Lelaki itu keluar seolah menyambutku, menyemburkan seluruh ketakutan yang sebelumnya menghinggapi kepalaku. Kepalaku yang sedari tadi terasa pusing akibat dihajar, seolah-olah tak peduli. Aku melihat Loka ditarik dengan kasar. Mulutnya disumpal oleh kain dan ia berusaha berteriak. Kedua tangannya diikat ke belakang sehingga Loka tak dapat mencakar-cakar lelaki bertopi itu. Lelaki itu mengunci lehernya, tetapi tidak begitu kuat sehingga Loka masih dapat bernapas. Loka meronta-ronta dan aku kebingungan. Sedangkan lelaki itu tetap teguh pada pendiriannya—tanpa ekspresi.
Dalam yang yang cepat, aku yakin berulang kali kuucapkan 'hentikan semua itu' pada si lelaki bertopi. Namun, alih-alih menimbulkan suara, mulutku terasa kaku, sulit digerakkan. Tebuka pun tak mengeluarkan mampu mengeluarkan sepatah kata. Aku melotot dan dia kembali mengacungkan pistol beserta peredam yang menempel pada moncongnya.
"Bagaimana?" katanya, setengah teriak. Yang pasti nada rendahnya sudah tak ada. Jika standar suara lelaki itu sebelumnya berada pada oktaf pertama, maka ia sudah mencapai empat oktaf untuk saat ini, setara dengan tingginya nada bicaraku.
Aku mematung. Aku berteriak dalam hati, menghardiknya beberapa kali dan menyaksikan berbagai kekejaman yang dapat kulakukan padanya di dalam otakku. Namun, kenyataannya tidak seperti itu.
Aku bingung. Dia mengambil kendali. Apa yang harus kulakukan?
Aku bisa berharap keajaiban datang, seseorang dengan anehnya tiba-tiba muncul dari balik jendela, menerjang lelaki itu dan berhasil menyelamatkan Loka. Itu yang biasanya terjadi dalam sebuah film. Namun, keadaan berbeda. Jika sebuah film mengisahkan perkelahian antara protagonis dan antagonis, maka aku adalah seseorang yang tinggal di samping rumah mereka. Tak ada yang menyorotku, tak ada yang tahu bahwa aku sedang kesulitan dan mereka tidak peduli.
Bulir keringat mulai memenuhi pelipisku, tetapi tak dapat kuseka biarpun keadaannya membuatku tak nyaman. Aku hanya bisa bernapas secara berat.
Si lelaki bertopi itu tampak runyam.
"Aku akan memberimu tiga kesempatan." Pada akhirnya lelaki bertopi itu melanjutkan keadaannya, melihatku yang tak akan bereaksi. "Diam lebih dari sepuluh detik atau mengucapkan hal yang tak ingin kudengar akan melukai anak ini. Pelanggaran ketiga, kau tahu sendiri, kan?"
Sama seperti sebelumnya, aku tak menjawab apapun.
Namun, segera setelah sepuluh detik berlalu, pemandangan yang tak kuinginkan terjadi.
Lelaki itu mendorong Loka dengan kasar, membuatnya tersungkur dan jatuh ke bawah. Aku tak dapat menyaksikannya dengan jelas, tetapi pembatas jalan dengan lubang-lubang tertentu akibat kayu-kayu yang sengaja tak diberdirikan rapat membuatku dapat melihatnya secara samar-samar.
Lelaki itu menembakkan pistolnya, hampir tak bersuara karena peredam yang menempel. Bahkan, teriakan Loka yang tersumpal oleh kain tampaknya lebih keras dari suara pistol itu. Loka menggeram, bagaikan lagu kematian untukku.
Aku tak percaya lelaki itu benar-benar melakukannya.
"Tunggu!" Aku berteriak dengan begitu kencang, hampir memecah masing-masing jendela yang ada di rumahku.
Aku baru sadar, lelaki itu berkata bahwa ia tak ingin mendengar hal yang tak diinginkannya, dan kata tunggu adalah salah satunya. Lelaki itu menembakkan peluru keduanya.
Pikiranku berkelut. Aku ingin mengambil keputusan terbaik, tetapi teriakan Loka melengking di telingaku. Redaman kain tetap tak membuatnya terdengar lebih baik. Aku mendengar Loka menangis dan aku tak tahu ke arah mana lelaki itu menembaknya. Bukan kepala—pasti. Apakah dadanya, perutnya, kakinya, tangannya? Aku tidak tahu. Aku tak dapat memikirkan hal-hal tolol semacam itu. Dia menembaknya, si brengsek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]
Mystery / ThrillerLuka yang diterimanya membuat Roy tak dapat beraktivitas seperti biasanya. Namun, Wijaya--rekan kerjanya--memberitahukan kejanggalan yang terjadi pada sebuah kasus yang diikutinya. Seorang aparat kepolisian ditemukan menjadi mayat. Secarik kertas be...