18. Adagio II

2.3K 391 30
                                    


Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Getarannya bahkan tampak lebih cepat dari pesawat terbang yang mampu menembus kecepatan hingga 800 kilometer perjam. Kemacetan yang terjadi akibat kereta api yang melintas benar-benar membuatku tak tenang. Berulang kali aku mencoba menginjak pedal gas dengan mobil yang menghalau pandanganku di sisi depan—sekitar sepuluh sentimeter sebelum bumper mobilku beradu dengan mobilnya. Untungnya, aku masih bisa menahan diri.

Sebelumnya, aku mencoba menghubungi Loka. Mungkin dia hanya lupa akan pesanku. Namun, Loka benar-benar tak membalas pesanku, baik melalui pesan instan dengan media penyedia, maupun pesan singkat—SMS—yang bahkan tampaknya tak terkirim. Aku mencoba menelepon Loka, tetapi panggilanku tidak diangkat—lebih tepatnya tak tersambung. Suara wanita mengatakan bahwa Loka berada di luar jangkauan.

Awalnya, Wijaya hampir ikut denganku, memastikan bahwa Loka baik-baik saja. Namun, aku tak menginginkannya. Seberapa besar pun keterikatanku dengan WIjaya, Loka tetap tanggung jawabku. Memiliki niat untuk menitipkannya pada Wijaya saja—dengan alasan Loka bisa belajar bersama Riska—bagiku sudah terlalu berlebihan—biarpun sampai sekarang aku belum memintanya. Apalagi jika ia sampai ikut-ikutan mencemaskan keselamatan Loka. Maksudku, Loka bukan siapa-siapa bagi Wijaya—secara tak langsung. Jadi, dengan terpaksa aku memintanya untuk tetap tinggal di kantor, bahkan lebih baik jika Wijaya ikut memeriksa kasus yang Guntur tangani. Seperti yang pernah kukatakan, Wijaya tampak lebih baik dalam urusan menginterogasi tersangka.

Sengaja kuletakan ponsel di atas dashboard, berandai-andai Loka akan menghubungiku dan membuat layar ponsel yang sedang dalam keadaan statis itu menyala, menimbulkan penerangan yang menyilaukan. Namun, semakin lama aku berharap kejadian itu terjadi, semakin besar pula harapanku untuk pupus—tidak mungkin terjadi.

Sebelum pikiran-pikiran tolol merasuki otakku, mengacaukan seluruh syaraf dan memberikan imajinasi mengerikan yang tak kuinginkan, aku mencoba bersenandung kecil di tengah keramaian kota. Hal itu tak membuat perasaanku lebih baik, tetapi setidaknya pikiranku tak bergerak ke mana-mana.

Sebenarnya, sekolah Loka tak begitu jauh jika kuhitung jarak antara kantorku dengan sekolahnya. Namun, jalur-jalur satu arah membuatnya semakin rumit. Aku harus memutar cukup jauh, mengambil persimpangan hingga satu kilometer hanya untuk kembali memasuki jalan raya sebelum dapat kuinjak pedal gas dengan kencang dan melaju menuju sekolah Loka. Dengan kecepatan yang sama, mungkin aku bisa sampai ke sekolah Loka hanya dalam waktu lima belas menit, bahkan kurang dari itu. Tetapi jalanan ini membuatku mengulur waktu hingga setengah jam lebih lama, itu pun dalam keadaan tak macet.

Akhirnya, dengan seluruh tekadku, aku sampai di depan gedung tua bercat putih dengan lapangan parkir yang hampir kosong. Balok berwarna keemasan sengaja ditempelkan di depan gerbang utama, menandakan kejayaan sekolah ini, tetapi aku tak memiliki waktu untuk memperhatikannya dan mengagumi keindahannya.

Gerbang sekolah telah ditutup, membuatku terpaksa memarkirkan mobil tepat di depannya. Untungnya, bagian yang ada dibuat sedikit menjorok ke dalam, sehingga ukuran mobilku tak akan membuat kemacetan yang tak berarti. Kemudian, aku keluar, menapakkan kaki tepat di atas daun kering yang baru saja gugur. Suara khasnya memenuhi telingaku. Namun, sekali lagi: aku tak memiliki waktu untuk mengagumi keindahan suara itu.

Gerbang sekolah ini memang ditutup, tetapi tidak digembok untuk menghalau siapapun agar tak dapat masuk. Aku ingat beberapa waktu yang lalu Loka bercerita bahwa ada beberapa pembangunan di sekolahnya, menambahkan jumlah labolatorium dan ruang kelas. Kurasa, hal ini berkaitan dengan cerita Loka karena secara tiba-tiba seorang satpam mendatangiku, meninggalkan kursi tempatnya berjaga yang terletak sekitar dua puluh meter dari gerbang ini. Aku tidak tahu ia merasa kebingungan karena melihatku—yang masih menggunakan seragam kepolisian—secara tiba-tiba berusaha memasuki area sekolah ini atau bingung bagaimana cara mengusirku agar tak mengganggu pekerjaannya. Yang pasti, secara canggung lelaki jangkung berkumis kotak yang sepadan dengan rahangnya itu bertanya padaku.

Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang