9. Dark Necessities

2.7K 420 9
                                    

Mulut lelaki bertopi itu berkilah pelan sambil menjilati bibir-bibirnya. Namun, seluruh kemampuan otakku terpusat pada netraku. Aku tak mendengar dengan jelas akan apa yang diucapkannya. Sebaliknya, mataku terus memperhatikan raga lelaki itu. Apakah penglihatanku tidak salah?

Aku mematung. Bahkan, napasku seolah berhenti. Dalam benakku, aku mulai bertanya-tanya, apakah dia orang yang dicari? Apakah dia setolol itu untuk hadir di depan wajahku dan menyerahkan dirinya? Namun, dia membawa pistol, menodongkannya padaku. Jelas dia ingin mengambil alih keadaannya. Dia tak menyuruhku untuk berbalik kembali, mengangkat tangan dan menggeledahku, tetapi aku tak ingin mengambil resiko dengan bergerak secara tiba-tiba dan membuatnya kembali melukai kakiku—aku baru saja sembuh.

Lengkingan tajam menusuk telingaku. Namun, tentu itu hanyalah imajinasiku. Sebaliknya, rumahku benar-benar sepi. Sekali lagi, dalam otakku kembali berkumpul berbagai skenario yang dapat kulakukan dengan konsekuensi-konsekuensi yang bersesuaian. Tetapi, kakiku tetap tak dapat bergerak.

Kini aku melihat wajahnya dengan jelas. Rahangnya kotak tetapi wajahnya benar-benar bersih berwarna kecokelatan khas laki-laki Indonesia. Topinya berwarna hitam dan baru kusadari terdapat border merah di ujung pangkal lidahnya. Jeans hitamnya tak begitu ketat beserta kaos polo yang dikenakannya. Ia adalah laki-laki biasa jika seandainya ia tak menodongkan pistolnya padaku. Namun, kini ia terlihat seperti monster yang ingin memakan mangsanya.

Akhirnya, fokusku mulai goyah. Kini, seluruh inderaku bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Keterkejutanku mulai sirna biarpun tak sepenuhnya hilang. Aku mulai bisa mendengar dia berkata, "Aku ingin berbicara denganmu."

Nadanya benar-benar rendah, terkesan tak ada suara. Namun, jelas ia tak berbisik karena aku dapat mendengarnya berbicara dari jarak sekitar lima meter.

Aku berusaha menenangkan diriku. Aku tidak boleh panik, tidak boleh membuat kekacauan. Sekalipun aku benar-benar ingin lari, menelepon semua kontak yang ada dalam ponselku dan mengatakan bahwa orang gila ini ada di rumahku, aku tak dapat melakukannya.

Jadi, setelah menarik napas dalam, aku membalas dengan nada yang tak kalah rendahnya.

"Dengan pistol?"

Lelaki itu terkekeh. "Tidak. Tentu saja tidak."

Lelaki itu berjalan mendekat. Pelan, tetapi tanpa keraguan. Kaki-kakinya diangkat tanpa masalah, seolah-olah tubuhnya ringan seperti kapas. Begitu tempatnya berdiri hanya terpaut sekitar satu meter atau kurang dariku, akhirnya ia menurunkan pistol dengan peredam yang masih terpasang. Kini, aku benar-benar bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tak ada ciri khusus yang dapat menggambarkan dirinya sebagai seorang maniak. Sungguh, ia tipe orang yang bisa di mana saja. Jika ia tak mengenakan pakaian serba hitam dan menodongkan pistolnya padaku, mungkin aku sudah mengira ia alumni yang sama dari sekolahku, hanya saja aku tak dapat mengingat namanya.

"Aku hanya tak ingin kau lari dan tak dapat kukejar. Mungkin juga karena aku ingin terlihat sedikit lebih keren." Sekali lagi, pria itu terkekeh. Namun, aku tak memberikan reaksi apapun. Aku tak dapat terlibat dengan candanya.

Sempat terpikirkan dalam benakku untuk segera menyerangnya, mendorong tubuhnya dan membuatnya terjatuh kalau-kalau tak segera kuingat bahwa lelaki ini—setidaknya berdasarkan rekaman—adalah seorang ahli bela diri. Aku tak mengetahui banyak hal mengenai jenis-jenis bela diri. Yang pasti, pria ini dapat mengayunkan lengannya dengan cepat dan tepat.

Dia tak merasa membutuhkan pistol itu karena ia tahu bahwa ia akan menang—apapun yang kulakukan. Aku tak memiliki pilihan lain selain mencari tahu apa yang diingikannya. Tentu dengan berusaha tetap tenang dan tak membuat gerakan sia-sia.

Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang