(S2) BAB 15

10.5K 1K 224
                                        

Akting mereka berhasil. Mereka tetap terlihat romantis di depan Ummi meski tanpa pegang-pegangan. Cukup dengan Iqbal yang kerap melontarkan kalimat-kalimat romantis, Ummi tidak menaruh rasa curiga sedikit pun pada keduanya. Sedangkan Siska, perempuan itu hanya bisa menertawakan mereka.

Ini sudah seminggu Ummi tinggal di sana, usia kandungan Nayla pun telah jalan hampir sebulan. Wanita itu mulai menunjukkan masa-masa ngidam hamil mudanya. Iqbal dan Nayla memang tidur di satu kamar yang sama, tetapi tentu saja pisah ranjang.

Iqbal memilih sofa dan membiarkan Nayla yang menghuni ranjang sendirian.

Hal itu tak urungnya membuat Iqbal tersiksa. Dia ingin memanjakan Sang istri, memelukinya hampir setiap saat seperti dulu saat Nayla tengah hamil Mufia. Tidak seperti sekarang. Pertama kalinya dalam hidup, Iqbal merasakan neraka duniawinya yang mana dirinya harus menahan nafsu.

Seperti saat ini, ketika Nayla berlari ke kamar mandi, Iqbal hanya mampu untuk mengekorinya saja dan memperhatikan Nayla yang tengah memuntahkan isi perutnya. Sedangkan Iqbal hanya berdiam di depan pintu menahan pilu karena tak bisa memberi kekuatan meski cuma sekadar pijatan ringan di tengkuk.

Bahkan Nayla tidak pernah sekali pun membuka hijabnya. Hal itu semakin membuat Iqbal tertekan. Ia rindu... ia ingin mengusapi surai indah wanita itu. Ia juga ingin berbincang dengan janin di dalam rahim Nayla. Iqbal mau mengelus-elus lembut perut wanita itu yang kelak pastinya akan membuncit. Melihat Nayla sudah selesai mengalami morning sickness, Iqbal bertanya khawatir, “Sudah mendingan? Butuh sesuatu? Biar saya ambilkan. Kamu mau air putih hangat atau---”

Aku butuh kepastian kamu, Nayla membatin. Pasalnya, sampai saat ini, Iqbal belum memberikan jawaban apakah lelaki itu memilih dirinya atau justru Sheenia? Sungguh, Nayla takut masa iddahnya ini akan habis. Apa Iqbal masih ragu untuk memilih?

“Tidak usah, Mas,” potong Nayla sambil tersenyum. Penolakan Nayla kepadanya menikam hati Iqbal. Jika dulu ketika lagi hamil Mufia Nayla selalu bergantung padanya, kini tidak lagi. Bahkan Nayla benar-benar telah menciptakan dinding pembatas di antara mereka.

Menyesakkan. Namun Iqbal tidak boleh berduka terlalu lama. Semua yang terjadi ini merupakan takdir yang sudah tertulis di lauhul mahfudz. Dan Iqbal harus ikhlas menjalaninya meski rumit.

“Oh oke,” kata Iqbal segera berlalu pergi dengan kekecewaan. Iqbal menarik napas dalam-dalam sembari kembali berjalan menuju sofa untuk menyelesaikan pekerjaan kantornya.
Berkas-berkas juga laptop memenuhi meja. Meski begitu, fokus Iqbal tidak bisa lepas dari Nayla. Meski jemarinya sibuk mengetik dengan mata tertuju yang ke berkas, pikirannya melalang buana pada Nayla. Sadar dirinya tak bisa menyelesaikan tugas pekerjaan dalam kondisi seperti ini, Iqbal pun membereskannya dan menaruh benda-benda pentingnya ke dalam tas laptop. Lalu menyimpannya ke dalam lemari. Iqbal menoleh pada Nayla yang kini tampak sibuk menggantikan popok Mufia. Iqbal berdeham mencairkan suasana. Ia berjalan menghampiri keranjang bayi.

“Saya mau keluar, kamu mau titip apa?” tanya Iqbal setibanya di sana.

Tanpa mengalihkan pandang, Nayla merespon, “Gak ada, Mas.”

Dingin. Sikap Nayla memang berubah dalam hitungan minggu. Perempuan itu bahkan tak bisa Iqbal kenali lagi.

Iqbal mengangguk pasrah. “Ya sudah. Saya pergi dulu, Assalamu'alaikum.”

“Wa’alakumussalam.”

Nayla berbohong atas apa yang ia katakan. Nyatanya, wanita itu lagi ngidam makan soto ayam. Tetapi dia jelas enggan menyusahkan Iqbal.

Love You Till Jannah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang