiri.
'Akan kami bacakan kepadamu (Al-quran), maka kamu tidak akan lupa. Kecuali dengan izin Allah'
Terngiang lagi olehku suara ibu yang membacakan terjemahan ayat tersebut. Tentu saja aku semakin semangat menghafal. Dengan tekad yang kuat aku yakin bahwa jika aku sudah menghafal ayat al-quran, aku tidak akan mudah melupakannya. Kecuali dengan izin Allah.
Ya, mungkin Allah tidak mengizinkan hafalan qur'an tetap melekat di hati seorang pembunuh.
Sudah berkali-kali aku ingatkan, jangan remehkan aku. Walau aku seorang pembunuh, aku sudah hafal seluruh juz 30 saat aku masih kelas 3 SD. Bahkan aku sering mengikuti perlombaan tahfidz walau tak semuanya yang aku menangi. Tapi sejak kematian kedua orang tuaku, membaca al-quran saja tidak lagi. Apalagi menghafalnya. Padahal saat itu aku sudah hampir tamat menghafal juz 29. Hampir 2 juz yang aku hafal. Tapi sekarang entah kemana pergi nya hafalan itu. Mungkin hafalan itu tidak sudi lagi menetap di otak seorang pembunuh sepertiku.
Air mata jatuh ke tanganku yang sedang memegang al-quran. Aku tidak sadar kalau aku menangis.
Aku menggigit jilbabku sendiri. Menjerit dalam hati.
***
"Ani. Kamu nggak nyetor ya?"
"Nggak"
"Udah 2 minggu lo kamu nggak nyetor hafalan qur'an." Mila kembali mengingatkanku.
"Stop Mila! Aku lagi nggak bisa ngafal."
"Kenapa? Karena Rizki?"
Deg!
Kenapa Mila berfikiran seperti itu."Maaf Ani. Tapi kamu dan Rizki itu sebenarnya belajar cuma berdua ya di mushalla? Maaf. Aku cuma nanya."
Suasana mendadak hening. Aku tak menjawab pertanyaan Mila. Memang kami hanya berdua di dalam mushalla.
"Maaf Ani!" Mila beranjak keluar dari kamar.
Aku menggenggam lengan Mila. Menahannya agar tak keluar dari kamar.
"Ok. Besok temani aku belajar ya?"
Mila tersenyum padaku. Memelukku.
"Maaf kalau kamu tersinggung. . Maaf ya Ani."
Tiba-tiba dadaku mendadak sakit. Ngilu sekali rasanya. Pandanganku memburam hingga semuanya gelap.
Aku pingsan.
***
Bau durian menusuk indra penciumanku. Siti adalah orang pertama yang aku lihat.
"Haaa berhasil juga cara Siti si calon dokter." Siti menepuk dada dengan bangga
Aku berusaha duduk. Kepalaku masih pusing. Berusaha menghindarkan kepalaku dari sepiring durian yang dipegang Siti. Aku sontak menutup hidungku.
"Siti! Jauhin!" Aku menatap Siti tajam. Siti tahu bahwa aku tidak suka aroma durian.
"Habisnya Ani lama banget sadar nya. Tau nggak? Ini aku bela-belain ngorek tabungan buat beli durian ini lo." Siti menatapku takut.
"Emangnya disini ada yang jualan durian?"
Aku bingung karena di sekitar pesantren memang tidak ada yang menanam dan menjual durian. Apakah Siti rela-rela minta izin buat cari durian ke pasar? Padahal meminta izin keluar asrama bukanlah perkara mudah. Apalagi sejak Ustadzah Yuni libur. Pembina kami digantikan untuk sementara. Untuk urusan perizinan keluar asrama, kami harus langsung berurusan dengan Ustadz Arif.
"Nggak sih. Tapi tadi aku minta tolong sama Rizki buat nyari durian ini. Sebenernya susah juga. Awalnya dia nggak mau. Tapi setelah aku bilang ini buat Ani, langsung deh durian nya nongol."
Aku mengerinyitkan dahi ku.
"Minum dulu, Ni." Mila datang menyodorkan segelas air putih hangat padaku.
"O iya. Semalaman kamu nggak sadar lo Ni. Tadi Rizki nanyain kondisi kamu. Tapi karena kamu belum sadar, ya nggak jadi belajarnya." Ujar Mila.
"Iya Ni. Bahkan bidan udah datang lo. Tapi katanya kamu butuh istirahat. Makanya kami biarin kamu istirahat. Eh, taunya lama banget kamu sadarnya. Ya udah. Aku pakai durian aja. Ternyata berhasil." Siti tersenyum bangga.
Kruuukk... kruuukk...
"Maaf. Aku laper." Aku memasang senyum seringai pada Siti dan Mila. Pusing di kepala ku sudah hilang.
"Ya iyalah laper. Semalaman pingsan nggak makan-makan." Ujar Mila.
"Yaaah.... Kan jam makan siang udah lewat. Mana ada nasi sekarang. Lauk nya pasti juga udah habis." Kata Siti.
"Kalian nggak olahraga?" Tanyaku pada Siti dan Mila.
"Sebenernya kami pengen ikutan olahraga, Ni. Sekarang ada pertandingan takraw asrama putra dan pertandingan volley asrama putri. Tapi karena kondisi kamu kayak gini, kami harus jagain kamu." Raut wajah Mila berubah.
Mila sangat hobi bermain volley. Dia adalah santri yang lihai dalam bermain volley. Aku sudah bisa menebak kalau dia pasti diperebutkan santri-santri lain agar bisa satu tim dengannya.
"Udah. Main aja sana. Gimana bisa mereka menang kalai atlet nya ada disini?" Aku meyakinkan Mila.
"Aku nggak pa pa kok." Kataku lagi.
Siti dan Mila hanya menunduk diam.
"Siti! Cepat ke lapangan. Ajak Mila sekalian.Aku mau tidur. Nggak mau di ganggu." Kataku sambil memasang tatapan tajamku pada nya.
Siti pun menarik lengan Mila keluar dari kamar asrama.
"Hati-hati Ani. Kami ke lapangan dulu ya."
***
Bohong saja kalau aku bisa memejamkan mataku. Perutku benar-benar lapar sekarang.
Aku mengendap-endap keluar kamar. Menuju dapur umum di lantai bawah.Aku mengecek keadaan. Aman. Tak ada orang disana. Aku masuk ke dapur. Membuka sebuah periuk besar penanak nasi.
Kosong!
Tak ada nasi.
Aku memegang perutku sambil terus berjalan keluar dari dapur.
Aha!
Aku dapat ide.
***
Aku mengendap-endap berjalan ke dinding pembatas asrama. Aku berencana memanjat dinding dan makan ke rumah makan terdekat.
Bermodalkan tekad dan nekat, aku memanjat dinding pembatas. Tentu tidak mudah memanjatnya. Aku mengambil kursi di depan asrama dan memanjat memakai kursi itu.
Aku berhasil memanjat dinding pembatas itu. Sekarang tinggal meloncat ke bawah. Jaraknya cukup tinggi. Aku ragu beberala kali.
"Ya Allah. Semoga Ani berhasil. Jangan sampai kaki Ani patah Ya Allah. Demi perut. Harus bisa!"
Hop!
Aku meloncat. Kakiku sedikit terkilir.
Aku hanya bisa menggigit bibir menahan sakit di kaki ku. Tapi setidaknya aku lega karena berhasil keluar dari wilayah pesantren. Aku berusaha berdiri."Alhamdulillah masih bisa berdiri. Makanaaan i'm coming........"
Saat aku menoleh ke samping, seseorang di radius 50 meter mengejutkanku.
***
Waaah... siapa ya??
Klik bintang ya readers...
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Dan Hidayah
General FictionAni. Seorang gadis pintar dan senantiasa rajin beribadah. Namun, setelah kedua orang tua nya meninggal, dendam kusumat telah mendorongnya membunuh orang dalam usianya yang masih 17 tahun. Kasus itulah yang membuat Ani terjebak dan terpaksa harus ti...