Sekarang, di balik bayang-bayang malam, kecepatan mobilku menukik tajam hingga dua kali lipat dari biasanya. Kendaraan lain tak banyak berlalu lalang, membuatku secara leluasa dapat menginjak pedal gas tanpa perlu takut mengalami kecelakaan. Di saat yang bersamaan, lelaki bertopi itu tampak lebih gila. Jika aku mampu melajukan kecepatan mobilku hingga 60 kilometer perjam, maka lelaki bertopi itu berjalan dua kali lipat lebih cepat—walaupun mungkin juga kurang. Aku telah kehilangan jejaknya, tetapi tujuan kami tetap sama—rumahku.
Seluruh kejadian ini menunjukan bahwa perang yang tengah terjadi ternyata tidak semudah itu, bukan dua sisi yang berlainan, berusaha bertahan dari serangan-serangan lawan. Kini, aku berperang melawan orang-orangku sendiri—musuh dalam selimut.
Aku sering mendengar permasalahan yang sama, tetapi tentu bukan dalam bentuk nyata, melainkan dalam dunia fiktif. Film-film abad 20, novel yang hampir tak pernah kuselesaikan untuk dibaca, beberapa artikel bodong yang memperlihatkan kebobrokan sistem sehingga orang-orang dengan mudahnya berkhianat tak pernah lepas dari pemikiranku. Sekarang, tidak hanya pemikiranku, semuanya terjadi secara nyata—bahkan hingga memakan korban.
Ketika lingkungan sekitar yang sudah akrab dengan netraku muncul, dapat kulihat mobil yang dikendarai lelaki bertopi itu—mobil Guntur—terparkir dengan cara yang menyebalkan. Badan mobil tampak miring dan seolah-olah sengaja dilakukannya untuk menghalangi jalan. Lampu mobil yang tidak dimatikan menghiasi jalanan gelap dan berusaha mengundang ribuan ngengat untuk menyerangnya. Bagi siapapun yang melihatnya—orang-orang yang tak tahu akar permasalahan mengapa si lelaki bertopi itu sengaja memarkirkan mobilnya seperti itu—tentu akan kesal, bahkan mungkin dapat bertindak lebih jauh: menggoreskan coretan piloks dan memberikan kata-kata yang tak menyenangkan. Namun, tentu tidak dengan diriku. Bahkan, sebaliknya, aku benar-benar merasa dia peduli biarpun aku tak ingin menggantungkan nyawa Loka pada lelaki asing yang bahkan tak kuketahui statusnya saat ini—kawanku atau musuhku.
Kemudian, sejauh mata memandang, aku tak melihat lelaki bertopi itu sama sekali.
Tindakan yang kulakukan lebih mulus dan terurus. Aku tetap mematikan mesin, membuat lampu mobil padam dan menyebabkan malam kembali menjadi gulita. Lalu, walaupun aku keluar dengan terburu-buru, remot kunci mobilku masih sempat kutekan, membuat tanda suara berbunyi satu kali, menandakan mobil telah terkunci sempurna. Namun, mungkin perbedaan yang terjadi itu hanyalah akibat dari kepemilikan. Sebelumnya, aku mengendarai mobilku sendiri, membuatku merasa harus memperlakukannya sebaik mungkin. Sedangkan lelaki itu, toh dia mengendarai mobil orang lain. Mobil itu dicuri pun tak menjadi masalah, kan?
Demi apapun, jantungku berdegup kencang, terlebih ketika kulihat pintu depan rumahku terbuka dengan lebar. Biarpun mataku melotot, tetapi kekacauan dalam pikiranku membuatnya terlihat seperti lorong dalam tak berujung. Gelap dan tak patut untuk dimasuki. Padahal, aku yakin sebelumnya lampu depan telah kunyalakan.
Aku terlambat datang beberapa menit dari si lelaki bertopi itu, beragam kejadian pastilah mungkin terjadi. Aku tak dapat menggambarkan betapa rumitnya cabang-cabang skenario yang muncul dari dalam otakku. Namun, satu hal yang pasti: lelaki bertopi itu ada di sini dan seharusnya dia memegang janjinya. Jika tidak, maka aku benar-benar tak akan menahan diri lagi, membiarkannya berkeliaran dan membahayakan nyawa banyak orang.
Aku masuk ke dalam rumahku sendiri, tetapi benar-benar kurasakan aura yang berbeda. Ini bukanlah rumahku yang nyaman, membuatku merasa aman dari segala bahaya, bukan pula tempat peristirahatan yang selalu kudambakan. Hari ini, aku merasakan sesuatu yang lain—tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku benar-benar gugup, panik dan bergumam tak keruan. Keringat dingin membanjiri pelipisku dengan gertakan gigi akibat satu-satunya kata yang ingin kuteriakkan—Loka. Tetapi, aku tak ingin sebodoh itu dengan menarik perhatian siapapun yang tengah berada di dalam rumahku—selain Loka, tentunya. Padahal, aku sendiri tak tahu apakah ancaman yang diberikan Guntur itu hanya sebuah gertakan atau bukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]
Misterio / SuspensoLuka yang diterimanya membuat Roy tak dapat beraktivitas seperti biasanya. Namun, Wijaya--rekan kerjanya--memberitahukan kejanggalan yang terjadi pada sebuah kasus yang diikutinya. Seorang aparat kepolisian ditemukan menjadi mayat. Secarik kertas be...